Sadap menyadap legal dilakukan oleh beberapa lembaga, termasuk KPK. Tapi kini, hak tersebut bakal terancam HAM. Kenapa bisa begitu?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]ewaktu KPK kompak ‘dihajar’ oleh berbagai pejabat negeri dan lembaga negara, anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi, turut menambahkan bahwa legalitas penyadapan yang dilakukan KPK patut dipertanyakan. Selain legalitas, Aboe juga ‘khawatir’ jika KPK akan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).
Wacana yang seakan ‘dipaksa’ untuk muncul dalam pembahasan publik oleh pejabat negeri ini memang janggal, sebab sejak awal pembentukannya KPK sudah memegang izin untuk melakukan penyadapan. Namun belakangan, hak tersebut baru diangkat dan dipermasalahkan.
Seakan merespon wacana legalitas dan pelanggaran HAM yang rentan terjadi dalam aksi penyadapan, Asrul Sani, pejabat yang juga berasal dari bangku Komisi III DPR RI, keluar dengan rencana membentuk RUU Penyadapan. Ia berseloroh, jika selama ini wewenang melakukan penyadapan oleh tiap lembaga negara, ternyata tidaklah sama, dan semuanya harus memerlukan izin dari Hakim.
Yang menjadi ‘ganjalan’ bagi kedua wakil rakyat ini adalah penyadapan yang dilakukan KPK tak pernah melalui izin Hakim. Menjawab pertanyaan tersebut, Agus Raharjo selaku Ketua KPK menyebut pihaknya tak pernah asal menyadap dan sudah melewati mekanisme berjenjang sebelum menyadap.
Meskipun begitu, dari sanalah, tuduhan pelanggaran HAM dikeluarkan terhadap KPK. Lantas, bagaimana cara menyadap sesuai dengan HAM tanpa mengantongi izin Hakim?
Mereka Takut Disadap
Dari respon dan wacana yang dikeluarkan kedua pejabat dari Komisi III DPR RI, pernyatannya memang sarat akan kekhawatiran dan ketakutan. Betapa tidak, praktik sadap menyadap memang sering digunakan untuk mengincar tokoh atau pejabat tinggi negara.
Di awal tahun 2017 lalu, mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghentak publik karena mencurigai adanya aktivitas penyadapan yang dilakukan lembaga negara terhadap dirinya. Ia merasa sangat keberatan sebab privasinya sudah dirusak dan dinodai oleh lembaga negara tersebut.SBY (sumber: istimewa)
Di tangan tertentu, penyadapan memang bisa menjadi senjata politik yang tajam. Seperti yang diungkapkan oleh SBY saat konferensi, ia menyitir Peristiwa Watergate yang terjadi pada Presiden Nixon yang hendak mencalonkan diri lagi menjadi Presiden. Dari sana, diketahui rencana busuk serta konspirasi politiknya untuk merugikan Partai Demokrat di Amerika Serikat. Akhirnya, Nixon menemui jalan buntunya untuk kembali dipilih sebagai Presiden Amerika Serikat.
Sikap keberatan SBY mengenai penyadapan karena menginjak-nginjak privasinya memang tak berlebihan sama sekali. Seperti halnya Nixon, ia bisa menjadi korban atas penyadapan ilegal. Undang-Undang memang sudah mengatur sedemikian rupa supaya penyadapan tak dilakukan sembarangan, terutama dalam UU Telekomunikasi Pasal 40.
Selain UU tersebut, negara juga telah mengatur lembaga mana yang berhak dan memiliki wewenang melakukan penyadapan. Dari beberapa lembaga, KPK adalah salah satu lembaga yang punya wewenang jelas melakukan penyadapan. Kewenangan KPK ini umumnya dilakukan untuk mengungkap kasus korupsi. Menariknya, belakangan wewenang KPK ini malah dianggap melanggar HAM.
Bisa Menyadap Sesuai HAM?
