Politik Indonesia kerap kali didominasi oleh subjek dan “aktor Jawa”. Ramalan Jayabaya yang memprediksi pemimpin Indonesia merupakan orang Jawa nyatanya telah terwujud setidaknya hingga saat ini. Lalu, mengapa hal ini dapat terjadi?
PinterPolitik.com
Ajang pemilihan presiden (pilpres) selalu mendapatkan sorotan penuh khalayak luas. Termasuk dalam Pilpres 2024 saat nama-nama yang akan menjadi calon presiden (capres) mulai bermunculan di hadapan publik.
Menariknya, layaknya sebuah tradisi, politisi-politisi yang dikabarkan akan mengikuti pilpres seolah “meminta izin” kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendeklarasikan dirinya sebagai capres.
Misalnya saja, Ketua Umum (Ketum) Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin yang dikabarkan siap bertempur di kontestansi elektoral mendatang.
Tak lupa, keduanya yang merupakan bagian dari pejabat pemerintahan saat ini perlu meminta restu politik kepada Presiden Jokowi agar dapat mengikuti pilpres. Keduanya pun akhirnya resmi melakukan deklarasi yang tertuang dalam piagam deklarasi kerja sama politik 2024.
Bukan hanya pejabat negara saja, Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri bahkan sempat bertemu dengan Presiden Jokowi pada pertemuan Batu Tulis untuk mendiskusikan Pemilu 2024 mendatang.
Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menduga Mega melakukan lobi agar Presiden Jokowi dapat mendukung Puan Maharani sebagai capres PDIP pada Pemilu 2024.
– – –
Menurutnya, Batu Tulis merupakan tempat yang identik dengan Sukarno saat melakukan pembahasan pemilu sebagai momentum kebangkitan Indonesia Raya yang berkesinambungan dengan kepemimpinan Putra Sang Fajar hingga kedepannya.
Langkah yang dilakukan Mega, Prabowo, dan Cak Imin seakan memperlihatkan sesuatu tradisi yang simbolik bernuansa Jawa seperti etika minta izin kepada pemimpin negara.
Lantas, akankah etika Jawa juga berkaitan dengan upaya meraup atensi terhadap dominasi pemilih pada pemilu? Serta, mengapa hal itu bisa terjadi?
Konsentrasi Pemilih Jawa?
Satu hal yang dapat dilihat secara jelas yaitu pembangunan di Indonesia yang dinilai tidak merata. Faktor ini disebut menjadi salah satu pendorong didirikannya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Provinsi Kalimantan Timur.
Konsentrasi pembangunan yang bersifat Jawa-sentris dapat menyebabkan orang-orang di luar Pulau Jawa datang untuk mengadu nasib. Agaknya, fenomena itu dapat berpengaruh kepada preferensi pemilu.
Pemegang suara terpadat telah mutlak berada di Pulau Jawa. Pada akhirnya, masyarakat kiranya akan terperangkap dalam politik yang selalu bergantung pada suara terbanyak atau mayoritas.
Secara saintifik, preferensi seseorang akan selalu dipengaruhi oleh sistem neuron di dalam otak manusia. Pada akhirnya, hal ini akan mempengaruhi tindakan manusia.
Sebuah tulisan berjudul People’s Words and Actions Can Actually Shape Your Brain. A Neuroscientist Explains How yang ditulis oleh Lisa Feldman Barrett mengemukakan bahwa ketika seseorang dihadapkan dengan orang yang tidak familiar, maka orang cenderung sulit untuk berempati.
– – –
Hal ini menyebabkan orang harus melakukan upaya ekstra untuk memahami hal yang tidak familiar tersebut. Sulitnya berempati dapat menjadi salah satu alasan mengapa orang terkadang gagal berempati dengan mereka yang terlihat berbeda.
Selain itu, kata-kata dianggap sebagai alat untuk mengatur tubuh manusia. Kata-kata orang lain memiliki efek langsung pada aktivitas otak dan sistem tubuh dan memiliki efek yang sama pada orang lain. Baik efek itu relevan maupun tidak relevan. Begitulah cara manusia terhubung.
Sebagai contoh, ketika seseorang mengirim pesan yang menenangkan ataupun menegangkan, aspek biologis penerima dapat berpengaruh. Misalnya saja perubahan detak jantungnya, pernapasannya, dan metabolismenya.
Pada akhirnya, menjadi suatu hal yang masuk akal jika sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang tinggi akhirnya menyebabkan anggapan bahwa akan lebih aman jika pemimpin negara berasal dari kelompok mayoritas.
Penelitian tersebut pun selaras dengan konsep representasi yang diungkapkan oleh Stuart Hall (editor) dalam bukunya yang berjudul Representation: Cultural Representations and Signifying
Practices (Culture, Media and Identities). Publikasi itu menyebutkan bahwa entitas makna dan bahasa akan berimplikasi kepada budaya.
Konsep representasi dengan penggunaan bahasa dapat digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang berarti mengenai realitas tertentu dan pemaknaan terhadap realitas yang diproduksi oleh anggota masyarakat dalam suatu budaya. Oleh karena itu, representasi akan selalu memerlukan bahasa, tanda, dan citra untuk menjelaskan sesuatu hal.
Sehubungan dengan itu, mungkinkah ada bahasa dan tanda Jawa yang nyatanya memiliki pengaruh kuat secara tidak langsung dalam meraup suara masyarakat Jawa itu sendiri?
“Kula Nuwun Politik”?
