Penantian panjang penghayat kepercayaan berakhir saat MK memutuskan kolom agama dapat diisi penghayat kepercayaan. Lalu apa berikutnya?
PinterPolitik.com
Ketuk palu Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu memberikan angin segar bagi penghayat kepercayaan di Indonesia. MK memutuskan bahwa kepercayaan kini diakui dalam administrasi kependudukan Indonesia. Ini merupakan kemenangan bagi perjuangan panjang penghayat kepercayaan di Indonesia.
Orang-orang yang menganut kepercayaan selama ini mengalami diskriminasi. Diskriminasi ini datang dari negara maupun masyarakat. Pengakuan negara terhadap enam agama saja membuat mereka seolah terpinggirkan baik dari kebijakan maupun sosialisasi di masyarakat.
Kini penganut kepercayaan tidak perlu lagi berpura-pura menganut agama lain untuk menampakkan diri di masyarakat. Meski begitu, putusan MK ini bisa dikatakan langkah paling awal saja. Perlu diperhatikan apakah pasca putusan MK ini, orang yang menganut kepercayaan akan benar-benar bebas dari diskriminasi.
Riwayat Penghayat Kepercayaan
Indonesia hanya mengakui enam agama resmi saja yang dapat dianut oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan dampak kepada penghayat kepercayaan. Dalam banyak kasus mereka dipaksa memilih satu agama agar dapat diakui secara administratif.
Selain dipaksa memilih satu dari enam agama yang diakui negara, diskriminasi dalam bentuk lain juga kerap dialami oleh penghayat kepercayaan. Perkawinan orang yang menganut agama lokal misalnya hanya dilakukan secara adat sehingga tidak diakui negara. Hal ini berdampak pada kesulitan bagi administrasi anak yang menganut agama lokal.
Akses terhadap berbagai produk kependudukan pun menjadi terbatas. Mereka kerap kesulitan untuk mendapat KTP, KK, akta kelahiran, dan juga akta nikah.
Kesulitan juga dialami dalam hal ketenagakerjaan. Umumnya orang yang menganut kepercayaan selain enam agama yang diakui negara sulit memperoleh pekerjaan di sektor formal. Hal ini merupakan imbas dari tidak dicantumkannya kepercayaan mereka dalam kartu identitas. Mereka kerapkali tidak bisa mendapat pekerjaan kecuali jika mau berpindah agama.
Ganjalan juga kerap muncul pada aplikasi lowongan pekerjaan di internet. Banyak formulir aplikasi yang tidak memasukkan aliran kepercayaan pada pilihan agama di formulir tersebut.
Jika pada akhirnya berhasil mendapat pekerjaan, masalah nyatanya belum benar-benar berhenti. Mereka mengalami kesulitan saat proses pengupahan untuk mendapatkan akses bank.
Bank kerapkali memerlukan konfirmasi pemerintah terlebih dahulu untuk memberikan akses kepada penganut kepercayaan. Akibatnya tidak hanya kesulitan dalam proses pengupahan, mereka juga kerap kesulitan untuk mendapat bantuan modal usaha.
Diskriminasi juga terjadi dalam hal pendidikan. Dalam beberapa kasus anak yang menganut kepercayaan tertentu tidak dapat naik kelas meski tergolong cerdas di sekolah. Hal ini dikarenakan mereka tidak mengikuti pelajaran agama.
Banyak sekolah yang berargumen hanya pelajaran dari enam agama yang diakui pemerintah yang ada di kurikulum. Hal ini membuat penghayat kepercayaan menolak mengikuti pelajaran agama di sekolah karena tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Akibatnya nilai agama di rapor pun kosong.
Menyusun Ulang Hukum dan Administrasi
Putusan MK ini menjadi momen yang baik untuk melakukan harmonisasi ulang bagi peraturan yang diskriminatif bagi penghayat kepercayaan. Hal ini penting agar pengakuan terhadap penghayat kepercayaan tidak hanya bersifat simbolis semata.
Agar penghayat kepercayaan dapat menjalani kehidupan lebih baik, ada beberapa aturan hukum yang perlu direvisi. Salah satunya adalah UU Administrasi Kependudukan (Adminduk). Secara legal hal ini diperlukan karena putusan MK yang bersifat mengikat dan tidak dapat ditinjau ulang.
Pada UU Adminduk sebelumnya disebutkan bahwa penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi. Bagi MK, pengosongan tersebut tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil bagi para penganut kepercayaan.
Aturan perlu direvisi agar penghayat kepercayaan dapat memasukkan keyakinan mereka sehingga tidak terjadi kerugian konstitusional dan kekacauan administrasi. Revisi aturan ini perlu agar kemudahan mendapat KTP dan KK menjadi lebih terjamin.
Perlu dibuat pula peraturan yang memberikan legalitas kepada kepercayaan yang ada. Hal ini agar keyakinan resmi yang diakui tidak hanya terbatas pada enam agama yang ada saat ini.
UU yang juga penting untuk diperhatikan adalah UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ini berkaitan dengan praktik pengajaran agama di sekolah agar mendapat hak pendidikan yang sama dengan pemeluk agama lain.
Kelompok Penghayat “Sunda Wiwitan” Tak Terdaftar di Kemendikbud https://t.co/k262OyG975
— Kompas.com (@kompascom) November 9, 2017
Pada UU tersebut disebutkan bahwa pemerintah wajib menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Sayangnya implementasi dari peraturan ini masih belum nampak. Sekolah masih kesulitan untuk menyediakan guru agama yang berkualitas bagi penghayat kepercayaan.
Sebenarnya saat ini telah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 27 tahun 2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan. Pada Permendikbud tersebut disebutkan bahwa pendidikan kepercayaan akan gantikan pelajaran agama bagi siswa penghayat.
Akan tetapi pada Permendikbud tersebut tidak diatur semacam instrumen sanksi atau penekan agar sekolah menyediakan guru agama sesuai kepercayaan. Ke depan, instrumen semacam tersebut diperlukan agar sekolah lebih mengupayakan guru kepercayaan tersebut.
Secara struktur di kementerian agama pun perlu ada penyesuaian. Selama ini agama-agama yang diakui memiliki direktorat jenderal masing-masing yang dapat membantu pelaksanaan kegiatan ibadah masing-masing agama.
Jika pemerintah serius ingin memberikan pembinaan dan pelayanan kepada penghayat kepercayaan maka direktorat khusus kepercayaan menjadi hal yang diperlukan. Hal ini tentu dilakukan setelah pendataan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah sempurna.
Benarkah Diskriminasi Akan Hilang?
Beberapa penganut agama lokal tetap khawatir diskriminasi tetap ada. Hal ini misalnya terjadi akibat nama aliran kepercayaan yang tidak disebutkan dalam KTP. Putusan yang ada saat ini hanya menyebut kolom agama dapat diisi “penghayat kepercayaan”, tanpa merinci kepercayaan yang dimaksud.
Bagi mereka penulisan istilah penghayat kepercayaan dikhawatirkan belum mampu menghilangkan diskriminasi di masyarakat. Penyebutan lebih jelas dapat membuat masyarakat lebih mengenal kepercayaan yang dimaksud sehingga proses pembauran dapat berjalan lebih mulus.
Putusan MK memang sebuah langkah yang baik, tetapi ini masih sebatas pengakuan legal oleh negara. Penghapusan diskriminasi selanjutnya yang penting adalah di tataran masyarakat. Hal ini berlaku bagi aparat negara maupun masyarakat secara luas.
#TifaFoundation menilai, ini merupakan kemenangan besar bagi masyarakat penganut agama lokal di Indonesia. Sebab selama ini, masyarakat penganut agama lokal sering kali menjadi korban diskriminasi, termasuk oleh Negara. @Kemendagri_RI @anbti @RumahAMAN @amnestyindo (3)
— TIFA Foundation (@TifaFoundation) November 8, 2017
Berdasarkan data Komnas HAM tahun 2015, ada gangguan terhadap kebebasan penganut kepercayaan. Di tahun tersebut ada tujuh kasus pelanggaran kebebasan berkeyakinan dan beragama kepada penghayat kepercayaan.
Ada pekerjaan rumah besar memperbaiki pola pikir masyarakat agar diskriminasi menghilang. Penghayat kepercayaan kerap dianggap sesat, musyrik, PKI, dan sebagainya.
Saat masyarakat penganut agama lokal mendaftar untuk mendapat KTP, pilihan agama untuk mereka tidak tersedia. Hal ini membuat mereka kerap mengosongkan kolom agama di KTP. Akibatnya mereka dicap sebagai orang yang tidak beragama.
Cap-cap yang diberikan masyarakat tersebut membuat ada diskriminasi sosial kepada pengahayat kepercayaan. Mereka seolah dianggap sebagai warga negara kelas dua di masyarakat.
Masalah juga dapat muncul jika penghayat kepercayaan terlanjur menuliskan agama lain dalam KTP. Ketika identitas kepercayaan asli mereka diungkap dikhawatirkan akan timbul persekusi karena anggapan sesat, kafir, atau murtad dari masyarakat.
Byk kesulitan dialami penghayat kepercayaan terkait politik administrasi negara. Moga tdk lg. https://t.co/9KuOe2AQE8 via @islamidotco
— savic ali (@savicali) November 8, 2017
Para pemuka agama perlu menekankan bahwa penghayat kepercayaan bukanlah pelaku aliran sesat atau kemusyrikan. Para pemuka tersebut perlu menekankan bahwa interaksi dengan mereka adalah interaksi yang biasa dilakukan sehari-hari dengan agama lainnya.
Jika perlu pemerintah memberikan langkah afirmasi kepada penganut agama-agama lokal tersebut. Selama ini penghayat kepercayaan adalah orang yang dikecualikan dalam kebijakan pemerintah. Memberikan jatah khusus bagi penghayat pemerintah agar dapat menduduki jabatan publik dapat memberikan perspektif penting bagi kebijakan yang diperlukan bagi penghayat kepercayaan.
Masyarakat juga perlu proaktif memperbaiki interaksi dengan penghayat kepercayaan. Dialog dengan para penganut kepercayaan tersebut dapat meruntuhkan sekat yang semula ada agar toleransi berjalan lebih maksimal.
Jika diperlukan advokasi dan pendampingan juga agar proses asimilasi berjalan dengan lebih mulus. Hal ini terutama jika dalam proses pengurusan adminstrasi orang yang menganut kepercayaan masih mengalami kesulitan.
Organisasi masyarakat (ormas) besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dapat menjadi promotor bagi hal ini. Peran serta kelompok masyarakat untuk mempromosikan toleransi kepada mereka dapat memudahkan menghilangkan diskriminasi. (Berbagai sumber/H33)