Dua Mata Pedang Kenaikan UMP

Dua Mata Pedang Kenaikan UMP

7 November 2017, 11:58

Kenaikan UMP bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi hal ini bisa meningkatkan daya beli masyarakat, tetapi di sisi lain mengancam pengusaha terutama di sektor ritel.

PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]enjelang  tutup tahun, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja (Menaker) menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2018. Berdasarkan peraturan menteri tersebut, kenaikan UMP berada di angka 8,71 persen.
Kenaikan UMP ini bisa menjadi solusi bagi kondisi ekonomi yang kini dihadapi negeri ini. Indonesia memang disinyalir tengah mengalami penurunan daya beli. Hal ini membuat beragam usaha ritel terpaksa menutup gerai-gerai mereka.
Meski dapat menjadi solusi bagi masalah daya beli, di sisi lain kenaikan UMP ini juga bisa membebani pengusaha. Di tengah ancaman gulung tikar, misalnya yang terjadi pada sektor  ritel, pengusaha masih harus menambah biaya dengan memberikan tambahan upah bagi pekerja mereka.
Solusi Daya Beli?
Kenaikan UMP ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan meningkatnya kesejahteraan diharapkan mampu mendongkrak daya beli sehingga masyarakat mau membelanjakan uangnya. Masyarakat yang semula mengandalkan gaji untuk bertahan hidup kini bisa menggunakan uangnya untuk berbelanja.

Formulasi di dalam penghitungan UMP diharapkan mampu menjadi solusi bagi penurunan daya beli masyarakat. Meski pemerintah menetapkan 8,71 persen sebagai acuan kenaikan UMP, beberapa daerah berpotensi menaikkan UMP lebih besar dari angka tersebut. Hal ini terjadi karena adanya penyesuaian terhadap harga kebutuhan di masing-masing daerah.
Peningkatan daya beli masyarakat diharapkan dapat menyelamatkan usaha ritel yang tengah dilanda gelombang penutupan gerai akibat sepi pembeli. Masyarakat yang semula enggan berbelanja diharapkan mau mengeluarkan uangnya di berbagai pusat perbelanjaan. Dengan demikian, harapannya, pusat-pusat perbelanjaan dapat kembali hidup dan terhindar dari ancaman gulung tikar.Peningkatan daya beli ini diharapkan tidak hanya menguntungkan bagi kaum buruh saja, tetapi juga para pengusaha, terutama yang bergerak di sektor ritel. Dengan kenaikan UMP ini, diharapkan laba perusahaan-perusahaan ritel yang sempat mengalami penurunan sepanjang 2016 hingga 2017 dapat mengalami perbaikan. Perusahaan yang pertumbuhannya minus seperti Hero (-4 persen) dan Matahari (-3 persen) diharapkan dapat diselamatkan.
Bagi sebagian pengusaha, kenaikan ini termasuk moderat dalam upaya menggenjot kembali perekonomian. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) misalnya, mengatakan bahwa kenaikan UMP ini adalah jalan tengah bagi pengusaha dan pekerja. Salah satu bos perusahaan ritel juga mengatakan bahwa kenaikan ini tidak terlampau berat dan dapat menjadi solusi bagi penurunan daya beli masyarakat.
Dilema UMP Bagi Pengusaha
Meski dapat membantu meningkatkan daya beli, kenaikan UMP juga dilematis bagi para pengusaha, termasuk bagi para pengusaha ritel. Saat kinerja perusahaan sedang melemah akibat penurunan daya beli masyarakat, mereka justru harus menanggung beban lagi dengan membayar gaji pegawai yang lebih tinggi.
Bagi para pengusaha ritel yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), kenaikan UMP ini amat dilematis. Di satu sisi, mereka mengharapkan kenaikan penghasilan masyarakat dapat meningkatkan kunjungan ke toko ritel. Tetapi, di sisi yang lain, mereka juga harus menambah pengeluaran dengan meningkatkan gaji pegawai.

UMP Naik dan Banyaknya Ritel Tutup Buat Pengusaha Dilema https://t.co/q0KVQH5bXi via @detikfinance pic.twitter.com/97O44szjz2
— detikcom (@detikcom) November 1, 2017

Kenaikan UMP ini terjadi di waktu yang suram bagi pelaku usaha ritel. Aprindo berharap kenaikan ini tidak berlaku secara umum. Sektor ritel yang kini tengah tergerus diharapkan mendapatkan perhatian khusus agar tidak terus-menerus menderita. Mereka mengharapkan ada ruang untuk membicarakan tentang kebijakan UMP ini dengan pemerintah. Jika memungkinkan, mereka berharap ada penundaan kenaikan dulu hingga kondisi perekonomian lebih baik.
Jika beban pengeluaran untuk gaji pegawai terlampau berat, bisa saja pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Efisiensi jumlah karyawan merupakan hal yang kerap tidak terhindarkan ketika biaya yang harus dikeluarkan perusahaan kian tinggi.Sementara itu, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan bahwa PHK kemungkinan  tak bisa terhindarkan. Ia memperkirakan kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen dapat menimbulkan potensi pengurangan tenaga kerja antara 15 hingga 20 persen.

