Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif akhirnya buka suara perihal penundaan penerapan pajak karbon untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mundur ke 2025.
Menurut Arifin, penundaan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan dampak yang ditimbulkan. Adapun penerapan pajak karbon sendiri seharusnya mulai berlaku pada 1 April 2021.
“Kita dengan situasi sekarang ini rekalkulasi kembali dampak-dampaknya. Kita gak bisa kasih tahu, mudah-mudahan tahun depan bisa jalan, bisa 2024,” tuturnya kepada wartawan di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (14/10/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Arifin juga belum dapat memastikan seberapa besar dampak penerapan pajak karbon untuk sektor industri. Mengingat dengan adanya kebijakan ini, tarif listrik diperkirakan akan mengalami penyesuaian.
“Kita ada uji coba dulu, kita tunggu dulu,” ujarnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai penerapan pajak karbon sejatinya dapat menjadi insentif bagi PT PLN (Persero) untuk mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT).
Pasalnya, logika dari kebijakan pajak karbon adalah memungut pajak dari penyumbang emisi karbon kemudian hasil dananya dikembalikan ke sektor yang bisa menurunkan emisi karbon.
“Dilihat dari logika tadi yang untung dari pajak karbon justru pembangkit EBT termasuk PLN dengan catatan ada realisasi pembangunan EBT yang masif dari PLN,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (14/10/2022).
Ia pun menyesalkan keputusan pemerintah yang menunda penerapan pajak karbon untuk PLTU. Pasalnya, pajak karbon yang diterapkan ke PLTU tidak akan berdampak terhadap harga jual listrik ke tingkat konsumen.
“Pajak karbon dari sisi tarif, Indonesia termasuk yang paling rendah di dunia,” kata dia.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Siap-siap! Pajak Karbon Untuk PLTU Jalan 1 Juli 2022 Ini
(Verda Nano Setiawan/wia)