Jakarta, tvOnenews.com – Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) menyatakan keprihatinannya karena tidak dilibatkan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 terkait Pengamanan Zat Adiktif dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) mengenai produk tembakau dan rokok elektronik. Salah satu poin krusial adalah penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas dan merek, yang berpotensi mempengaruhi kondisi tenaga kerja. Bahkan, dalam hal itu, Kemnaker menegaskan pentingnya pembahasan bersama pemangku kepentingan, termasuk tenaga kerja, karena dampak aturan ini bisa memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengancam stabilitas ekonomi. Salain itu, hal tersebut kontras dengan target pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung Presiden Prabowo. Hal ini dikatakan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker, Indah Anggoro Putri, kepada awak media, Kamis (14/11/2024).
Dalam hal ini, Indah Anggoro Putri mengusulkan, agar Kementerian Kesehatan melibatkan seluruh elemen dalam ekosistem pertembakauan dalam penyusunan regulasi.
“Kami belum pernah diajak dalam proses penyusunan R-Permenkes. Kemnaker sangat peduli dengan aturan ini, karena lintas kementerian harus bekerja sama, bukan saling bertentangan,” kata Indah dalam diskusi serap aspirasi yang diadakan DPR RI.
Ia juga menyoroti potensi bertambahnya beban PHK yang saat ini sudah mencapai 63.947 orang, dan bisa mengancam 2,2 juta pekerja jika aturan dibuat terlalu ketat.Tak hanya pekerja industri rokok, Indah juga mengingatkan dampak terhadap tenaga kerja di sektor industri kreatif. “Dari 6 juta tenaga kerja di industri hasil tembakau (IHT), sekitar 725.000 pekerja kreatif juga akan terdampak akibat penyeragaman kemasan tanpa merek. Jika mereka kehilangan pekerjaan, potensi bahaya seperti judi online dan narkotika bisa mengancam. Negara perlu hadir untuk melindungi mereka,” ungkapnya.Lebih lanjut, Indah menegaskan bahwa 89% pekerja di sektor tembakau adalah perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. “Jika mereka kehilangan pekerjaan, ini akan memperburuk kondisi ekonomi keluarga. Negara harus hadir dan melindungi mereka,” tegasnya.Dalam diskusi tersebut, Ketua Dewan Perwakilan Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPC APTI) Bondowoso, Muhammad Yazid, juga menyuarakan keberatan petani. Ia menegaskan bahwa 2,5 juta petani tembakau di 15 provinsi sangat bergantung pada komoditas ini. Di Bondowoso, misalnya, 22 dari 23 kecamatan mengandalkan tembakau sebagai sumber penghidupan. “Kami menolak keras aturan ini dan berharap pemerintah mempertimbangkan kembali dampaknya,” ujar Yazid.– Regulasi Harus Inklusif, Tidak Ego SektoralKetua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, dalam diskusi tersebut menekankan pentingnya inklusi dalam penyusunan regulasi. “Pemerintah harus bekerja sama untuk menghasilkan solusi yang adil, bukan mengedepankan ego sektoral,” ujar Willy. Ia juga mengkritik bahwa regulasi yang terlalu ketat hanya akan mendorong praktik rokok ilegal. “Jika Kemenkes keras kepala, kita semua akan celaka,” tambahnya.Menanggapi hal tersebut, dr. Sundoyo, staf ahli Menteri Kesehatan, berjanji bahwa Kemenkes akan melibatkan kementerian terkait dalam proses penyusunan R-Permenkes. “Kami akan tetap menjalankan prosedur sesuai peraturan, dan memastikan partisipasi masyarakat dalam setiap tahapannya,” ungkapnya. Sundoyo juga menegaskan bahwa kebijakan ini harus menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kesehatan. (aag)