Di Indonesia, pihak-pihak yang berwenang melakukan penyadapan sudah diatur dalam Undang-Undang (UU). Hanya ada lima badan pemerintahan yang boleh melakukan penyadapan, antara lain: Badan Intelijen Negara (BIN), KPK, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian RI, serta Pengadilan RI.
Lembaga-lembaga tersebut, dinaungi pula oleh empat UU yang memberi wewenang penyadapan pada badan-badan tersebut, yaitu: UU Psikotropika, UU Narkotika, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU KPK. Sedangkan sanksinya sudah diatur dalam dua UU, yaitu UU Telekomunikasi dan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
UU KPK sebagai salah satu aturan yang sahih menaungi wewenang penyadapan KPK, ternyata masih bermasalah di mata Asrul Sani. Menurutnya, hak penyadapan KPK melanggar HAM karena merusak privasi si target penyadapan. Ia menambahkan jika KPK tak pernah meminta izin Hakim sebelum melancarkan penyadapan.
Asrul mengacu pada RUU KUHAP Pasal 83, dimana disebutkan bahwa, “…tak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris.” Sementara dalam prakteknya, KPK berjalan dan melakukan penyadapan sebelum izin turun dari Hakim komisaris. Inilah awal para anggota DPR menyebut langkah penyadapan KPK sebagai bentuk pelanggaran HAM.Penyadapan Sesuai HAM, Bisa Terjadi
Menghadapi polemik HAM dengan wewenang KPK melakukan penyadapan, Rooseno, seorang peneliti hukum dan HAM dari Kemenkumham, pernah berkata jika hal tersebut bisa berjalan seirama. Pihak DPR tak perlu ‘mengkhawatirkan’ aksi penyadapan yang dilakukan KPK, sebab ada dua jenis HAM yang bisa dipakai untuk menghadapi penyadapan KPK.
Rooseno menjelaskan bahwa HAM punya dua sifat, yakni non-derogable rights dan derogable rights. Non derogable rights adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (seperti yang termaktub dalam UUD 1945, Pasal 28I Ayat 1).
Sementara derogable rights adalah HAM yang dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk dalam hal, kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat melalui sarana komunikasi elektronik maupun non elektronik, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (seperti yang termaktub dalam UU No 39/1999 Pasal 32, International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR Article 17 Ayat 1). Dengan demikian, ketika berhadapan dengan ‘pelanggaran’ HAM karena penyadapan, kuasa KPK bisa dipayungi oleh ketentuan HAM derogable rights.
Tahanan KPK (sumber: istimewa)
Kekuatan tersebut ditambah dengan ketentuan Siracusa Principles, yakni negara dapat mengambil langkah-langkah pengurangan HAM ketika menghadapi situasi bahaya yang luar biasa dan aktual, serta dapat mengancam kehidupan bangsa. Sementara korupsi, menurut Putusan MK Nomor 006/PUU-I/2003 halaman 5, sudah dinyatakan sebagai mara bahaya terhadap sekuritas negara.
Korupsi dapat merusak fungsi pelayanan sosial, merusak mental pejabat publik, dan mereka yang bekerja di dalam wilayah kepentingan umum. Dengan demikian, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai tindak kejahatan biasa, namun kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Dengan demikian, penyadapan KPK yang dilakukan tanpa seizin hakim dan pengadilan sangat dimungkinkan dan diperbolehkan terjadi. Korupsi merupakan kejahatan yang tak main-main, maka memerlukan tindakan ‘luar biasa’ pula untuk menangkalnya. Jika pihak DPR masih memiliki tenaga untuk mengurus wewenang dan kinerja KPK, maka baiknya, seperti yang disarankan Rooseno, beralihlah pada masalah substansi penyadapan, seperti tata cara penyadapan, surat perintah penyadapan, dan juga detail keperluan bukti.
Jika pihak DPR masih berkubang pada wacana pelanggaran HAM, terhadap aksi penyadapan KPK, maka tak menutup kemungkinan jika itu merupakan bentuk ketakutan, alih-alih kepedulian soal HAM. (Berbagai Sumber/A27)