Pada budaya Jawa terdapat istilah unggah-ungguh atau sikap yang sebaiknya ditunjukan sebagai unsur representasi dengan memperhatikan ucapan, bahasa dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati orang lain.
Unggah-ungguh dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai sesuatu yang menyangkut pada aspek berbahasa dan aspek pergaulan atau tingkah laku.
Oleh karenanya, orang Jawa digambarkan sebagai seseorang yang rendah hati, hormat kepada orang lain, dan bahkan lebih menempatkan kepentingan orang lain sehingga cenderung mengorbankan dirinya sendiri agar dapat menciptakan kehidupan yang damai.
Istilah yang digunakan untuk mengungkapkan kata permisi atau meminta izin yaitu “kula nuwun”. Istilah itu dipakai untuk menunjukan rasa hormat dan sopan santun dalam masyarakat Jawa.
Kata-kata itu juga memiliki makna bahwa seseorang mau untuk menerima dan memberi kepada orang lain serta keinginan untuk hidup secara damai tanpa memperhatikan perbedaan suatu golongan.
Budaya minta izin juga kerap kali muncul ke hadapan publik setiap kali pilpres ingin digelar, termasuk saat ini. Banyaknya politisi yang meminta izin kepada Presiden Jokowi seolah memperlihatkan bahwa budaya Jawa begitu kuat dalam perhelatan politik lima tahunan tersebut.
Jika merujuk pada publikasi Barrett, dia menuturkan bahwa tindakan seseorang dapat berpengaruh kepada tindakan orang lain. Contohnya saja ketika seseorang meninggikan suaranya, tindakan ini dapat memengaruhi apa yang terjadi di dalam tubuh lawan bicara tersebut seperti detak jantung atau zat kimia yang dibawa dalam aliran darah mereka.
Dengan demikian, budaya minta izin atau merujuk pada “kula nuwun” dapat dianggap sebagai aksi simbolik yang dapat diterima secara baik dan diharapkan dapat mempengaruhi tindakan seseorang dalam pemilihan umum.
Namun, apakah budaya dan tindakan saja nyatanya dapat menunjukkan bahwa adanya budaya Jawa begitu kuat dalam politik Indonesia?
Terjebak Ramalan Jayabaya?
Jika dilihat dari perspektif kepercayaan mitos, ramalan Jayabaya sebenarnya telah memprediksikan bahwa pemimpin Indonesia merupakan orang Jawa.
Ramalan itu memprediksikan bahwa akan ada Kesatria Piningit dan Ratu Adil yang akan mengantarkan Indonesia pada kemajuan dengan kepemimpinan yang adil dan berjiwa kesatria. Ramalan itu mengatakan keduanya merupakan keturunan Kerajaan Majapahit yang berlokasi di Pulau Jawa sehingga keduanya juga diyakini berasal dari suku Jawa.
Ramalan tersebut juga diyakini karena sejak zaman Kerajaan Majapahit hingga sekarang Pulau Jawa selalu menjadi pusat pemerintahan dan tokoh-tokoh politisi didominasi oleh suku Jawa.
Coretan sejarah masa lampau dari kerajaan Majapahit memperlihatkan bahwa sejarah masih menjadi warisan yang membekas bagi pemerintah Indonesia saat ini melalui konsep Wawasan Nusantara dengan berlandaskan kondisi geografis kepulauan.
Pernyataan itu bahkan diungkapkan oleh Ketua Program Asia Tenggara Universitas Freiburg Jürgen Rüland dalam bukunya yang berjudul The Indonesian Way: ASEAN, Europeanization, and Foreign Policy Debates in a New Democracy.
Konsep Wawasan Nusantara ini selanjutnya menciptakan konsep yang disebut sebagai lingkaran konsentris berdasarkan prioritas geopolitik Indonesia. Lingkaran tersebut memiliki banyak lapisan yang meletakkan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada prioritas terdalam.
Adapun konsep lingkaran konsentris dianggap memiliki kemiripan dengan sistem mandala yang dipakai oleh para kerajaan sebelum masuk era kolonialisme Asia Tenggara.
Lingkaran terdalam diklasifikasikan sebagai wilayah inti dimana keraton atau istana berdiri, sedangkan lapisan terluarnya merupakan wilayah-wilayah yang lebih kecil. Wilayah itu disebut juga dengan lapisan mancanegara yang masih berada dalam perlindungan keraton.
Ternyata pola lingkaran alias terpusat selaras dengan politik Jawa yang diimplementasikan pada masa Majapahit dahulu. Lingkaran itu memiliki makna semakin ke dalam, semakin kuat pula pengaruh entitas keraton di dalamnya.
Konsep sentralisasi itu memiliki konsep yang sama dengan pola kekuatan politik Jawa dimana pemusatan kekuatan terletak pada inti dari lingkaran berlapis. Inti yang dimaksud yaitu sang raja atau keraton. Oleh karenanya, filosofi ini memiliki artian bahwa pengaruh raja harus semakin kuat jika berbicara mengenai konteks lingkaran terdalam.
Dengan demikian, agaknya, Indonesia akan selalu mengulang pola representasi politik. Ini dibuktikan dari pengaruh konsentrasi pembangunan yang akan berpengaruh pula pada aspek sosial dan politik.
Adapun hal itu agaknya dipengaruhi dari segi bahasa, pemikiran, dan tindakan hingga akhirnya budaya Jawa menjadi lebih mudah diterima. Korelasi ini seakan mengamini ramalan Jayabaya dan konsep lingkaran konsentris kerajaan Majapahit dan kemungkinan bisa berpengaruh pada dinamika politik Indonesia ke depan. (Z81)