“Tidak peduli!” itulah luapan ekspresi yang sama-sama dikeluarkan oleh Susi Pudjiastuti maupun Rodrigo Duterte ketika berhadapan dengan kritik. Benarkah Susi memiliki sifat seperti Duterte?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]B[/dropcap]eberapa waktu yang lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Wiranto, mengisahkan pengalamannya berkomunikasi dengan Rodrigo Duterte terkait pemberantasan narkoba. Agak tersirat namun pasti, Wiranto menyembulkan riak kebanggaan tersendiri ketika Duterte menyebut kebijakan ‘tembak matinya’ terinspirasi oleh operasi penembakan misterius atau Petrus yang digalakkan Soeharto pada 1983 – 1985. Wiranto barangkali teringat mentornya, Leonardus Benyamin Moerdani, yang memang menjadi ‘mastermind’ operasi Petrus tersebut.
Kembali pada Duterte. Presiden Filipina ini memang sama sekali tak mengingkari janji memerangi narkoba di Filipina. Baru setahun memimpin, ia sudah menelan korban sekaligus pengedar narkoba dengan jumlah lebih dari seribu jiwa. Walaupun seringkali ‘salah sasaran’, ternyata langkahnya ampuh meredam tingkat kejahatan di Filipina secara drastis.
Dalam perjalannya sebagai sang ‘punisher’, Duterte tentu bersinggungan dengan aksi pelanggaran HAM. Baik kelompok lokal maupun internasional, mencatat Duterte tak pernah memberikan perlindungan hukum kepada para pecandu, pengedar, dan juga bandar narkoba, namun menembakinya secara brutal lewat tangan militer dan kepolisian, Davao Death Squad (DDS). Padahal perlindungan terhadap tersangka merupakan hak dasar yang harus diterima.
Namun demikian, sikap ‘koboi’ Duterte dalam memerangi narkoba, ternyata memiliki kesamaan dengan Susi Pudjiastuti. Bukannya manusia yang ditembaki Susi, tetapi kapal pencuri ikan yang melarung di Indonesia. Namun begitu, apa perbedaan keduanya selain sama-sama bersikap ‘keras’?
Susi, Menteri Tak Pandang Bulu
Susi dan Duterte memang tak bisa disamakan begitu saja. Bahkan cenderung ‘ekstrim’ bila keduanya disandingkan, sebab Duterte berhadapan dengan nyawa manusia sementara Susi dengan kapal-kapal pencuri ikan. Namun keduanya memiliki keteguhan prinsip dan tak ambil pusing dengan pihak yang mengkritik cara kerja dan sikapnya.
Seperti Duterte, Susi juga pernah disentil oleh lembaga HAM atas kebijakan peledakan kapal. Natalius Pigai contohnya, pernah menyindir Susi, jika orang bodoh sekalipun bisa meledakan kapal. Susi dengan santai membalas meledakkan kapal tidaklah semudah yang dikira kebanyakan orang. “Kapal sebelum ditenggelamkan mesti ditangkap. Tidak ada kapal yang ditenggelamkan kalau tidak ada yang ditangkap,” ujarnya.Dari sana Susi melanjutkan, bahwa bantuan satelit, informasi data, pasukan, dan kapal, sangat dibutuhkan, sebelum melakukan penangkapan kapal pencuri ikan. “Semua itu harus menteri dulu yang perintahkan. Kriteria jadi menteri juga pasti ada. Saya tidak tahu apakah orang bodoh itu bisa jadi menteri atau tidak,” tutupnya.
Penanganan pencurian ikan yang keras dan tegas memang menerbitkan sikap kapok dan jera kepada pelaku lainnya. Susi terbukti mampu meningkatkan stok ikan menjadi 12,5 juta ton, dari hanya 6,5 juta ton selama dua dekade belakangan. Angka impor Indonesia juga menurun sebesar 80 persen karena hasil tangkapan nelayan dan pengusaha kapal Indonesia meningkat setelah Susi melibas para pencuri ikan di perairan Indonesia.
Tentu saja prestasi Susi tak selalu disambut senyum berbagai pihak. Kebijakannya ini, malah menjadi hujan batu bagi para nelayan Filipina, terutama mereka yang bermukim di Gensan. Gensan adalah kota kecil di Pulau Mindanau, Filipina Selatan. Kota ini disebut-sebut sebagai ibu kota ikan tuna di Filipina.
Namun Gensan belakangan menemui benang kusut lantaran Susi menekan kebijakan larangan transshipment (alih muatan) di tengah laut dalam. Di sisi lain, Susi juga menggalakkan perang terhadap pencurian ikan ilegal. Ia menenggelamkan beberapa kapal berbendera Filipina – di antara kapal asing lain – yang masuk perairan Indonesia. Inilah yang membuat ciut nelayan Filipina. Setahun pemberlakuan kebijakan Susi itu, hasil tangkapan tuna di Gensan menurun drastis.
Kekalutan yang terjadi sepanjang 2015 – 2016 di Gensan, sampai melahirkan sentimen terhadap sesuatu hal yang berbau Indonesia. Bahkan seorang perwira TNI dari tim pemantau perdamaian di Mindanau – pusat gerakan bersenjata dari kelompok-kelompok muslim Filipina Selatan – yang ditempatkan di Gensan, harus mencopot lencana bendera Indonesia pada seragamnya. Ia berkata risih saat pergi berkeliling kota selalu penuh sinis dan benci oleh masyarakat Gensan.
Hanya pada masa kepemimpinan Susi lah, nelayan dari negeri seberang menyimpan dendam dan rasa sakit hati karena kebijakan dan ‘keras’nya sikap sang menteri memerangi para pencuri ikan di perairan negeri.
Susi dan Duterte Tak Peduli
Menggeliatnya sentimen negatif masyarakat Gensan terhadap Indonesia, ternyata tak pula dihiraukan Susi. “Kami enggak peduli apakah Gensan lesu. Yang penting, mereka tidak nyolong ikan kita. Itu kita cari tahu, nyolong lagi enggak? Transshipment (alih muat) di tengah laut lagi enggak? Tapi kami enggak peduli di Gensan lagi terjadi apa. Bukan urusan kami,” kilah Susi saat diwawancara langsung oleh Tirto.Bagi Susi yang terpenting mampu melumpuhkan penangkap ikan ilegal. “Hajar langsung! Pidanakan ya pidanakan. Kalau perlu pemiliknya penjarakan” gertaknya.
Hampir selaras dengan Susi, bagi Duterte HAM tidaklah penting jika dibandingkan dengan keselamatan generasi muda dari bahaya narkoba. “Saya tidak peduli apa yang orang-orang katakan soal HAM. Saya memiliki tugas untuk menyelamatkan generasi. Jika menyangkut HAM saya tidak peduli,” ujar Duterte.
Duterte dan Susi boleh saja sama-sama memiliki sikap tegas, keras, dan mantap ketika memerangi ‘musuhnya’ masing-masing. Namun, ketidakpedulian Duterte terhadap banyaknya korban meninggal akibat aksi ‘tembak di tempat’ dan salah tangkap, menutup mata bahwa yang dilakukannya bukanlah usaha melindungi generasi dari bahaya narkoba, melainkan sebuah tindak kejahatan besar yang disponsori negara.
foto: Antara
Ironisnya, Duterte mengakui bahwa memang ada pelanggaran prosedur pemburuan pengedar dan pemakai narkoba. Sebanyak 30 persen dari 2000 korban persekusi yang dilakukan DDS, tim militer yang menembak para pengedar dan pecandu narkoba, adalah korban salah sasaran dan mayoritas berasal dari masyarakat menengah ke bawah. Menurunnya angka kejahatan di Filipina, mengiringi efek negatif akan ketakutan menjadi korban tembak brutal DDS selanjutnya yang telah menyebar ke penjuru negeri.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Hukum Internasional bahkan sudah mengutuk keras kebijakan Duterte. Menanggapi kritik PBB, Duterte malah balik mengancam Filipina keluar dari organisasi tersebut atas alasan harga diri. Tetapi tentu saja Duterte tak sanggup, karena interaksi dunia internasional sungguh diperlukan demi menjaga kondisi perekonomian Filipina.
foto: Istimewa
Sebaliknya, Susi malah mendapat penghargaan dari PBB sebagai pembicara dalam World Ocean Day 2017 dan penghargaan tertinggi maritim Peter Benchley Ocean Awards dalam kategori kepemimpinan atas aksi ‘koboi’-nya meledakkan dan menenggelamkan kapal pencuri ikan di perairan Indonesia.
Dengan demikian, kesamaan Duterte dan Susi memang hanya terletak pada karakter ‘keras’ dan tanpa ampun kepada ‘musuh-musuhnya’. Namun bedanya, Susi jauh lebih mengerti seluk beluk kondisi politik, sosial, budaya, dan ekonomi perairan Indonesia.Berhadapan dengan laut serta berbagai elemen-elemennya sungguh tak sederhana. Sementara karakter ceplas-ceplos dan anti-elit Duterte tak diiringi dengan pemahaman akan kompleksitas dan kerumitan politik serta bisnis peredaran narkoba yang terjadi, sehingga kebijakan ‘tembak di tempat’ seolah menjadi jalan pintas sederhana yang dianggap mampu melenyapkan narkoba serta melindungi generasi muda Filipina. (Berbagai Sumber/A27)