“Elektabilitas Presiden Jokowi selalu di puncak survei, adakah lawan sepadan atau justru mudah digembosi?”
PinterPolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]elang Pilpres 2019, Presiden Joko Widodo dibekali berbagai kekuatan politik sehingga membuatnya ‘menari di atas angin’. Salah satunya dibuktikan dengan tercatatnya nama Jokowi di puncak survei untuk menuju periode kedua Presiden RI.
Elektabilitas Jokowi tak terkalahkan dan beberapa tokoh lain yang masuk radar survei pun mengekor jauh di belakang. Jalan mulus Jokowi ini berpeluang terhambat pada dua hal, yaitu munculnya kekuatan baru dengan tokoh yang sepadan atau adanya penggembosan elektabilitas dari ‘dalam’.
Namun, sampai saat ini belum muncul calon alternatif yang mampu mendulang elektabilitas tinggi dan mampu menantang perebutan kursi Presiden dari Jokowi.
Artinya bahwa sebagai petahana, Jokowi memang diunggulkan dan memiliki ruang yang cukup untuk bersentuhan dengan masyarakat. Namun disisi lain, bila kinerja bersama Kabinet Kerja membuat masyarakat terbebani, maka elektabilitas Jokowi dapat tergembosi.
Namun, upaya penggembosan elektabilitas Jokowi bukan hanya dari karakter kepemimpinannya saja, bisa juga melalui kinerja dan kebijakan Kabinet Kerja yang berpotensi menyebabkan masyarakat merasa semakin terbebani.
Salah satu kebijakan yang berpotensi menggembosi elektabilitas Jokowi adalah program Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dinilai tidak populer dan cenderung membuat rakyat merasa dicekik oleh pungutan pajak maupun non pajak.
Tentu perasaan rakyat yang merasa terbebani akan berpotensi sebagai sumbu dalam upaya penggembosan elektabilitas Jokowi. Dengan kata lain, kepercayaan, keyakinan, dan keinginan untuk memilih Jokowi kembali di 2019 akan semakin mengikis.
Survei Populi Center: Elektabilitas @jokowi tertinggi https://t.co/OJwaIhKTom pic.twitter.com/7Ep5sRtbet
— Radio Elshinta (@RadioElshinta) November 3, 2017
Program Tak Populer Kemenkeu
Program tak populer Kemenkeu yang dikomandoi Sri Mulyani dinilai berpeluang menjadi salah satu bagian yang akan menggerogoti elektabilitas Jokowi sebelum Pilpres 2019 nanti.
Salah satu program yang paling tidak populer adalah wacana yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU-PNBP) yang akan mengubah UU no. 20 tahun 1997. Perubahan UU ini ‘memaksa’ rakyat untuk semakin terbebani dengan pungutan negara dari berbagai sektor. Salah satunya menyasar sektor layanan umum, diantaranya kesehatan, pendidikan, keagamaan, bisnis berbasis daring, dan lainnya.
Walau sampai tahun ketiga ini, Presiden Jokowi sempat meringankan beban masyarakat dengan menghadirkan kebijakan tanpa pungutan di sektor pelayanan pendidikan, kesehatan dan keagamaan. Namun, hal ini tak bertahan lama.
Langkah Sri Mulyani ini pada akhirnya menuai kritik dari berbagai pihak, salah satunya Rizal Ramli. Ia menuturkan bahwa pemerintah seharusnya jangan hanya memungut penerimaan negara dari sektor kecil saja. Karena sebenarnya pemerintah dapat mengoptimalkan pungutan PNBP dari sektor yang lebih besar, misalnya dari sumber daya alam (SDA), baik dari Migas dan non Migas, atau dari pendapatan laba BUMN serta pendapatan Badan Layanan Usaha (BLU).
Saat ini, menurut Rizal, pemerintah semakinganas menarik pungutan dari masyarakat dan semakin lesu menarik pungutan dari sektor yang sesungguhnya lebih besar. Ini dibuktikan dengan dominasi penerimaan SDA Migas yang mengalami penurunan akibat parameter perhitungan yang cenderung menurun sejak tahun 2015.
Apalagi revisi UU PNBP sudah masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2017. RUU PNBP ini disusun dalam naskah akademik dan bertujuan untuk mengejar pendapatan negara, khususnya di sektor sumber daya alam. Selain itu, diperlukannya pengaturan tentang beban pungutan tambahan selain pajak untuk semua sektor.
Bukan hanya bergulir di era Jokowi, RUU PNBP yang disusun dalam naskah akademik sudah digagas sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, putusan final belum didapatkan hingga saat ini.
Sementara itu, awalnya PNBP 2017 yang ditargetkan mencapai Rp 250 triliun, namun ternyata di dalam pelaksanaannya hanya mampu mencapai Rp 146, 1 triliun di semester pertama tahun 2017.
Target penerimaan negara untuk PNBP belum tercapai di semester pertama tahun 2017 sehingga ‘mau tak mau’ pemerintah terus menggenjot dan mengejar pemasukan dari berbagai potensi yang ada.
