Peraturan presiden (Perpres) Penguatan Pendidikan Karakter telah disahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perpres ini dinilai sebagai salah satu aktualisasi program Nawacita dan sebagai penyempurna program full day school (FDS) dari kementerian pendidikan. Apakah akan menjadi solusi yang tepat bagi pendidikan di Indonesia dan mampu meredakan silang pendapat antara kubu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)?
PinterPolitik.com
Agama tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh.
[Albert Einstein]
Ungkapan Einstein ini menjadi penegasan bahwa ilmu pengetahuan dan agama seperti ‘sepasang sayap’ yang harus saling menopang, menguatkan, menyeimbangkan dan melengkapi dimensi kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, diwakilkan oleh kehadiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah yang memiliki kiblat ke arah pendidikan mendapat jatah dalam kabinet pemerintahan untuk mengisi jabatan Menteri Pendidikan, sedangkan NU diberi tugas untuk mengisi jabatan Menteri Agama. Akan tetapi, belum lama ini muncul pertentangan antara kubu Muhammadiyah dan NU terkait program FDS yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hal inilah yang mendorong Jokowi mengeluarkan Perpres Penguatan Pendidikan Karakter. Mungkinkah perpres ini menjadi sintesis bagi polemik yang melibatkan Muhammadiyah dan NU serta mampu menjadi solusi yang tepat bagi seluruh sekolah di Indonesia?
Penguatan Pendidikan Karakter Redam Full Day School?
Perpres penguatan pendidikan karakter bernomor 87 tahun 2017 telah disahkan Jokowi pada Rabu (6/9/2017). Pengesahan peraturan ini mendapat tanggapan positif dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga Komisi X DPR RI dan ormas-ormas islam. Dalam perpres ini, setiap sekolah diberikan kebebasan untuk menentukan jadwal sekolah entah selama enam atau lima hari dalam sepekan. Jika ingin menetapkan lima hari sekolah, ada kriteria yang dapat dipertimbangkan satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah, antara lain kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan, ketersediaan sarana dan prasarana, kearifan lokal, pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah.
Presiden Tandatangani Perpres Penguatan Pendidikan Karakter https://t.co/fK7U13siB7 pic.twitter.com/lLnaI2RjFT
— Sekretariat Negara (@KemensetnegRI) September 6, 2017
Perpres ini dipandang sebagai penyempurnaan atas program FDS yang dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebetulnya gagasan FDS merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2008 tentang Guru. Peraturan ini dibuat untuk menyamakan waktu kerja guru dengan aparat sipil negara lain. Akan tetapi, gagasan FDS ini dinilai hanya bisa diterapkan di wilayah perkotaan. Sementara itu, untuk wilayah-wilayah yang terpencil amat sulit untuk diterapkan karena jarak dari rumah ke sekolah sangat jauh dan setiap anak seringkali masih harus membantu orang tua di rumah setelah pulang sekolah.
Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh juga menegaskan bahwa FDS belum bisa diterapkan saat ini karena masih banyak sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas dan bangunannya sudah reyot. Ditambah lagi kualitas dan kuantitas tenaga guru belum merata ke seluruh Indonesia. Selain itu, perpanjangan waktu di sekolah akan meningkatkan beban biaya, uang saku dan perlengkapan yang harus ditanggung para orangtua. Waktu anak untuk berinteraksi dalam keluarga dan bermain di lingkungannya akan berkurang drastis sehingga bisa memicu muncul sikap individualis dan kerenggangan relasi antara anak-orang tua di rumah.
