Rencana pemerintah menyederhanakan daya listrik menimbulkan polemik. Sebagian pihak menduga hal ini akan memberatkan masyarakat.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]emerintah berencana melakukan penyederhanaan golongan listrik non-subsidi. Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah mengkaji kemungkinan tersebut.
Ke depan akan ada perubahan golongan pengguna listrik. Selama ini pengguna listrik non-subsidi digolongkan menjadi 900 volt ampere (VA) non-subsidi, 1.300 VA, 2.200 VA, dan 3.300 VA.
Berdasarkan rencana pemerintah, golongan 1.300 hingga 3.300 VA akan dihapus dan akan digabungkan pada kapasitas daya yang lebih tinggi yaitu 5.500 VA. Penyederhanaan juga akan terjadi pada golongan 4.400 VA hingga 12.600 VA dinaikkan menjadi 13.000 VA dan golongan 13.000 VA ke atas dayanya akan di-loss stroom atau tanpa batasan daya.
Sementara itu, untuk pelanggan 900 VA non-subsidi batal dimasukkan dalam rencana kenaikan daya. Meski begitu pemerintah akan mendorong pelanggan tersebut untuk menaikkan dayanya menjadi 1.300 VA. Pemerintah akan melakukan riset terlebih dahulu terkait hal ini.
Pemerintah tentu memiliki maksud tertentu dalam rencana ini. Terlepas dari apapun rencana kebijakan ini memiliki risiko potensi di berbagai sisi.
Di Balik Rencana Kenaikan Daya
Pemerintah menyebutkan bahwa rencana kenaikan daya untuk memudahkan masyarakat ketika menggunakan alat elektronik secara bersamaan. Pengguna listrik nantinya tidak perlu khawatir listrik akan mati ketika menggunakan banyak peralatan listrik bersamaan.
Rencana pemerintah ini juga disebut bermaksud untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk menikmati listrik.
Hal ini sesuai dengan target elektrifikasi nasional yang mencapai 97 persen pada tahun 2019. Selain itu ini juga dilakukan untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat dalam mengakses listrik.
Pemerintah juga menyebutkan bahwa rencana peningkatan daya listrik ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Di era internet of things, rumah tangga dapat beraktivitas niaga melalui internet.
Masyarakat misalnya dapat menggunakan listrik untuk membuat suatu produk tertentu. Di saat yang bersamaan masyarakat juga menggunakan listriknya untuk memasarkan produk tersebut.
Langkah pemerintah ini juga disebut untuk menggenjot Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Selama ini listrik dengan daya besar hanya dapat diakses oleh usaha besar dan industri saja. Diharapkan UMKM dapat memanfaatkan kenaikan daya tersebut dan menunjang produktivitasnya.
Melalui kebijakan ini diharapkan UMKM dapat lebih mudah berkembang. Hal ini dikarenakan mereka dapat memperolah daya tambahan tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
#KabarESDM
Minergi mw share informasi baik untuk sobat energi tentang tarif listrik nih. Buka link berikut yuk sob! https://t.co/XwDNfBcVno#PenyederhanaanGolonganPelanggan
— Kementerian ESDM RI (@KementerianESDM) November 12, 2017
Sementara itu PLN menyebutkan bahwa penyederhanaan daya listrik ini akan membantu meningkatkan konsumsi listrik per kapita. Saat ini konsumsi listrik per kapita masih di angka 934 kWh.
Kebijakan ini juga dilakukan untuk memanfaat pasokan listrik PLN yang berlebih. Pertumbuhan volume penjualan listrik memang sedang mengalami perlambatan konsumsi.
Pada semester I tahun 2017 pertumbuhan konsumsi listrik hanya mengalami kenaikan sebesar 1,17 persen. Padahal di periode yang sama tahun lalu pertumbuhannya mencapai 7,8 persen.
Pemerintah berupaya tidak akan ada kenaikan tarif akibat kebijakan ini. Selain itu biaya penggantian miniature circuit breaker (MCB) juga akan diupayakan tidak merugikan pelanggan.
Berpotensi Memberatkan
Rencana ini dapat membebani pelanggan yang terbiasa dengan daya listrik lebih rendah. Daya listik yang lebih tinggi dapat mendorong masyarakat menggunakan listrik lebih banyak. Hal ini dapat menimbulkan beban biaya listrik bagi masyarakat.
UMKM yang dianggap akan diuntungkan justru sebaliknya akan dirugikan. Hal ini akibat biaya listrik yang tidak disadari membengkak.
Alih-alih meraup untung, kalangan UMKM justru bisa saja mengalami penurunan omzet. Tagihan listrik umumnya dapat menyumbang hingga 20 persen ongkos produksi industri rumahan. Pemakaian listrik yang tidak disadari membuat ongkos semakin membengkak.
Ketika PLTU Batubara terus ditambah, polusi udara mewabah, listrik over kapasitas, dan PLN dalam bayang kerugian, maka solusinya adalah masyarakat yang harus membayar lewat penaikan daya. https://t.co/4QdIrvjyOL pic.twitter.com/Bf1Ky2F7BM
— Greenpeace Indonesia (@GreenpeaceID) November 15, 2017
Selain itu, bagi pelanggan yang menikmati daya 900 VA non-subsidi, jika mengikuti dorongan pemerintah, maka akan mengalami kenaikan tarif. Semula mereka membayar 1.352 per kWh, jika dinaikkan menjadi 13.300 maka mereka harus membayar 1.467 per kWh.
Bagi pelanggan listrik pascabayar, rencana ini juga dapat membebebani biaya abonemen mereka. Besaran biaya pengguna pascabayar bergantung pada daya masing-masing pelanggan. Semakin besar daya maka akan semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan.