Artinya pemerintah akan semakin menggeliat untuk menarik pungutan dari masyarakat. Pasalnya, PNBP dikenakan ke layanan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, mulai dari pendidikan, hingga keagamaan. Tentu hal ini akan berdampak pada tercekik dan terbebaninya masyarakat.
Tentunya masyarakat pun harus mendapatkan pelayanan yang sepadan dengan pungutan yang mereka berikan sehingga bukan hanya beban finansial yang didapatkan, namun juga pelayanan berbagai sektor pelayanan dapat bermanfaat.
Oleh karena itu, negara harus mempertanggungjawabkan kesesuaian kenaikan tarif dengan memberikan pelayanan yang diberikan.
Penggembosan Elektabilitas Jokowi?
Elektabilitas Presiden Jokowi berpotensi dapat digembosi seiring dengan dampak pungutan upeti pemerintah yang membebani masyarakat dari berbagai sektor.
Semakin mencekik kondisi perekonomian suatu bangsa, tentu akan menimbulkan rasa tidak percaya kepada pemimpinnya.
Sementara itu, Indonesia berpotensi mengarah pada titik yang sama dengan Argentina walau memang dalam segi regulasi masih menunggu pembahasan lanjutan oleh DPR RI 15 November 2017 mendatang.
Dengan kata lain, DPR sebagai lembaga legislatif berpotensi membuat regulasi yang akan mengantarkan masyarakat pada beban hidup yang semakin besar.
Apabila pemerintah dalam konteks ini telah berupaya mencekik masyarakat dengan perlahan dan melakukan pemotongan anggaran yang cukup signifikan, maka peristiwa ini terpotret seperti fragmen di Argentina puluhan tahun yang lalu.
Di bawah kepemimpinan Carlos Menem (1989-1999), Argentina memiliki sebuah fenomena yang lebih kurang memiliki kesamaan dengan Indonesia. Upaya ‘penyelamatan’ ini menggunakan kekuatan pemerintah untuk memotong-motong anggaran dan menarik pajak dari berbagai sektor termasuk layanan masyarakat.
Bahkan, Argentina kacau balau puluhan tahun lalu itu akibat negaranya sangat membutuhkan uang dan rakyatnya mengeluh dengan dikeluarkannya kebijakan potong anggaran (Austerity). Alasan kebutuhan negara yang memaksa dirinya untuk menarik upeti lebih dari masyarakat.
Selain itu, Menteri Keuangan Argentina, Domingo Cavallo mengambil langkah di luar ekspektasi. Ia melakukan upaya penjualan aset negara dengan kata lain melakukan swastanisasi perusahaan negaranya.
Hal ini dinilai sebagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Setelah dianalisis tenyata Cavallo merupakan kepanjangan tangan dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang mengharuskan ia mengambil kebijakan tidak populer dan jelas tidak pro rakyat.
Banyak juga pihak yang menyatakan bahwa Cavallo menganut paham neolib yang bertentangan dengan keinginan Carlos Menem, Presiden Agentina yang menjanjikan kebijakan pro rakyat saat perhelatan kampanye.
Awalnya, Argentina menemui titik kebangkitannya saat kebijakan Cavallo dijalankan, namun ternyata disisi lain hal ini berdampak pada munculnya dampak lain yang membawa Argentina jauh dari kemandirian dan secara kebijakan meninggalkan rakyat kecil.
Ditinjau dari campur tangan World Bank dan IMF di perekonomian suatu negara, Indonesia memiliki sosok yang cakap dan kapabel berbicara tentang dua institusi tersebut.
Tiada lain ia adalah Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI yang sempat menjabat Direktur Pelaksana World Bank. Bila hanya melihat keterkaitan World Bank dan IMF tentu memiliki posisi yang sama.
Hal ini menandai adanya campur tangan yang sama dengan peristiwa di Argentina pada masa lampau dengan situasi Indonesia saat ini. Tentu bila ini yang terjadi di Indonesia, dampaknya akan berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat kepada Jokowi. Terutama akibat pungutan yang dirasa mencekik masyarakat.
Dari potret ini, Indonesia memiliki kondisi yang lebih kurang sama, apakah pemerintah tidak belajar dari pengalaman pahit Argentina ini? Bahkan, untuk hanya bicara menggerogoti elektabilitas Presiden saja merupakan dampak sempit dari potret kebijakan seperti ini.
Karena ketika perekonomian rakyat semakin menghimpit, efeknya akan lebih parah lagi. Belajar dari peristiwa 1998, adanya penggulingan kekuasaan akibat penguasa tidak lagi pro dengan keinginan rakyat dan hanya menyengsarakan rakyat, bisa saja akan terjadi kembali.
Kinerja Kabinet saat ini, memang memiliki dua sisi yang saling berlawanan. Jokowi tentu akan mendapatkan keuntungan apabila kabinetnya mampu menggapai prestasi dan membahagiakan rakyat. Namun di sisi lain, kebijakan menterinya pun dapat mengakibatkan kesengsaraan rakyat yangberpotensi munculnya ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. (Z19)