Rapat dengan Jaksa Agung, Nasir Djamil Usul RUU Restorative Justice

Rapat dengan Jaksa Agung, Nasir Djamil Usul RUU Restorative Justice

14 November 2024, 1:42

Samrut Lellolsima | Rabu, 13/11/2024 20:36 WIB

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com – Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Restorative Justice. RUU ini dapat menjadi alas hukum bagi penegak hukum untuk menghadirkan keadilan bagi masyarakat Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Nasir dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI di Kompleks Parlemen; Senayan, Jakarta, Rabu (13/11).
Menurut dia, kehadiran payung hukum itu penting agar penyelesaian suatu tindak pidana tak melulu berujung pada penjeblosan pelaku ke bui.

“Jadi sekali lagi kepada pimpinan Komisi III dan anggota, barangkali penting kita pikirkan agar kita mengusulkan RUU Restorative Justice, selama ini ada peraturan di Polri di Kejagung, perlu kita menaikkan alas hukumnya sehingga kita bisa menghadirkan keadilan restorative justice di tengah-tengah masyarakat Indonesia,” kata Nasir dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11).
Nasir mengungkapkan, jika tujuan restorative justice sesuai dengan ajaran setiap agama. Termasuk adat dan kearifan lokal yang berlaku di Tanah Air.
Tak hanya itu, Legislator dari Fraksi PKS ini beranggapan jika legalistik dan formalistik dari penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaan justru tak menyelesaikan masalah.

“Karena itu kami dari fraksi PKS mengusulkan kepada pimpinan Komisi III ada baiknya untuk kita mengusulkan RUU Restorative Justice,” kata Nasir.
Pada kesempatan itu, Nasir memberikan apresiasi terhadap upaya restorative justice yang dilakukan Kejagung selama ini. Apalagi, kata dia, dalam paparan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat itu disebutkan bahwa ada 6000 kasus yang diselesaikan dengan restorative justice, termasuk pembentukan 4000 rumah restorative justice.
“Itu menunjukkan bahwa ada kesungguhan bahwa kita menyadari hukuman di lapas atau rutan itu hanya menimbulkan masalah baru. Itu sepertinya negara tidak mempunyai manfaat sama sekali, bahkan negara menanggung biaya tinggi,” kata dia.
Menurut Nasir, penyelesaian kasus dengan restorative justice bakal memangkas pengeluaran negara untuk hal yang tidak bermanfaat. Salah satunya, biaya makan bagi para tahanan di lapas maupun rutan.
“Coba bayangkan mengukum orang di penjara terisolasi secara fisik dan mental bahkan keperdataannya juga mati sampai menunggu ajal di sana, jadi tidak ada manfaatnya mereka di sana,” kata Nasir.
Oleh karena itu, dia kembali mendorong DPR dan pemerintah untuk segera memikirkan pembahasan RUU Restorative Justice. Nasir berkeyakinan payung hukum ini akan mengurangi kapasitas terpidana di lapas ataupun rutan.
“Sebab, restorative justice yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan mampu mengurangi jumlah perkara dan itu berdampak terhadap pembiayaan,” katanya.
Nasir menekankan jika restorative justice harus menjadi payung hukum tersendiri. Terlebih, restorative justice sangat spesial dan diprediksi mampu mengurangi pengeluaran uang negara secara signifikan.
“Jadi bayangkan setiap tahunnya kementerian kemasyarakatan akan berkurang biaya. Saya ingin UU ini dibuat sendiri, bukan dicantolkan di RUU KUHAP,” tegasnya.
 

KEYWORD : Warta DPR Komisi III restorative justice Nasir Djamil Jaksa Agung ST Burhanuddin

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi