tirto.id – Kebudayaan megalitik merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang prominen dalam sejarah peradaban di Indonesia. Kendati dikenal sebagai salah satu periode dalam pembabakan masa prasejarah (sejak 2500 SM), sebenarnya kebudayaan megalitik juga dikenal sebagai budaya tradisional yang juga berkembang di era sejarah dan bahkan hingga sekarang. Menurut Bagyo Prasetyo dalam Megalitik: Fenomena yang Berkembang di Indonesia (2015), pada lintasan sejarah berkembangnya kebudayaan megalitik di Nusantara, Pulau Sumatra menjadi salah satu daerah di Indonesia yang padat akan tinggalan-tinggalan megalitik. Jejak-jejak kebudayaan Megalitik dapat dijumpai di hampir seluruh penjuru bentang alam di Pulau Sumatra. Rupa alam tempat bersemayamnya tinggalan megalitik Sumatra itu demikian beragam, mulai dari arca-arca megalitik keramat di tepian Danau Toba, tempayan-tempayan kubur di pesisir timur Jambi, nisan-nisan menhir di Lima Puluh Koto, hingga perabot batu besar di Pulau Nias.Dari sekian tinggalan megalitik di Pulau Sumatra, kepurbakalaan di Pasemah menjadi salah satu yang sering disoroti. Pasemah merupakan daerah yang sekarang meliputi beberapa kabupaten dan kota di bagian barat Provinsi Sumatra Selatan, yakni Kabupaten Lahat, Empat Lawang, dan Kota Pagar Alam. Wilayah di bagian selatan Bukit Barisan ini penuh dengan ratusan arca batu besar, dengan perupaan yang kaya akan informasi kehidupan megalitik. Keunikan kepurbakalaan Pasemah pernah dipuji oleh tiga peneliti asing paling awal yang mengeksplorasi daerah ini, yakni L. Ullman, E.P. Tombrink, dan L.C. Westenenk. Peneliti asing yang terakhir disebut dalam tulisannya yang berjudul “De Hindoe-Oudheden in de Pasemah Hoogvlakte (Residentie Palembang” (1922), setuju dengan dua ahli pendahulunya dengan mengatakan bahwa tinggalan-tinggalan di Pasemah merupakan peninggalan Hindu-Buddha. Mereka memuji kehalusan penggarapan arca-arca di sana, sehingga mereka segera mengasosiasikannya dengan peradaban Hindu-Buddha yang mendapat pengaruh India. Pandangan ini sebenarnya cenderung mengecilkan kemampuan masyarakat asli Nusantara, yang sebenarnya memiliki kemampuan luar biasa dalam seni perupaan.Situs Megalitik Pasemah. foto/kemdikbudMegalit Pasemah Arca menjadi salah satu tinggalan arkeologis bercorak kebudayaan megalitik yang umum dijumpai di daerah Kebudayaan Pasemah. Dalam hal ini, kepurbakalaan Tinggihari merupakan kawasan dengan situs-situs megalitik yang cukup representatif dalam menggambarkan tinggalan arca di Pasemah. Kawasan ini secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga situs, yakni situs Tinggihari I, II, dan III. Kita dapat menjumpai arca berfigur hewan babi dan manusia pada situs Tinggihari I, arca sepanjang 250 cm dengan panjang dan lebar 60 cm menampilkan pahatan pose babi yang sedang berbaring dengan figur manusia yang sedang memegang bagian pantat dan ekor babi tersebut. Menurut Haris Sukendar dalam “Tinjauan Arca Megalitik Tinggihari dan Sekitarnya” (1984), pahatan figur manusia dan babi merupakan harapan agar mendapat hasil melimpah saat berburu.Tema perburuan juga berkaitan dengan tema kepemimpinan di masa megalitik, hal ini secara tersirat terlihat pada arca Situs Kota Raya Lembak I. Pada situs tersebut ditemukan sebongkah batu besar yang menampilkan dua figur manusia yang sedang memeluk gajah. Seorang figur manusia pada sisi kiri digambarkan bersikap duduk sambil membawa nekara.Arca yang menghadap ke arah belakang ini digambarkan berkepala bulat dengan mata menonjol, berhidung sedang, dan berbibir tebal. Figur ini berbusana cawat, kain, dan sabuk simpul berpita lebar. Seperti arca sebelumnya, figur ini mengenakan perhiasan seperti destar, gelang berbentuk lempeng lebar, dan kalung bulat. Pada pinggangnya terselip