tirto.id – Jumat (8/11/2024) siang lepas hujan, Kota Yogyakarta yang biasanya menyengat, sejuk sejenak. Saya menanti janji untuk bertemu dengan Catherine Garrit Wirasmi Noeralim di Pendopo Taman Siswa, Kelurahan Wirogunan, Kemantren Mergangsan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ibu enam orang anak itu datang bersama dua orang putranya. Setelah memarkirkan kendaraan, dia segera menghampiri saya yang memilih duduk di bawah pohon cempaka depan Perpustakaan Taman Siswa pada sisi utara pendopo. Garrit membuka obrolan dengan mengatakan bahwa dia dan anak-anaknya, menyempatkan diri bertemu saya sebelum ke pool billiard di sekitar jalan Jogja-Solo. “Mau buat konten Shorts YouTube,” kata dia. Garrit mengaku YouTube cukup lekat padanya. Sebab, perempuan asli Malang, Jawa Timur ini belajar banyak keahlian lewat situs web berbagi video asal Amerika Serikat tersebut. Salah satu yang berhasil, adalah wire wrapping jewelry atau pembungkus kawat. Teknik ini merupakan satu teknik tertua di dunia untuk membuat perhiasan buatan tangan. “Aku juga mulai mengembangkan teknik las metal,” ujar Garrit, yang saat berbicara matanya justru tertuju pada bebatuan dekat kami duduk. Kemudian menunduk dan mengambil satu batu berwarna coklat dengan pola garis bertekstur.(Picart) Produk wire warapping karya Catherine Garrit Wirasmi Noersalim. Foto/Kekokcraft Garrit membeberkan, teknik wire wrapping yang digunakannya menjebak bebatuan untuk dijadikan aksesoris. Antara lain berupa anting, gelang, dan kalung. Batu yang digunakan bisa dari jenis apa saja. Namun, teknik pembelitan logamnya yang rumit. Tidak heran, jika penggemar seni wire wrapping menghargai jerih payah perajin dengan harga yang fantastis.“Arahnya memang ke barang lux karena nilai jualnya sekitar 100-125 dolar AS sampai 200 dolar AS,” ungkap dia. Dengan harga jual semahal itu, ternyata Garrit memanfaatkan bahan bekas sebagai material utamanya. Batu, jelas menggunakan material asli alam. Tapi logam, dia peroleh dari barang bekas. Awalnya, Garrit memanfaatkan kawat bekas dinamo dari tempat reparasi elektronik milik ayahnya di sekitar Kota Baru, Kota Yogyakarta. Namun, permintaan yang meningkat membutuhkan material logam yang lebih banyak. “Sekarang saya belinya di pengepul (barang bekas atau rosok), semacam supermarket yang mengambil dari banyak wilayah, dan di sana jenisnya banyak. Ada tembaga, stenlis, macam-macam,” bebernya yang kemudian merinci bahwa lokasi yang dia maksud berada di Kotagede, Kota Yogyakarta. Dia memperoleh informasi keberadaan tempat itu dari salah satu dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Garrit mengaku membeli bahan di supermarket barang bekas logam tersebut dengan harga kiloan. Sehingga dia merasa sangat diuntungkan dengan harga beli bahan yang murah. “Kalau bisa pakai recycle, kalau beli baru itu meteran. Bahannya aja, beli eceran meteran Rp1 juta ada,” kata dia. Dalam hal pemasaran, Garrit menilai lebih efektif menjual via komunitas di media sosial. Selama ini, dia menggunakan grup yang ada Facebook. “Kalau marketplace, seperti Amazon dll saya belum bisa menembus, belum tahu cara jualnya,” kata dia. Di samping itu, penjualan berbasis komunitas ternyata memudahkan Garrit menemukan pembeli. Sebab mereka yang tergabung memang memiliki ketertarikan terhadap kerajinan wire wrapping.“Biasanya sudah jelas, mereka penghobi itu, suka itu, atau memang sedang mencari itu,” kata dia menjelaskan. Garrit mengaku pesanan yang masuk kepadanya paling sering dari Amerika Serikat dan Australia. Pasar dari produk buah tangannya memang cenderung dijual ke luar negeri. Pembeli dari negara lain yang pernah memesan juga ada dari Singapura, Malausia, dan Inggris. “Jerman pernah ada pesanan, tapi mental. Ada dokumen yang aku enggak biasa. Dokumen ekspor yang suruh menjelaskan, aku sudah berusaha, tapi enggak bisa,” kata dia bercerita pengalamannya. Sementara untuk pasar di dalam negeri, Garrit mengaku kewalahan. Sebab nilai jual produk untuk pembeli dalam negeri sulit diikuti. “Harganya beda, bayangkan dari 100 dolar AS ke Rp100 ribu. Jauh,” kata dia. Kendati begitu, Garrit masih menyimpan harap. Nilai jual produk wire wrapping yang tergolong tinggi, dapat dikembangkan di Kota Yogyakarta sebagai pengungkit ekonomi. Di samping makin banyak yang menerapkan prinsip yang sama dengannya, yaitu menggunakan limbah sebagai material produk, dapat menyerap makin banyak sampah. “Kalau memungkinkan bikin sentra seperti ini (wire wrapping). Jadi limbah yang terserap lebih banyak. Nilai ekonomi juga tinggi. Jual murah saja Rp50 ribu atau Rp30 ribu, bahan enggak sampai segitu. Tapi tidak ada yang melirik,” kata dia.(Picart) Produk wire warapping karya Catherine Garrit Wirasmi Noersalim. Foto/Kekokcraft Kepala Dinas Perindustrian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Disperinkop UKM) Kota Yogyakarta, Tri Karyadi Riyanto Raharjo, pun mendukung tumbuhnya sentra produk. Termasuk produk wire wrapping. Namun, pria yang akrab disapa Totok itu menekankan pentingnya manajemen produk. Produk luxury yang ditawarkan melalui marketplace cenderung mentah. “Kami sering pada waktu pelatihan mengimbau yang ikut pelatihan idealnya bisa membuat dan memasarkan. Tapi kenyataan, mentah di (penjualan) online,” sebut Totok. Totok juga menyebut, bahwa pelatihan yang diberikan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta sangat beragam. Namun, memiliki tingkatan. Dia berharap, pelaku usaha mengikuti sistem pelatihan dengan tertib. “Kalau sudah mengikuti tingkat pemula, kemudian ikut yang lanjutan. Jangan ikut lagi yang tingkat pemula,” jelas Totok. Totok menambahkan, “Pelatihan digital marketing juga ada, macam-macam. Kami ada tim digital, di PDIN bisa membantu memasarkan online.” Oleh sebab itu, Totok mengharapkan, pelaku usaha benar-benar membidik pasar yang tepat. Dengan begitu, produk yang dihasilkannya dapat menarik minat pembeli.“Sehingga dia (pelaku produk lux) harus jeli yang menjadi sasaran tembak (pemasaran),” kata Totok. Sebab, kata Totok, barang lux cenderung sulit dijangkau oleh pasar lokal. Peminatnya, kemungkinan memang benar-benar penghobi. “Kalau pameran, segmen memang rendah. Menengah ke bawah,” kata dia.