PHE turut aktif mendukung pengembangan mahasiswa Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Mengutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2019 jumlah limbah B3 dari eksplorasi migas di Indonesia mencapai lebih dari 70 ribu ton. Angka itu melonjak dari tahun 2018 yang mencapai 33 ribu ton. Untuk mengelola limbah B3 tersebut, digelontorkan biaya sebesar US$ 12,17 juta atau setara dengan Rp173 Miliar.
Tak dinyana, limbah lumpur minyak yang dihasilkan kegiatan migas, bisa diatasi dengan limbah lainnya yang dihasilkan rumah tangga. Berkat inovasi mahasiswa Indonesia, minyak jelantah tokcer diubah menjadi pengurai limbah lumpur minyak.
Inovasi yang digagas mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan Universitas Pertamina, Muhammad Athallah Naufal, diganjar juara ke-2 di ajang Society of Petroleum Engineer (SPE) International Student Paper Contest 2022 di Houston, Amerika Serikat. Temuannya mengungguli karya-karya dari perguruan tinggi dunia seperti Indian Institute of Technology dari India, Gubkin University dari Rusia, Universidad Nacional de Colombia, dan Texas A&M University at Qatar dari Qatar.
“Penelitian yang saya lakukan ini bersifat eksperimental, jadi saya membuat produk biosurfaktan dengan memanfaatkan ekstrak asam lemak dari minyak jelantah. Biosurfaktan ini bersifat anionik bernama Methyl Ethyl Sulfonate atau MES,” jelas Athallah dalam siaran pers, Ahad (16/10/2022).
Biosurfaktan adalah senyawa dari bahan mikroba yang mampu mengikat dan menguraikan limbah. Dalam pemaparannya, Athallah menyebut limbah lumpur minyak berbentuk padatan acap kali ditemui ketika ada kebocoran pipa, pada proses pembersihan tangki penyimpanan minyak, maupun pada proses pemurnian minyak.
“Limbah lumpur minyak terdiri dari campuran air, sedimen, dan hidrokarbon berkonsentrasi tinggi. Limbah ini juga mengandung logam berat yang dapat membahayakan lingkungan maupun manusia,” kata dia.
Melalui penelitiannya, Athallah menawarkan metode bioremediasi menggunakan bantuan bakteri untuk mendegradasi limbah lumpur minyak. Namun, karena memiliki viskositas yang sangat tinggi, bakteri pada umumnya akan sulit untuk mengurai limbah lumpur minyak secara optimal. Selain itu, bakteri juga mendapatkan nutrien tambahan dari biosurfaktan sehingga mereka lebih nyaman berkembang biak dan tumbuh.
Henricus Herwin, VP Upstream Business Development Pertamina Hulu Energi (PHE), mengutarakan kebanggaannya atas keberhasilan Athallah. PHE turut aktif mendukung pengembangan mahasiswa Indonesia, diantaranya dengan mensponsori Athallah dan timnya untuk berkompetisi di Houston.
“Saya mengucapkan selamat bagi Universitas Pertamina atas pencapaiaan yang luar biasa ini. Saya yakin ini merupakan buah dari kerja keras dan ketekunan. Teman-teman Universitas Pertamina telah menunjukkan kepada kita semua bahwa mahasiswa Indonesia mampu bersaing di tingkat regional dan internasional,” ujar Henricus.
Inovasi Athallah menonjol karena memiliki sejumlah keuntungan, yakni biaya yang lebih terjangkau. Itu dapat dilakukan karena dibuat dari limbah minyak jelantah dan lebih ramah lingkungan bila dibandingkan dengan metode konvensional, yakni insinerasi dan land filling.
“Metode insinerasi dilakukan dengan cara membakar limbah lumpur minyak. Metode ini memang jauh lebih cepat, namun akan menghasilkan emisi karbon dioksida yang sangat tinggi. Sedangkan metode landfilling dilakukan dengan menimbun limbah di dalam tanah. Metode ini juga kurang efisien karena memerlukan lahan yang sangat luas,” ujar Athallah.
Sebelum bertolak ke Houston, Athallah juga berhasil mendapatkan Penghargaan Kehormatan ajang Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Nasional (Pilmapres). Athallah bersaing di babak final bersama dengan 15 mahasiswa berprestasi lainnya dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.