Jika tujuan pemerintah dalam penyederhanaan daya ini adalah peningkatan konsumsi, maka pemerintah juga harus memperhatikan kemampuan pelanggan. Di tengah daya beli yang menurun, tidak banyak masyarakat yang menghabiskan uangnya untuk membeli peralatan elektronik.
Konsumsi listrik terkait dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Jika suatu rumah tangga diberi listrik dengan kapasitas daya yang tinggi tetapi kepemilikan alat elektroniknya rendah, maka konsumsi tidak akan berjalan maksimal. Akibatnya tujuan untuk meningkatkan konsumsi listrik menjadi tidak efektif.
Kenaikan tagihan listrik akibat pemakaian yang tidak disadari juga dapat memicu inflasi. Kenaikan harga umumnya amat dipengaruhi oleh kenaikan tagihan listrik. Daya beli masyarakat pun menjadi semakin terbebani.
Beban juga tidak hanya akan dialami oleh masyarakat. PLN juga dapat tertimpa beban akibat kebijakan ini. Pada penggantian MCB misalnya, PLN berencana untuk melakukannya secara gratis. Pelanggan yang setuju akan mendapat layanan penggantian secara cuma-cuma dari PLN.
PLN disebutkan menyiapkan dana sebesar Rp 800 miliar hingga Rp 900 miliar untuk menopang fasilitas ini. Kesiapan dana ini telah dinyatakan secara langsung oleh Dirut PLN Sofyan Basir.
Meski biayanya tidak mencapai triliunan, PLN sebaiknya berhati-hati. PLN tengah dilanda persoalan keuangan terutama utang yang serius. Menteri Keuangan (Menkeu) sampai memberikan perhatian khusus pada perusahaan listrik pelat merah ini.
Kemampuan kapasitas PLN juga akan terbebani. Golongan yang lebih sedikit membuat PLN harus memperbaiki jaringan distribusinya dan memperbarui beberapa infrastrukturnya.
Keandalan listrik juga berpotensi terganggu. Hal ini terjadi akibat adannya konsumsi listrik yang bertambah. Di beberapa daerah beban daya sudah ada yang melampaui 80 persen. Jika kenaikan konsumsi tidak disertai peningkatan fasilitas maka keandalan listrik dapat terganggu.
Menyiasati Tarif Tidak Boleh Naik?
Pemerintah telah menyatakan bahwa tarif listrik tidak akan mengalami kenaikan di tahun 2017. Selain itu, tarif juga tidak akan naik di tahun 2018 dikarenakan adanya proyek listrik 35.000 MW.
Dengan menyederhanakan golongan pengguna listrik maka golongan terbawah yaitu 900 VA non-subsidi harus menaikkan beban biaya listrik mereka. Selain itu, konsumsi masyarakat akan listrik juga berpotensi meningkat akibat kebiasaan hemat listrik yang belum ada di masyarakat.
Beberapa pengamat menuding bahwa penyederhanaan daya ini hanyalah kedok pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berupaya memungut tarif listrik yang lebih besar dengan cara menaikkan daya listrik.
Indef Sebut Penyederhanaan Golongan Listrik Hanya Kedok Belaka https://t.co/bAtqzG8o5z @DJRachbini
— INDEF (@IndefEconomics) November 14, 2017
Golongan kelas menengah akan menanggung biaya listrik yang lebih besar. Padahal mereka tidak membutuhkan kenaikan daya tersebut.
Potensi kenaikan tagihan yang dialami pelanggan dapat dikatakan sebagai kenaikan tarif secara terselubung. Direktur Lembaga Pengkajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa, sebagaimana dikutip Tempo, menyebut kebijakan penyederhanaan daya ini diduga akan memiliki dampak serupa dengan kenaikan tarif.
Kebijakan ini seolah membebankan kondisi keuangan PLN yang tengah dilanda utang kepada masyarakat. PLN yang tidak diizinkan menaikkan tarif dan sedang menjalankan proyek 35.000 akan diselamatkan oleh masyarakat yang tidak membutuhkan tambahan daya.
Berkaitan dengan program 35.000 MW, ada potensi akan terjadi surplus listrik yang tinggi. Padahal kini industri tengah lesu. Jika ada banyak listrik tidak terjual maka PLN akan mendapat denda Take or Pay (TOP) dari pengembang listrik swasta/Independent Power Producer (IPP).
Untuk mengurangi risiko PLN, maka penjualan perlu digenjot. Sebagai upaya menyiasati konsumsi industri yang tengah lesu maka konsumsi rumah tangga perlu ditingkatkan.
Kapasitas listrik yang tinggi ini didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Harga energi dari batu bara ini mengalami kenaikan sehingga terjadi inefisiensi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit. Pemerintah idealnya mempertimbangkan untuk menunda penambahan PLTU tersebut.
Jika pemerintah terus memaksakan, maka kebijakan penyederhanaan daya ini hanya membebani masyarakat. Tidak hanya dari segi biaya, tetapi dari segi emisi yang dihasilkan PLTU batu bara.
Dikarenakan masih dalam tahap rencana, kajian yang dilakukan pemerintah harus dilakukan secara komprehensif. Kebijakan ini di atas kertas baik agar penetapan alokasi subsidi tidak terlalu rumit. Selain itu langkah ini juga membuat rentang antargolongan menjadi tidak terlampau jauh.
Meski begitu, jika dilakukan tanpa kajian yang baik maka hanya akan menjadi beban. Tidak salah jika banyak pihak menduga rencana ini hanya menjadi siasat dari tarif listrik yang tidak boleh naik di 2018. (H33/Berbagai sumber)