Jakarta, CNN Indonesia — Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Stadion Kanjuruhan menyatakan aparat keamanan yang bertugas ketika peristiwa terjadi tidak pernah mendapat pembekalan tentang pelarangan penggunaan gas air mata.
“Tidak pernah mendapatkan pembekalan atau penataran tentang pelarangan penggunaan gas air mata dalam pertandingan yang sesuai dengan aturan FIFA,” dikutip dari kesimpulan laporan TGIPF, Jumat (14/10).
Selain itu, TGIP juga menyatakan tidak ada sinkronisasi antara regulasi keamanan FIFA (FIFA Stadium Safety and Security Regulations) dan Peraturan Kapolri dalam penanganan pertandingan sepak bola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tidak terselenggaranya TFG (Tactical Floor Game) dari semua unsur aparat keamanan (Brimob, Dalmas, Kodim, Yon Zipur-5),” tulis TGIPF.
Aparat juga disebut tidak mempedomani tahapan-tahapan sesuai dengan Pasal 5 Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Adapun Tahap I yakni pencegahan; Tahap II adalah perintah lisan; Tahap III adalah kendali tangan kosong lunak; Tahap IV adalah kendali tangan kosong keras; Tahap V adalah kendali senjata tumpul, senjata kimia/gas air mata, semprotan cabe dan Tahap VI adalah penggunaan senjata api.
“Aparat keamanan melakukan tembakan gas air mata secara membabi buta ke arah lapangan, tribun, hingga di luar lapangan,” tulis TGIPF.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pada Sabtu malam (1/10) usai laga Arema FC versus Persebaya Surabaya.
Ketika setelah laga lanjutan Liga 1 itu berakhir, ada sejumlah suporter turun ke lapangan dan dihalau aparat gabungan.
Aparat kemudian menembakkan gas air mata yang beberapa di antaranya ke arah tribun penonton. Akibatnya para suporter di tribun panik menghindari gas air mata dan berdesak-desakan ke pintu keluar yang terbatas. Sebanyak 132 orang tewas dan ratusan lainnya luka akibat kejadian tersebut. (yoa/isn)
[Gambas:Video CNN]