Jakarta – Presiden Joko Widodo berkali-kali mengungkapkan komitmennya dalam mendukung pembangunan yang memperhatikan iklim di berbagai forum, baik internasional maupun nasional. Presiden menyebut bahwa pembangunan “ekonomi hijau” ini “menjadi isu prioritas dan tantangan global setelah meredanya Covid-19”. Sejumlah aturan disusun. Mulai ratifikasi Paris Agreement dalam UU 16 tahun 2016, berbagai aturan turunan dalam bentuk perpres, peraturan pemerintah dan aturan kementerian lahir. Indonesia adalah salah satu emiter sekaligus konsumen energi fosil terbesar dunia. Pada 2019, sektor energi menghasilkan 638 ribu Gg Co2e dari total 1.866 ribu Gg Co2e emisi gas rumah kaca (KLHK, 2020). Pemerintah sendiri menetapkan target ambisius transisi energi dengan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025, berkurangnya emisi karbon sebesar 60% pada 2030, dan sejumlah target lainnya. Namun ada tiga catatan dari upaya pemerintah tersebut. Pertama, lemahnya kerangka regulasi dan absennya reward-punishment yang jelas. Kedua, konsistensi dalam melakukan transisi hijau. Ketiga, belum jelasnya sistem insentif seperti pembiayaan ekonomi (financing) dalam upaya pemerintah mendorong transisi hijau ini. Jauh dari CukupSelain UU 16 tahun 2016 hasil ratifikasi Paris Agreement, pemerintah memiliki sejumlah aturan lain. Aturan lain Perpres 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dan UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Isunya pemerintah akan menerbitkan Perpres EBT dalam waktu dekat. Meskipun tampak ada kemajuan dalam hal regulasi, namun berbagai aturan yang dibuat tersebut masih jauh dari cukup.Indonesia juga adalah negara dengan konsumsi energi yang masih sangat bergantung kepada energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas bumi. Sebagai contoh, 66% listrik di Indonesia masih dihasilkan dari batu bara. Data dari World Resource Institute (WRI), ketergantungan kepada energi fosil menyebabkan terjadi peningkatan tingkat emisi yang signifikan dari 25,688 Miliar Ton (MT) menjadi 32.310 MT sepanjang 2003-2012. Konsumsi energi fosil, menurut WRI menyumbang sepertiga emisi dunia. Ironinya Indonesia sendiri dijuluki sebagai “Timur Tengahnya Energi Terbarukan” karena besarnya potensi energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil.Di tengah ketergantungan pada energi fosil, pemerintah masih tampak setengah hati melakukan transisi energi terbarukan (renewable energy). Meskipun pemerintah telah menetapkan, baik dalam Perpres 98/2021 maupun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Kementerian ESDM, akan alokasi bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Namun bauran energi pada 2022 baru sebesar 13% atau sekitar separuh dari target (ESDM, 2022). Pada saat yang bersamaan, berbagai kebijakan tampak kontradiktif dengan ambisi tersebut. Sebut saja beberapa seperti tingginya subsidi energi fosil, sementara subsidi energi terbarukan hanya naik 3% pada 2020 dan tentu masih banyak aturan lainnya lintas kementerian yang sering tidak selaras dengan ambisi/target tersebut. Aturan dalam banyak perpres dan peraturan pemerintah yang dibuat, seringkali hanya menyebut peta jalan (roadmap) dan rencana pemerintah tanpa adanya reward-punishment yang jelas. Di sisi lain, introdusir mekanisme pasar karbon melalui UU HPP belum bisa berjalan sejak Oktober 2021 sampai saat ini. Alasan teknis, momentum perekonomian dan kesiapan sektor terkait menjadi alasan pemerintah dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut. Padahal sejumlah studi menunjukkan bahwa konsumsi energi terbarukan berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih berkelanjutan. Studi terbaru dari Rupert Way dkk dari Oxford menunjukkan bahwa transisi cepat (fast transition) dari energi fosil ke energi terbarukan jauh lebih baik dibandingkan transisi perlahan atau tidak sama sekali bagi pembangunan suatu negara dalam jangka panjang (Way, 2022). Mendorong Undang-UndangBerbagai aturan dan rencana pemerintah yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Menteri rasanya masih belum cukup kuat untuk mendorong transisi hijau. Ada hambatan sosio-psikologis karena aturan-aturan tersebut seringkali mudah diubah tergantung situasi sosial politik dan kepentingan pemerintah. Di sisi lain, banyak pejabat pemerintah juga memiliki kaitan erat bisnis di sektor energi fosil, sebut saja Luhut Pandjaitan dengan Toba Coal & Mining. Situasi ini dinilai membuat investasi sektor energi terbarukan dan pembangunan hijau yang rendah karbon berhenti sebagai sebuah rencana dalam dokumen pemerintahan. Kita perlu mendorong RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan segera disahkan. Ada tiga alasan strategis terkait RUU ini.Pertama, undang-undang ini memberikan kepastian hukum dan kewajiban bagi pemerintah dalam melaksanakan transisi hijau. Aturan ditingkat Undang-Undang jauh memberikan kepastian bagi semua stakeholder tentang komitmen pemerintah. Kedua, adanya skema pembiayaan hijau (green financing) dalam rangka menarik investasi di sektor energi yang ramah lingkungan. Ketiga, insentif dan kepastian harga energi terbarukan yang wajib dibeli perusahaan negara. Hal ini penting bagi sektor swasta, mengingat lambatnya transisi juga seringkali disebabkan karena lemahnya kepastian harga di tengah monopoli sektor energi oleh perusahaan negara. Kini dunia sedang bertarung dengan perubahan iklim. Indonesia harus segera phase out energi fosil. Selain semakin langka, potensi geografis, dan anugerah bagi Indonesia tidak layak disia-siakan. Pemerintah perlu didesak mementingkan kualitas lingkungan dan keberlanjutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mencapai kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Ramalan Kuznet tentang hubungan U terbalik antara degradasi lingkungan dan pertumbuhan ekonomi harus kita waspadai bersama. Atau jika tidak, kita membenarkan ramalan Dennis Medows dalam Limits to Growth, bahwa bumi dan manusia akan mencapai batas untuk tumbuh.Sidik Nur Toha mahasiswa Pascasarjana FEB UI, peneliti Indonesian Presidential Studies
–
–
(mmu/mmu)