Krjogja.com Yogya Kearifan lokal merupakan aset budaya hidup yang memiliki relevansi kuat dengan tantangan global saat ini. Nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan keharmonisan yang terkandung dalam budaya lokal bisa menjadi fondasi untuk menghadapi derasnya arus globalisasi. Demikian disampaikan oleh Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. ketika menyampaikan introduction speech dalam Seminar Kebudayaan bertajuk “Kearifan Lokal Sebagai Identitas: Kekhasan Kampus dalam Bingkai Budaya dan Prestasi” di Kampus Terpadu UWM pada Kamis (7/11). Acara ini juga sebagai penutup dari rangkaian acara Dies Natalis ke-42 UWM dan dihadiri lebih dari 40 peserta serta menghadirkan narasumber utama Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J., seorang Dosen Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Kajian Budaya dari Universitas Sanata Dharma (USD), yang dikenal akrab sebagai Romo Banar. Baca Juga: BSI Dukung Program Gizi Nasional Melalui Kemitraan dengan BGN
Prof. Edy membuka seminar dengan introduction speech yang menekankan pentingnya peran kearifan lokal dalam pendidikan. “Setiap program studi di UWM sebaiknya mampu menggali ciri khasnya dari materi yang disampaikan oleh Romo Banar, sehingga bisa menjadi keunikan bagi prodi. Keunikan ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi calon mahasiswa yang ingin belajar di UWM,” ungkapnya. Mengaktualisasikan nilai-nilai budaya, menurut Prof. Edy, bukan hanya bermanfaat untuk menjaga kelestarian tradisi, tetapi juga untuk memberikan penguatan identitas di tengah tantangan modernitas. “Filosofi hamemayu hayuning bawono, misalnya, memberikan kita landasan untuk melestarikan kehidupan dan keseimbangan. Di UWM, nilai ini diimplementasikan dalam kegiatan akademik dan non-akademik, sehingga mahasiswa tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki etika berlandaskan budaya,” kata Mantan Ketua Forum Rektor Indonesia ini.
Lebih lanjut, Prof. Edy menyatakan harapannya bahwa mahasiswa UWM dapat menjadi agen perubahan dengan berbekal ilmu dan nilai-nilai kearifan lokal yang kuat. “Kita berharap UWM dapat mencetak lulusan yang tidak hanya berprestasi secara akademik, tetapi juga memiliki karakter yang peduli terhadap budaya dan lingkungan sekitar, serta mampu menjadi pemimpin yang berintegritas,” ungkapnya. Ia juga menambahkan, “Sehebat apapun orang yang punya achievement tinggi, berprestasi, dan jabatan tinggi tapi kalau dia tidak mempunyai etika maka semuanya itu dianggap hilang.” Baca Juga: Gus Umar Magnet di Kampanye Andika-Hendi Romo Banar melanjutkan dengan menggali akar historis UWM, di mana kampus ini berpedoman pada nilai-nilai “memayu hayuning bawono” di mana pendidikan bukan hanya soal akademik, tetapi juga mencakup pembentukan karakter. Ia juga menyoroti perkembangan Yogyakarta yang bertransformasi dari masa pra-kolonial hingga post-kolonial, serta bagaimana kampus ini beradaptasi dengan perubahan tersebut dalam menghadapi tantangan zaman. Lebih lanjut, Romo Banar menjelaskan bahwa UWM tidak bisa terlepas dari dinamika internal dan eksternal yang membentuk identitasnya. “Kampus ini tumbuh dalam dinamika karisma pendiri, proses institusionalisasi, serta tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Peran UWM adalah menjembatani nilai-nilai tradisi dengan kebutuhan masa kini,” ungkapnya. Dalam seminar ini, Romo Banar juga membahas konfigurasi spasial Yogyakarta yang terus berkembang dari masa pra-kolonial hingga pasca-kolonial, menciptakan tata kota yang unik berakar pada budaya Jawa. Hal ini, menurutnya, berpengaruh pada identitas UWM sebagai institusi pendidikan yang mewakili spirit Yogyakarta. Baca Juga: Electric Bird Ganti Formasi Perkenalkan Single Baru ‘Sious’ “UWM bukan hanya perguruan tinggi, tetapi juga simbol keberlanjutan budaya yang menjadi ciri khas Yogyakarta,” tambahnya. Ia juga mengingatkan bahwa UWM harus mampu merespons lima tekanan utama yang dihadapi kota Yogyakarta saat ini, yaitu pertumbuhan penduduk, transportasi, pariwisata, masalah sosial, dan ancaman bencana.