FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah di bawah rezim Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan untuk memberi amnesti terhadap puluhan ribu narapidana. Keputusan itu telah dibahas dalam rapat terbatas di Istana pekan lalu.
Merespons hal itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah hati-hati dalam merealisasikan rencana amnesti atau pengampunan terhadap 44.000 narapidana (napi). Agar tidak disalahgunakan, prosesnya harus dilakukan akuntabel, transparan dan sesuai undang-undang.
Sebelumnya, dalam rapat terbatas di Istana Jumat (13/12), pemerintah menyampaikan bahwa presiden berencana akan melakukan pengampunan terhadap 44.000 narapidana. Hal ini dilakukan sebagai upaya menangani overcrowding di Rutan/Lapas di Indonesia.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan, ada empat kriteria napi yang dipertimbangkan. Yakni napi perkara tindak pidana ITE tentang penghinaan kepada kepala negara, napi pengidap penyakit berkepanjangan/mengalami gangguan jiwa, napi kasus makar tidak bersenjata di Papua, serta napi narkotika yang seharusnya dilakukan rehabilitasi.
Dalam rencana tersebut, orang yang diberikan amnesti dimungkinkan untuk melakukan kegiatan prioritas pemerintah. Seperti swasembada pangan dan sebagai komponen cadangan untuk darurat militer.
Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai, hal tersebut baik sebagai langkah yang dilakukan atas dari kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun ICJR menekankan, proses pemberian amnesti harus dilakukan secara akuntabel dan transparan.
“Harus dilakukan berbasis kebijakan yang bisa diakses publik untuk dinilai dan dikritisi,” ujarnya Minggu (15/12). Hal itu, untuk menghindari praktik gelap dibelakang layar.
Maidina menambahkan, pemberian amnesti harus dirumuskan dalam peraturan minimal setera peraturan menteri. Hal itu penting guna menjamin standardisasi penilaian dan pemberian amnesti. Termasuk saat diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan oleh DPR.
“Penilaian juga harus berbasiskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan,” imbuhnya.
Di sisi lain, dia mengkritisi rencana napi diamnesti untuk dijadikan tenaga swasembada pangan dan komponen cadangan. Sebab rentan bersifat eksploitatif. Mestinya, lanjut dia, yang diperkuat ketersedian lapangan kerja yang layak oleh pemerintah.
Momentum untuk mengatasi overcrowding rutan/lapas di Indonesia, kata dia, mestinya tidak hanya melalui amnesti. Salah satunya dengan revisi UU Narkotika.
ICJR mengusulkan ke depan pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi dikeluarkan dari pemenjaraan. Melainkan rehabilitasi, itupun dengan kadar tertentu sesuai intervensi lembaga kesehatan.
“Namun harus dilegitimasi dengan pengesahan revisi UU Narkotika yang memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotika,” jelasnya. Kemudian untuk kasus napi penghinaan presiden, maka kriminalisasi penghinaan presiden dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru juga harus dihapuskan.
Lebih lanjut lagi, penguatan persiapan implementasi KUHP Baru yang meperkenalkan pidana alternatif non penjara harus dilakukan secara komprehensif. Seperti pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda. (fajar)