KOMPAS.com – Ekonom sekaligus Dosen Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi meragukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 sebagai penyebab Sritex pailit atau industri tekstil terpuruk.
Fithra mengatakan, ada banyak faktor yang menyebankan industri tekstil tertekan, bahkan ini sudah terjadi sejak satu dekade lebih.
“Industri tekstil tertekan udah dari 10 tahun terakhir bahkan lebih satu dekade berada di bawah tekanan. Ada banyak hal yang kemudian menggerogoti kinerja industri tekstil,” katanya dalam siaran pers, Selasa (5/11/2024).
Dia mencontohkan, salah satu penyebab industri tekstil tertekan adalah ongkos produksi yang cukup mahal.
Fithra menyebutkan, ongkos produksi yang mahal membuat industri dalam negeri mengalami kesulitan untuk bersaing dengan produk lain. Apalagi, ongkos produksi yang mahal tidak diimbangi produktivitas yang memadai.
“Pertama, dari sisi ongkos produksi. Ongkos produksi ini berasal dari dua hal, salah satunya kerja dalam konteks produktivitas relatif dari negara-negara lain relatif tertinggal,” ujarnya.
Baca juga: Kadin Akan Lakukan Kajian dan Advokasi untuk Selamatkan Industri Tekstil
Menruutnya, upah dari tenaga itu tidak sebanding dengan kenaikan produktivitasnya.
Faktor lain yang menyebabkan industri tekstil goyah adalah input produksi yang menghadirkan tekanan tersendiri bagi industri ini.
Dia mengatakan, saat ini, banyak pelaku usaha yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku.
“Jadi, ketika industri tekstil ingin mendapatkan input produksi yang tentu semua tidak berasal dari dalam negeri, yang tentu juga berasal dari luar negeri. Itu juga dipenuhi pembatasan-pembatasan,” katanya.
Fithra mengatakan, banyak sekali peraturan impor yang membatasi sehingga membuat industri tekstil kesulitan untuk mendapatkan akses bahan baku murah.
Masalah lainnya, kata dia, adalah kesulitan bahan baku murah yang membuat harga hasil produksi sulit untuk bersaing dengan produk lainnya sehingga harga yang dihadirkan tidak kompetitif.
Baca juga: 15 Investor Taiwan Minat Relokasi Bisnis Tekstil ke RI, tapi Minta 4 Syarat
“Dua hal ini kemudian yang membuat pricing (harga produk) menjadi tidak kompetitif. Ongkos produksinya itu sudah relatif mahal dari sisi penggunaan tenaga kerja dan juga penggunaan input produksi,” ujarnya.
Fithra menilai, ketika perusahaan ingin memberi harga menjadi tidak kompetitif. Hal ini juga menjadi masalah jika dilihat dari sisi indsutri global.
Masalah lainnya, adalah pandemi Covid-19 hingga perang yang terjadi di sejumlah negara, sehingga menyebabkan industri tekstil dalam negeri mengalami tekanan.