Eks Mendag Tom Lembong Terjerat Kasus Impor Gula, Murni Penegakan Hukum?

Eks Mendag Tom Lembong Terjerat Kasus Impor Gula, Murni Penegakan Hukum?

1 November 2024, 0:00

Liputan6.com, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong (TTL) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula, pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Pria yang akrab disapa Tom Lembong ini, diduga melanggar Keputusan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian Nomor 257 Tahun 2004, yang mengatur bahwa hanya BUMN yang diperbolehkan mengimpor gula kristal putih. Namun, izin impor yang dikeluarkannya justru mengizinkan PT AP melakukan impor tersebut.

Selain Tom Lembong, penyidik Jampidsus Kejagung juga menetapkan DS sebagai tersangka. DS, yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis di PT PPI pada 2015-2016, juga diduga terlibat dalam kasus ini setelah penyidik menemukan bukti yang cukup.

Adapun kasus dugaan korupsi ini bermula ketika Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP) kepada pihak swasta yang tidak berwenang.
“Berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian, tepatnya telah dilaksanakan tanggal 12 Mei 2015, telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu atau tidak membutuhkan impor gula,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa 29 Oktober 2024.
Akan tetapi, kata Qohar, pada tahun yang sama yakni 2015, Tom Lembong memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP, yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih atau GKP.
“Sesuai Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 527 Tahun 2004 yang diperbolehkan impor gula kristal putih adalah BUMN, tetapi berdasarkan persetujuan impor yang telah dikeluarkan oleh tersangka TTL impor gula dilakukan oleh PT AP, dan impor gula kristal mentah tersebut tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian yang mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri,” jelas dia.
Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di bidang perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Menko Perekonomian, yang salah satu pembahasannya bahwa Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200 ribu ton.
“Dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, pada bulan November-Desember 2015 tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula,” ungkap Qohar.
“Padahal dalam rangka pemenuhan stok dan stabilisasi harga, seharusnya diimpor gula kristal putih secara langsung dan yang dapat melakukan hanya BUMN,” sambung Qohar.
Kedelapan perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih pun sebenarnya hanya memiliki izin sebagai produsen gula kristal, yang diperuntukkan untuk usaha makanan, minuman, dan farmasi.
“Setelah kedelapan perusahaan tersebut mengimpor dan mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, selanjutnya PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut. Padahal nyatanya gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta yaitu delapan perusahaan ke pasaran melalui distributor yang terafiliasi dengannya. Dengan harga Rp16 ribu per kilogram, harga lebih tinggi dari HET (Harga Eceran Terendah) Rp13 ribu dan tidak dilakukan operasi pasar,” Qohar menandaskan.Penetapan Tom Lembong Tidak Berdasar?
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisaki Abdul Fickar, menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) terlalu bertindak gegabah dalam penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (TTL) terkait kebijakan impor gula.
Menurutnya, penetapan tersebut tidak berdasar dan berisiko membuat pejabat publik enggan mengurus negara karena takut akan konsekuensi hukum.
“Kebijakan itu tidak bisa dipidanakan karena dibuat oleh pejabat publik yang memiliki wewenang. Kecuali bisa dibuktikan bahwa pejabat tersebut mendapatkan keuntungan ekonomi, seperti gratifikasi, maka bisa disebut penyalahgunaan jabatan,” ujar Fickar kepada Liputan6.com, Kamis (31/10/2024).
Fickar menambahkan bahwa izin impor yang dikeluarkan atas dasar kebijakan publik tidak seharusnya dipidana. “Sebagai kebijakan publik yang bisa berlaku pada siapa saja termasuk memberikan izin impor tidak bisa dipidanakan,” ucapnya.
Selain itu, Fickar menyebut bahwa tudingan Kejagung soal Tom Lembong tidak berkoordinasi dengan pejabat lain dalam mengambil keputusan, juga tidak bisa dimasukkan dalam urusan pidana.
“Soal koordinasi atau tidak dengan pejabat publik lain itu bukan urusan Kejaksaan Agung, bukan urusan hukum pidana. Ini jelas kriminalisasi,” katanya.
Ia pun menduga ada motif politik di balik kasus ini, mengingat Tom Lembong pernah menjadi bagian dari tim sukses salah satu calon presiden.
“Ini jelas-jelas kriminalisasi, jangan-jangan karena Tom pernah menjadi tim sukses dari salah satu calon dalam kontestasi presiden. Jika ingin dipersoalkan mengapa baru sekarang, mengapa tidak 8 tahun yg lalu,” imbuhnya.
Lebih jauh, Fickar menyoroti adanya perlakuan yang berbeda terhadap Menteri Perdagangan dengan kebijakan serupa di masa lalu. Menurutnya, jika kebijakan Tom Lembong dianggap merugikan negara, seharusnya ada klarifikasi dari pihak lain yang berwenang, termasuk Presiden dan Menteri BUMN, yang saat itu tidak mempermasalahkan kebijakan tersebut.
“Kalau Tom bisa disebut Korupsi karena merugikan negara ketika membolehkan perusahaan swasta yang impor gula dan bukan BUMN harus dilihat lagi kerugiannya apa? Itu tafsir kejaksaan belum ada buktinya,” ucapnya.
“Kalau mau dipersoalkan mengapa presiden sebagai atasan Mendag diam saja waktu itu, atau menteri BUMN juga tidak bereaksi, artinya presiden dan menteri BUMN juga tidak mempersoalkan kebijakan itu, bahkan Presiden Jokowi pada waktu berkuasa menyatakan kebijakan tidak boleh dikriminalisasi,” sambunya.
Senada, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menyebut penetapan tersangka terhadap Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula merupakan hal yang aneh.
Menurut Huda, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kebijakan impor yang diambil oleh Tom Lembong dengan dugaan kerugian negara yang disebut mencapai hampir Rp300 miliar.
“Agak aneh, tiba-tiba impor gula dianggap merugikan keuangan negara. Memangnya negara keluar uang apa ketika ada impor gula? Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan memberi persetujuan impor gula. Yang impor siapa? Pihak swasta,” ujar Huda kepada Liputan6.com, Kamis (31/10/2024).
Ia pun mempertanyakan dasar perhitungan kerugian tersebut, mengingat menurutnya, kerugian keuangan negara harus berkaitan dengan pengeluaran dana negara yang tidak semestinya.
“Kerugian keuangan negara itu terjadi kalau negara mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak seharusnya. Kalau dalam impor gula ini, negara seharusnya mengeluarkan apa?” ungkapnya.
Ia juga menyebut bahwa kondisi stok gula dalam negeri apabila mencukupi, tidak serta merta menimbulkan kerugian keuangan negara hanya karena ada tambahan impor.
“Kalau stok cukup, lalu ada impor, kerugian keuangan negaranya apa? Itu yang tidak jelas. Kekurangan uang atau aset negara harus nyata dan pasti jumlahnya. Dalam konteks ini, apa yang dirugikan negara?” jelasnya.

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi