Krjogja.com – YOGYA – Calon Wakil Walikota Yogyakarta yang juga kontestan termuda, Sri Widya Supena, ngopi dan ngobrol bareng wartawan di Rembug Kopi, Senin (11/11/2024) malam. Supena yang berusia 40 tahun ini menceritakan berbagai hal terkait gagasan yang diusung serta perjalanan bertemu dengan warga Kota Yogyakarta terutama anak muda selama tiga bulan terakhir.Beberapa hal menarik muncul ketika Supena memulai dengan pernyataan bahwa anak-anak muda di Kota Yogyakarta butuh mendapat teman untuk mengurai persoalan. Dari ratusan titik yang dikunjungi sepanjang masa kampanye pemilihan walikota, ia mendapati banyak hal menarik yang dilakukan anak-anak muda.”Daya survival anak-anak muda di Kota Yogya luar biasa. Ada yang survive jualan cacing untuk umpan mancing, latihan MMA seadanya, jualan coffee street. Mereka butuh dibantu dengan didengarkan, kemudian dibantu mengurus perijinan, mewujudkan kolaborasi dengan yang lebih settle agar bisa berkembang. Ini menginisiasi munculnya Akamsi (Akademi Kampung Sini) dari antusiasme anak muda berkembang,” ungkap Supena.Wakil dari Heroe Poerwadi ini juga mengungkap bahwa anak-anak muda harus mendapat perhatian dan disentuh dengan cara tepat seturut karakter. Apalagi generasi milenial dan Z dari data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Yogyakarta mencapai 51 persen dari total pemilih.”Generasi muda mendominasi DPT Kota Yogyakarta, Gen Z 21 persen ada 68 ribu, milenial 30 persen, digabung maka lebih dari separuh. Peta pemilih memang 51 persen cah enom. Harapannya mereka menggunakan hak suara. Kami ingin partisipasi anak muda di Jogja tinggi,” lanjut pria yang juga seorang pengusaha ini.Dalam momen tersebut Supena berusaha memaparkan gagasannya mengurai persoalan yang dialami anak-anak muda, misalnya program 5 ribu beasiswa untuk KTP Kota Yogya. Ia juga memberikan sorotan gagasan penciptaan lapangan pekerjaan dan mengarahkan agar anak-anak Kota Yogya bisa ambil bagian di dalamnya.”Kami punya data dari 100 lulusan SMA/SMK hanya 11 yang meneruskan kuliah. Untuk kota pendidikan kita masih kurang, Malaysia misalnya 19 dari 100 orang. Ketika pendidikan lebih tinggi harapannya bisa mengubah nasib dan menaikkan ekonomi. Banyak perusahaan besar di Jakarta buka kantor di Jogja, harapannya diisi anak-anak muda dari Kota Yogya. Cah Jogja bisa mendapat akses kerja cepat dan bekerja, mengurangi pengangguran. Belum potensi lokal di kelurahan, dieksplore pemuda-pemuda setempat. Membuat kampungnya terbranding dengan baik, membawa dampak ekonomi,” lanjut Pena.Dari sisi hunian yang tak lagi terjangkau generasi muda, Pena mengamini hal tersebut terjadi. Bahkan data yang didapatnya, 20 ribu warga ber KTP Kota Yogya harus tinggal di kabupaten lainnya karena tidak bisa menjangkau harga tanah di Kota.”Ada 20 ribu lebih yang KTP Kota tinggal di luar kota karena hunian tak terjangkau harganya. Skenario kami, konsep hunian vertikal. Pemkot sediakan lahan, misalnya hunian di atas pasar. Ke depan konsep pasar bukan hanya putaran ekonomi pagi hari tapi sampai malam, nah di atas bisa menjadi tempat tinggal, flat kecil minimalis sesuai karakter generasi sekarang yang suka simpel serta ringkas. Ini sangat mungkin kita terapkan,” tandas Pena.Pemerintah Kota Yogya bisa mensinergikan konsep itu dengan program rumah subsidi 16 juta unit pemerintah pusat. Hal tersebut bisa dikorelasikan dengan harapan menghidupkan Kota Yogyakarta selama 24 jam, menunjang pariwisata sebagau salah satu andalan perputaran ekonomi.”Kami ingin nggayengke Jogja dengan night market. Koyo Sentul, Kranggan saat ini. Kita matchkan dengan program pemerintah pusat program 16 juta rumah subsidi. Konsep rumah vertikal, minimalis dan terjangkau. Misalnya Rp 160 juta masih terukur. Bisa juga di kawasan pinggir sungai yang milik Pemkot, dibangun secara vertikal,” tambahnya.Supena sendiri optimis keikutsertaan anak-anak muda dalam pilkada 27 November mendatang khususnya di Kota Yogyakarta akan naik signifikan. Ia akan berusaha menyentuh ke bawah agar anak-anak muda percaya bahwa ada calon yang memahami mereka secara lebih utuh.”Di Jogja anak muda peduli terhadap isu, tapi caranya berbeda. Bagaimana cara merangkul, itu dengan bahasa berbeda. Kami berusaha menciptakan ruang bertemu, berkolaborasi dan mencari solusi, ini yang harus banyak dilakukan. Kalau mendapat dukungan anak muda 30 persen saja dari 51 persen, sudah sangat cukup. Sik iso ngerti cah enom ki yo cah enom,” pungkas Pena. (Fxh)