JAKARTA, KOMPAS.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat ditempuh secara sepihak.
Hal itu menjadi salah satu butir Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024 kemarin yang mengabulkan sebagian gugatan serikat pekerja terhadap Undang-undang Cipta Kerja
PHK upaya terakhir
Mahkamah menyatakan bahwa PHK adalah jalan terakhir. Dalam putusan kemarin, majelis hakim mengungkit lagi pendirian Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011 pada 20 Juni 2012.
Dalam putusan 12 tahun lalu, MK memberi contoh kebijakan yang perlu dilakukan perusahaan sebelum menempuh PHK, antara lain (a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; (b) mengurangi shift, (c) membatasi/menghapuskan kerja lembur; (d) mengurangi jam kerja; (e) mengurangi hari kerja.
Baca juga: Poin-poin Penting Putusan MK atas UU Cipta Kerja, dari soal Upah hingga PHK
Kemudian, (f) meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; (g) tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; (h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat …”.
“Perlu ditegaskan bahwa PHK merupakan upaya terakhir (the last resort) untuk memutus hubungan kerja dengan pekerja,” tulis MK dalam pertimbangan putusan 168.
Harus diberitahukan dan wajib berunding
MK menyatakan, PHK pun harus diberitahukan dengan tujuan perundingan bipartit (dua pihak), bukan sekadar pemberitahuan satu arah tentang alasan dan maksud PHK.
Mahkamah juga menyebut bahwa pemberitahuan itu diberikan kepada pekerja usai berbagai upaya dilakukan oleh pengusaha untuk menghindari terjadinya PHK.
Baca juga: MK Kabulkan Sebagian Uji Materi UU Cipta Kerja, Buruh: Putusan Ini Luar Biasa
“Proses atau tahapan selanjutnya, tetap wajib dilakukan perundingan, apabila pekerja/buruh tidak sepakat dengan maksud dan alasan PHK yang telah diberitahukan tersebut,” tulis Mahkamah.
“Artinya, mekanisme ‘ajib dilakukan perundingan’ tersebut adalah perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh,” tulis Mahkamah. MK juga secara khusus menambahkan klausul bahwa perundingan bipartit PHK itu harus dilakukan secara musyawarah mufakat.
Tunggu inkrah jika ada sengketa
MK menilai, seandainya perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan, maka dengan sendirinya proses penyelesaiannya harus dilakukan melalui penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang PPHI.