Munculnya wacana untuk menjadikan Jokowi sebagai Ketua Umum Partai Golkar seolah menjadi ‘kelakar’ politik dengan makna tersurat: Sang Presiden memang punya pengaruh yang sangat kuat dalam partai ini.
PinterPolitik.com
“Neither political party is clean when it comes to tactics that divide our people”. – Roy Barnes, mantan jaksa dan politisi Amerika Serikat
[dropcap]K[/dropcap]ursi pucuk pimpinan Golkar memang tengah panas. Apalagi, pasca penetapan status tersangka dan penahanan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) oleh KPK atas kasus KTP elektronik, manuver politik untuk mengubah peta politik di partai kuning tersebut makin terlihat.
Walaupun drama – yang oleh Majalah TEMPO disebut diiringi dengan aksi gebrak meja dalam rapat pleno 8 jam – memutuskan untuk menunggu hasil putusan sidang praperadilan Setnov, geliat calon pengganti ‘Papa’ sudah makin menguat bergerilya mencari dukungan. Kesan yang terlihat adalah bahwa pergantian pucuk pimpinan partai kuning ini seolah tergantung pada ‘gerak-gerik’ dukungan Presiden Joko Widodo(Jokowi) – orang yang notabene bukan kader Golkar.
Nama-nama macam Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto hingga putri mendiang Presiden Soeharto, Titiek Soeharto menjadi penghias repertoire kandidat yang akan tampil membawakan visi-misi perbaikan Golkar – yang menurut para surveyor kian anjlok pamornya. Bahkan, wacana yang muncul kian ‘liar’ ketika nama Presiden Jokowi juga disebut sebagai salah satu calon yang cocok menjabat sebagai Ketua Umum Golkar.
1. Sah-sah saja ketika Jokowi digadang-gadangkan untuk menjadi ketua umum Partai Golkar, Karena selain setiap orang berhak untuk memberikan pendapat, Presiden menjadi pimpinan Partai bukanlah hal yang baru di negara ini.
— Teddy Gusnaidi (@TeddyGusnaidi) November 28, 2017
Di sela-sela umpatan ‘are you kidding me’, kemunculan nama Jokowi tentu bukan tanpa alasan. Saat ini, Golkar memang butuh tokoh yang punya elektabilitas tinggi dan mampu menyatukan partai yang punya banyak kubu di dalamnya. Dengan posisinya sebagai presiden, Jokowi dianggap mampu menyatukan kepentingan kubu-kubu di Golkar.
Bagi Jokowi, hal ini bisa menjadi kesempatan untuk lepas dari status ‘petugas partai’ yang selama ini melekat pada dirinya. Namun, ini bisa juga menjadi ‘jebakan batman’ dari lawan-lawan politiknya sebagai celah untuk menjatuhkan pria kelahiran Solo itu karena Golkar adalah partai kader, sementara Jokowi bukan kader Golkar. Lalu, apakah mungkin Jokowi menjadi Ketum Golkar? Atau ini hanya joke politik lain dari para pengamat?Jejak Partai Para Presiden
Faktanya, Jokowi adalah satu-satunya presiden Indonesia yang ‘tidak punya’ partai politik. Frasa ‘tidak punya’ berkaitan dengan posisi penting di parpol – entah itu ketua parpol atau posisi tertentu yang bisa mempengaruhi arah dan pengambilan kebijakan partai.
Maka, tidak heran jika pengamat politik macam Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University Amerika Serikat menyebut Jokowi sebagai presiden terlemah dalam sejarah Indonesia setelah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Jika dirunut, mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), semuanya adalah tokoh penting di parpol – jika bukan ketua umum, maka pasti menjadi salah satu tokoh sentral. Soekarno misalnya dikenal sebagai salah satu pendiri sekaligus Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI).
Presiden selanjutnya, Soeharto dalam 32 tahun masa kekuasaannya adalah tokoh sentral di Golkar. Ia tercatat menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar – jabatan yang sesuai dengan tenarnya kalimat: ‘sebagaimana petunjuk dari beliau Bapak Presiden’.
Gong reformasi ditabuh dan B.J. Habibie mengambil tampuk pimpinan. Pria yang dianggap sebagai teknokrat murni ini nyatanya adalah tokoh penting di Golkar dan menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai – jabatan yang diampu pasca tidak lagi menduduki kursi RI 1.
Kemudian, sebagai produk pertama reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid juga dikenal sebagai tokoh pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat partai hijau itu.
Lain lagi putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri yang identik dengan si merah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan menjabat sebagai Ketua Umum partai banteng tersebut selama 4 periode hingga saat ini.Pasca Megawati, tak ada yang meragukan birunya SBY lewat Partai Demokrat. Presiden ke-6 RI ini adalah salah satu pendiri sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat.
Lalu, bagaimana dengan Jokowi? Mantan Walikota Solo ini bukanlah siapa-siapa – tentu dalam hal kepartaian. Di PDIP ia hanyalah kader biasa dan bahkan sepertinya masih sulit lepas dari jabatan sebagai ‘petugas partai’ – istilah yang cenderung punya konotasi negatif untuknya.
Namun, dalam 3 tahun masa kekuasaannya, Jokowi mampu mengatasi ‘kelemahan’ tanpa partai itu menjadi kekuatan politik yang sulit terbendung. Pemerintahannya terkendali dan bahkan kini partai-partai justru berebut ‘membajak’ sang presiden.
Ketua Umum Partai: Jebakan Batman?