Walaupun demikian, terlalu dini untuk menilai Perpres Penguatan Pendidikan Karakter mampu menjadi penyempurnaan atas gagasan FDS karena belum dijalankan. Kita juga tak bisa langsung mengambil kesimpulan jika ide Menteri Pendidikan salah total karena FDS ada sisi positifnya. Misalnya bagi orang tua yang sibuk bekerja hingga malam, gagasan FDS ini bisa menjadi solusi untuk menghindari meninggalkan anak-anak di rumah tanpa pengawasan. FDS memang tidak sesuai dengan daerah pedesaan dan berbenturan dengan kurangnya tenaga pendidik serta kejenuhan murid di sekolah. Namun, kritik yang diarahkan selayaknya digunakan untuk menyempurnakan program ini.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Niam Sholeh (foto: elshinta.com)
Selain itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bukanlah orang awam dalam dunia pendidikan. Pria bernama lengkap Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.AP adalah Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Muhadjir Effendy lah yang menggantikan Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada reshuffle cabinet beberapa waktu lalu. Muhadjir juga tercatat sebagai Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di bidang pendidikan.
Kebijakan FDS memang dinilai mengabaikan kepentingan pendidikan tradisional NU seperti Madrasah Diniyyah (Madin) dan pondok pesantren yang masif berjalan hingga kini. Muhadjir juga dinilai hanya fokus pada situasi metropolitan dan mengabaikan kondisi pedesaan. Sosoknya juga dianggap kontroversial, misalnya ketika Jokowi – dan malah memilih berdiri jauh di belakang bersama Menteri Sekretaris Negara Pratikno – saat acara penetapan Perpres Penguatan Pendidikan Karakter. Apakah hal ini tanda penolakan dari Muhadjir terhadap kebijakan Jokowi? Yang pasti kebijakan FDS memang kontroversial. Oleh karena itu, Perpres Penguatan Pendidikan Karakter diharapkan dapat menjadi solusi bagi dunia pendidikan Indonesia dan menjadi jalan tengah bagi perseteruan antara kubu Muhammadiyah dan NU.
Jalan Tengah untuk NU-Muhamamadiyah?
Jejak sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa sumbangsih Muhammadiyah dan NU terhadap terhadap perkembangan islam dan roda pemerintahan Indonesia amat besar. Muhammadiyah dianggap mewakili islam modern sedangkan NU mewakili islam tradisional. Terkait dunia pendidikan, NU dan Muhammadiyah memang mempunyai cara belajar yang berbeda. Pendidikan yang dibuat NU menjunjung tinggi kearifan lokal dan nilai-nilai tradisional, sedangkan Muhammadiyah yang pengikutnya banyak mengenyam pendidikan formal terkesan lebih rasional dan modern. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa dalam roda pemerintahan, posisi Menteri Pendidikan didominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah sedangkan jabatan Menteri Agama menjadi milik NU.
Kebijakan FDS yang dibuat oleh Muhadjir Effendy memang menjadi polemik antara NU dan Muhammadiyah yang secara politis turut berdampak bagi pemerintahan Jokowi. Jokowi yang selama ini diusung oleh partai-partai NU seperti PKB dan PPP tak bisa serta merta mendukung NU dan mengabaikan Muhadjir Effendy yang merupakan salah satu menterinya. Jokowi memang perlu membuat keputusan yang adil bagi kedua kubu ini.Oleh karena itu, langkah Jokowi menerbitkan Perpres Penguatan Pendidikan Karakter merupakan hal yang positif. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disarankan oleh ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin. Beliau yang menyarankan agar FDS tidak perlu diwajibkan ke seluruh sekolah, namun diserahkan ke masing-masing sekolah. Maka, kehadiran Perpres Penguatan Pendidikan Karakter bisa dianggap sebagai middle way (jalan tengah) untuk meredakan ketegangan antara Muhammadiyah dan NU.
Walaupun demikian, terlalu dini untuk menilai apakah Perpres Penguatan Pendidikan Karakter sebagai penyempurnaan atas gagasan FDS karena peraturan ini belum dijalankan. Publik tentu berharap Perpres ini berguna bagi kemajuan pendidikan Indonesia dan bukan hanya sekedar menjadi alat politik Jokowi. Bukan begitu? Bagaimana menurut anda?
(dari berbagai sumber/ K-32)