pedang panjang dan sepuluh lapis gelang kaki, punggungnya memikul sebuah nekara yang diikat dengan tali.Sementara figur gajah digambarkan bertubuh besar dengan sosok seperti kepala babi hutan menyembul di bokongnya. Arca pada situs ini oleh Rr.Triwurjani dalam Arca-Arca Megalitik Pasemah, Sumatra Selatan: Kajian Semiotik (2015) dimaknai sebagai penggambaran atas keberadaan seorang pemimpin, menimbang lokasi yang dekat kubur batu hingga atribut yang dilengkapi figur hewan yang dianggap memiliki posisi tinggi.Selain tinggalan arca, karya seni berupa lukisan juga ditemukan pada beberapa bilik batu yang diciptakan oleh masyarakat pendukung Pasemah Kuno. Temuan ini cukup unik karena biasanya tinggalan masa prasejarah yang berupa lukisan muncul pada periode yang lebih tua—kala paleolitik. Lukisan megalitik itu ada pada Situs Kota Raya Lembak, yang terdiri atas tujuh kubur batu. Lukisan tersebut menunjukan seekor kerbau bertanduk dengan leher dan badan tak simetris. Di kubur batu lain ditemukan pula lukisan seperti burung hantu berstilir putih di bagian mata, kepala, dan sebagainya. Masih di lokasi yang sama, terlihat pula lukisan serupa kerbau tetapi mirip naga. Lukisan ini menunjukkan stilir telinga binatang dengan mulut yang menganga, di rongga mulutnya terlihat deretan gigi berwarna putih dan lidah menjulur. Ada mata berbentuk elips berwarna hitam, bergaris putih yang sedang menatap. Mengenai keberadaan bentuk-bentuk hewan ini, Triwurjani menyebut bahwa para peneliti belum bersepakat soal maknanya.Situs Megalitik Pasemah. foto/kemdikbudSi Pahit Lidah, Nenek Moyang Sriwijaya? Bagi orang-orang di daerah Pasemah, tinggalan-tinggalan megalit di sekitar mereka sering kali dikaitkan dengan satu tokoh legendaris, yakni Si Pahit Lidah. Tokoh yang juga dikenal sebagai Serunting Sakti ini merupakan tokoh mitologis yang dianggap sebagai sosok nenek moyang oleh orang-orang di dataran tinggi Sumatra bagian selatan. Konsentrasi tradisi tutur soal Serunting Sakti menyebar utamanya di kaki Gunung Dempo, meliputi wilayah Kabupaten Lahat, Kota Pagar Alam, dan Kabupaten Empat Lawang di Sumatra Selatan. Akan tetapi orang-orang yang memercayai Serunting Sakti juga tersebar ke sebagian daerah Lampung dan Bengkulu. Menurut Z. Hidayah dan H. Radiawan dalam Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Sumatra Selatan (1993), umumnya orang-orang yang memercayai dan mengakui Serunting Sakti sebagai nenek moyangnya, tergolong sebagai orang Besemah atau Pasemah yang terdiri dari tiga klan (sumbay) yang eksis, yaitu Gumay, Semidang, Besemah. Dalam konteks tinggalan arkeologis secara lebih spesifik, orang Pasemah menyebut bahwa tinggalan megalitik di sekitar mereka sebagai perbuatan Serunting Sakti. Serunting Sakti memiliki gelar Si Pahit Lidah yang dalam kepercayaan orang Pasemah disebut bisa mengutuk orang yang ia tidak sukai menjadi batu.Keterkaitan mitos Si Pahit Lidah dengan tinggalan megalitik di Pasemah menimbulkan asumsi-asumsi di kalangan para peneliti. Halilintaf Latief pada Megalitik Bumi Pasemah: Peranan serta Fungsinya (1999/2000) mengatakan bahwa ada dugaan bahwa nenek moyang Sriwijaya berasal dari daerah Pasemah yang peradabannya lebih tua. Sebagaimana tecermin dari prasasti-prasasti yang ditinggalkannya, Sriwijaya diduga sebagai kerajaan yang didirikan oleh orang-orang pergunungan Sumatra—yang salah satunya adalah daerah Pasemah—yang mengikuti alur sungai sampai ke daerah hilir. Masyarakat Pasemah yang tidak ikut bermigrasi ke daerah rendah, tetap mempertahankan kebudayaan megalitiknya dan tidak mengadopsi kebudayaan Hindu-Buddha sebagaimana masyarakat hilir. Mereka kemungkinan hidup berdampingan dengan masyarakat Sriwijaya sebagai penyedia komoditas eksotik yang diperdagangkan Sriwijaya di pelabuhan mereka.