Menjadi Ketua Umum Golkar memang terdengar prestisius. Politisi mana yang tidak menginginkan kursi puncak di partai runner up Pemilu 2014 dengan 14,75 persen suara nasional.
Keberadaan Golkar sangat penting bagi Jokowi karena Golkar-lah yang menjadi pembalik komposisi koalisi pemerintah vs oposisi di parlemen. Dengan adanya Golkar, Jokowi bisa meloloskan banyak produk legislasi dan anggaran yang diinginkannya.
Golkar pun kini disebut-sebut telah ‘dikuasai’ oleh Jokowi – jika merujuk pada hubungannya dengan politisi-politisi partai kuning tersebut dan segala macam ‘strategi’ politik yang dijalankannya. (Baca: Setnov dan Stalinisme ala Pemerintah)
Artinya, jika menjadi Ketua Umum Golkar adalah pilihan yang memungkinkan dan Jokowi mampu mengkapitalisasi posisi politiknya lewat Golkar, maka pria penggemar musik metal ini akan sulit terbendung. Golkar juga dipercaya akan menjadi ‘tiket’ Jokowi untuk Pilpres 2019, mengingat posisi PDIP yang belakangan makin sulit ditebak terhadap Jokowi. (Baca: PDIP: Good Bye Jokowi?)
3. Jadi jika ada yang menilai bahwa tidak etis kalau Jokowi diusulkan menjadi ketua umum Partai Golkar, tentu yang menilai itu adalah orang yang tidak paham apa itu Partai dan juga tidak paham mengenai sejarah perpolitikan di Indonesia.
— Teddy Gusnaidi (@TeddyGusnaidi) November 28, 2017
Secara kalkulasi politis, jabatan Ketua Umum akan menguntungkan bagi Jokowi maupun bagi Golkar, apalagi sejauh ini Jokowi adalah calon presiden terkuat.
Namun, wacana ini juga akan mendapatkan tantangan yang cukup berat. Jokowi bisa dituduh tidak punya etika politik karena berpindah partai. PDIP kemungkinan akan menjadi kubu yang paling keras mengkritik Jokowi jika hal ini terjadi.
Selain itu, boleh jadi pertentangan juga akan datang dari internal Golkar, mengingat partai kuning ini adalah partai kader. Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Golkar, syarat untuk menjadi ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar haruslah seseorang yang pernah menjadi pengurus DPP atau Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi atau Organisasi Pendiri Golkar selama 1 periode penuh dengan dukungan minimal 30 persen hak suara.
Ia juga harus aktif di Golkar minimal 5 tahun dan tidak pernah menjadi anggota partai lain, pernah mengikuti pendidikan dan latihan kader, serta tidak pernah terlibat G 30 S PKI. Tentu saja untuk syarat kepengurusan DPP dan keanggotaan partai pada pasal 12 ayat 3 ART Partai Golkar sulit untuk dipenuhi Jokowi. Ini tentunya akan mendatangkan protes dan perdebatan di internal Golkar sendiri karena melanggar aturan partai. Boleh jadi, buntutnya juga akan merugikan Jokowi sendiri.
Menariknya, wacana Jokowi menjadi Ketua Umum Golkar ini menguat di tengah perdebatan serius terkait aksi ‘bajak-membajak’ kader. Partai-partai politik di Indonesia memang semakin pragmatis dan bahkan semakin jeli melihat kader partai lain sebagai peluang untuk memenangkan kontestasi politik. Dedi Mulyadi dan Emil Dardak merupakan dua dari sekian banyak bagian dari ‘pembajakan’ kader tersebut.
Bahkan, kini, Jokowi juga berada di persimpangan ‘pembajakan kader’ – tetap merah atau beralih ke kuning. Lebih buruk lagi, beredar gosip bahwa biru pun tertarik untuk menggaet Jokowi. Wah! Pilih yang mana, Pakde?
Jokowi sedang berada dalam tahap memilih: menjadi bagian dari ‘kuning’ yang pasti mendukungnya menjadi calon presiden di 2019, atau tetap ‘merah’ dengan status ‘petugas partai’ yang selama ini disandangnya. (Foto: Pos Kota News)
Ketua Partai atau Petugas Partai?
Lalu, apakah wacana Jokowi menjadi Ketua Umum Golkar hanya dagelan untuk sekedar meramaikan pemberitaan? Bisa jadi!
Faktanya, posisi pengganti Setya Novanto di Golkar saat ini yang paling kuat adalah Airlangga Hartarto. Kubu pendukungnya seperti Nurdin Halid, Yorrys Raweyai dan Nusron Wahid gencar menjadi tim pemenangan dan menjalin komunikasi ke petinggi-petinggi Golkar. Mereka bergerilya ke kubu Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, bahkan juga ke Aburizal Bakrie. Airlangga juga disebut-sebut telah mendapatkan dukungan dari Jokowi.
Namun, wacana ini juga seharusnya bisa membuka wawasan politik masyarakat bahwa presiden kita saat ini adalah satu-satunya pemimpin tanpa kekuatan partai politik! Ia bukanlah yang empunya partai, bahkan posisi strategis di partai pun tidak.
Lalu, mengapa ia bisa menjadi begitu kuat belakangan ini? Itulah ‘seninya’ politik!
Pertanyaan terbesarnya tentu saja adalah apakah kita masih akan menyaksikan Jokowi sebagai ‘petugas partai’ di 2019 dengan segala aksi ‘cium tangan’ yang kerap dilakukannya, atau kita akan melihat sosok politisi baru yang lebih yakin dengan kekuatan politiknya sendiri? Menarik untuk ditunggu. (S13)