UMP Naik 8,71 Persen, Pengusaha Ancam Pecat Karyawan https://t.co/IMVywgR8JR
— TEMPO.CO (@tempodotco) November 1, 2017

Menurut Apindo sektor padat karya akan terganggu dengan kebijakan kenaikan UMP karena menyerap paling banyak tenaga kerja. Akibatnya, investasi di sektor padat karya dapat mengalami penurunan daya tarik. Padahal, investasi padat karya adalah solusi bagi pengangguran.
Jika ini terjadi, alih-alih kesejahteraan masyarakat meningkat, mereka justru harus kehilangan sumber penghasilan. Akhirnya daya beli bukannya menjadi tinggi, malah semakin anjlok dikarenakan masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan.
Kenaikan ongkos produksi akibat naiknya upah juga dapat membuat harga-harga barang mengalami peningkatan. Biaya operasional yang kian tinggi membuat perusahaan dapat memilih menaikkan harga barang agar terhindar dari kerugian.
Bagi para pengusaha, kondisi ini tentu saja kontraproduktif terhadap upaya menaikkan daya beli masyarakat. Meningkatnya UMP berjalan bersamaan dengan kenaikan harga barang. Akibatnya upaya untuk meningkatkan daya beli tidak terpengaruh secara signifikan.
Tersandera PP Pengupahan
Keputusan pemerintah untuk menaikkan UMP tidak terlepas dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Terlepas dari berbagai kekurangannya, PP Pengupahan ini memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk menaikkan UMP setiap tahunnya.
Berdasarkan PP ini, kenaikan UMP akan didasarkan pada dua hal yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Menurut pemerintah, hal ini sudah adil karena memberikan kepastian upah pada dunia usaha serta kepastian kenaikan upah setiap tahun bagi pekerja.
Meski begitu, PP ini juga membuat pemerintah dan pengusaha tersandera kewajiban menaikkan upah setiap tahunnya. Ada variabel lain yang tidak masuk dalam hitungan UMP tersebut,misalnya saja kinerja buruh yang kerap dikeluhkan oleh pengusaha. Selain itu, kondisi khusus seperti penurunan daya beli dan melemahnya sektor ritel seperti saat ini juga luput dari penghitungan.
Sementara itu, menurut buruh, kenaikan yang diberikan pemerintah masih belum cukup untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Hal ini dikarenakan penghitungan yang menggunakan PP 78 tahun 2015 tersebut dianggap belum sesuai dengan kebutuhan buruh.

Sekjend FSPMI: Tuntut PP 78/2015 Dicabut, Buruh Akan Demo Istana https://t.co/EdrBY4NcdF pic.twitter.com/iegsm4bFh2
— #AsiaFightsFor+50 (@FSPMI_KSPI) November 3, 2017

Bagi buruh, formula penghitungan dengan hanya menggunakan dasar inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional tidak menggambarkan kondisi riil di lapangan. Buruh memiliki perhitungan lain yang dianggap lebih mampu meningkatkan daya beli,yakni berdasarkan Komponen Hidup Layak (KHL).
KHL ditentukan berdasarkan survei kenaikan harga-harga barang di pasar, produktivitas buruh dan pertumbuhan ekonomi. Sistem ini sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sistem ini dapat lebih menggambarkan kondisi harga-harga di pasaran.
Berbagai serikat buruh menganggap satu-satunya cara untuk menaikkan daya beli kaum buruh adalah dengan mencabut PP Pengupahan No 78. Bagi mereka PP ini melanggengkan rezim upah murah yang tidak bermanfaat bagi kesejahteraan buruh.
Di tengah daya beli yang tengah lesu, kenaikan UMP diharapkan dapat menjadi solusi bagi kondisi tersebut. Gelombang penutupan gerai ritel diharapkan dapat berhenti dengan kewajiban pemerintah setiap tahunnya ini. Meski begitu, kenaikan ini juga menjadi pisau bermata dua. Jika tidak berhati-hati kenaikan UMP justru dapat berakibat daya beli semakin menurun.
Idealnya pemerintah mencari formulasi baru dalam pengupahan untuk menentukan UMP yang tepat. Variabel yang semula hanya melibatkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi harus ditambahkan dengan kondisi riil daya beli buruh di lapangan. Komponen KHL harus benar-benar disurvei agar tidak mengganggu bagi daya beli masyarakat. Selain itu variabel lain seperti kondisi ekonomi terkini juga perlu diperhatikan. Kelesuan ekonomi dalam hal daya beli perlu dipertimbangkan agar tidak tersandera kewajiban menaikkan upah tiap tahun. (Berbagai sumber/H33)

Tokoh

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi