Think Tank Para Mantan, Murnikah?

Think Tank Para Mantan, Murnikah?

16 August 2017, 18:30

Tak lagi menjabat, mantan-mantan presiden mendirikan lembaga-lembaga think tank sebagai langkah sumbangsih pasca tak berkuasa. Lembaga-lembaga kajian tersebut membawa isu-isu sosial tertentu sesuai dengan pemikiran tokoh yang menjadi tajuk lembaga. Tetapi murnikah niat pembentukan think tank tersebut? Ataukah hanya menjadi kendaraan politik belaka?

PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ada tanggal 8 Agustus 2017, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) resmi meluncurkan The Yudhoyono Institute di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat. Berdirinya lembaga ini menambah daftar panjang mantan presiden yang mendirikan lembaga think tank pasca tidak lagi berkuasa. Sebelumnya, presiden-presiden yang tidak lagi menjabat telah mendirikan lembaga think tank serupa di antaranya The Habibie Center, The Wahid Institute dan Megawati Institute.
foto: theyudhoyonoinstitute.org
Praktik mendirikan lembaga kajian oleh bekas pimpinan eksekutif merupakan hal yang lazim. Hal ini dilakukan oleh pemimpin-pemimpin di berbagai belahan dunia. Presiden Amerika Serikat ke-44 Barack Obama memiliki The Obama Center. Hal yang serupa dilakukan oleh George W. Bush dengan Bush Foundation-nya. Pendahulu Bush yaitu Bill Clinton juga memiliki Clinton Foundation. Di negeri Ratu Elizabeth, mantan Perdana Menteri Tony Blair juga mendirikan Tony Blair Faith Foundation.
Umumnya lembaga-lembaga think tank ini didirikan dengan tujuan untuk menjadi sarana mantan orang berkuasa untuk memberikan sumbangsih buah pikir mereka di masa pasca berkuasa. Banyak dari lembaga ini juga menjadi lembaga kajian dan advokasi isu-isu tertentu seperti demokrasi dan toleransi. Selain itu, lembaga-lembaga ini juga kerap terlibat dalam pemberdayaan masyarakat seperti dengan memberikan beasiswa atau pelatihan kepemimpinan.
Tetapi benarkah lembaga-lembaga tersebut benar-benar menjadi lembaga think tank secara murni? Adakah kaitan lembaga-lembaga tersebut dengan aktivitas politik para mantan tersebut?
foto: habibiecenter.or.id
Salah satu nama lembaga think tank yang mengemuka adalah The Habibie Center. Lembaga ini memiliki visi untuk memajukan usaha modernisasi dan demokratisasi di Indonesia. The Habibie Center memiliki agenda khusus dalam demokratisasi dan hak asasi manusia, sumber daya manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, media dan informasi, sumber daya kelautan, sosialisasi dan penyebaran teknologi, serta pembentukan jaringan dan kerjasama.
Terdapat pula nama The Wahid Institute yang didirikan untuk mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid. Lembaga ini memiliki tujuan untuk mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum muslim di Indonesia dan seluruh dunia.
Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri juga tidak kalah dengan Megawati Institute-nya. Lembaga ini memiliki fokus pada pengembangan ideologi Pancasila. Lembaga ini juga memiliki titik tekan pada pemikiran-pemikiran pendiri bangsa terutama presiden pertama Soekarno. Meski memiliki afiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), lembaga ini tetap berusaha merangkul intelektual-intelektual lain.Yang terbaru, think tank yang mengadopsi nama presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), The Yudhoyono Institute juga didirikan. Lembaga ini dipimpin langsung oleh putra pertama SBY yaitu AHY. Sebagai sebuah think tank, lembaga ini bercita-cita menjadi pemimpin dalam pembahasan isu-isu baik nasional maupun regional, yang mencakup formulasi strategi dan implementasi sudut pandang dengan kepemimpinan sebagai fokus utama.

Apakah Lembaga-lembaga Tersebut Benar-benar Berperan Sebagai Think tank?
Berdasarkan aktivitasnya, The Habibie Center cukup rajin dalam mendorong isu-isu demokratisasi dan modernisasi di Indonesia. Think tank yang saat ini dikomandoi oleh Rahimah Abdulrahim ini menerbitkan jurnal mengenai isu-isu HAM dan demokrasi. Lembaga ini juga getol membuat tulisan mengenai ASEAN melalui ASEAN Brief yang dikeluarkan oleh ASEAN Center lembaga tersebut. ASEAN Center lembaga ini juga kerap melakukan diskusi dengan mengundang narasumber dari berbagai belahan dunia. Di level kebijakan lembaga ini juga mencoba mengambil peran. Terakhir, The Habibie Center mendorong RUU Minyak Bumi dan Gas.
foto: wahidinstitute.org
Serupa dengan The Habibie Center, Wahid Institute juga tergolong konsisten dalam memperjuangkan gagasan yang menjadi ruh lembaga tersebut. Dalam upayanya mewujudkan cita-cita Gus Dur, think tank ini kerap melakukan berbagai diskusi mengenai isu-isu Islam dan keberagaman. Selain itu, lembaga ini juga tidak ragu untuk melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang termarjinalisasi. Lembaga ini juga merilis laporan mengenai Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) secara tahunan. Di tataran kebijakan, lembaga ini berupaya mendorong RUU Perlindungan Umat Beragama.
Di lain pihak, Megawati Institute juga terkenal cukup konsisten dengan nyawa dari lembaganya yaitu Pancasila dan pemikiran-pemikiran Soekarno. Dalam upayanya membumikan Pancasila dan pemikiran-pemikiran pendiri bangsa, lembaga ini kerap menyelenggarakan Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa. Program ini merupakan latihan kepemimpinan yang terbuka bagi anak muda dari berbagai kalangan. Di tahun 2017, Megawati Institute menerbitkan buku yang berisi kumpulan esai hasil karya peserta SPPB.
Kaitan Think Tank dengan Aktivitas Politik Pendirinya
Di awal pendiriannya, The Habibie Center dituding akan menjadi kendaraan politik bagi BJ Habibie. Hal ini terkait dengan meredupnya pamor ICMI yang sempat dipimpinnya. Lembaga ini juga semula memperoleh pendanaan hanya dari kocek pribadi Habibie. Citra Habibie yang lekat dengan Golkar membuat lembaga ini dapat terlihat partisan. Akan tetapi, seiring dengan waktu The Habibie Center tidak menjadi sarana bagi presiden ketiga ini untuk merengkuh kembali kekuasaan. Melalui berbagai penelitian, diskusi dan aktivitas lainnya The Habibie Center mampu melepaskan label kendaraan politik dan menjadi lembaga think tank yang kredibel. Lembaga ini berhasil membuktikan bahwa aktivitasnya tidak terkait dengan ambisi politik pendirinya.
Hal serupa berlaku pada Wahid Institute. Saat didirikan, Gus Dur mengaku bahwa ia tidak terlibat dalam pembentukan lembaga ini. Ia menyebut bahwa Wahid Institute murni inisiatif putrinya, Yenny Wahid dengan maksud menyebarkan gagasan Islam yang moderat dan pluralisme. Seiring dengan waktu bayang-bayang ambisi politik Gus Dur memudar. Konsistensi lembaga ini dalam mendorong isu-isu toleransi dan keberagaman berhasil menjawab bahwa lembaga ini tidak ada kaitannya dengan aktivitas politik Gus Dur.
Di lain pihak,  Megawati Institute tidak benar-benar murni dari aktivitas politik pendirinya. Lembaga ini memiliki peran merangkul pemikiran kaum cendekiawan, baik yang terafiliasi dengan PDI Perjuangan maupun kelompok cendekiawan independen. Susunan pengurusnya pun banyak diisi  kader dan fungsionaris PDI Perjuangan. Nama-nama seperti M. Prakosa, Arif Budimanta, Sony Keraf, hingga Hendrawan Supratikno menghiasi susunan kepengurusan lembaga ini. Selain itu, lembaga ini juga mengakui bahwa kajian-kajian yang dilakukan Megawati Institute banyak difokuskan untuk membantu PDI Perjuangan dalam merumuskan suatu kebijakan. Meski begitu, secara struktur Megawati Institute tidak terhubung secara langsung dengan PDI Perjuangan.Sementara itu, The Yudhoyono Institute mengaku bahwa lembaga ini lembaga politik non-praktis. Meski begitu Partai Demokrat tidak menampik bahwa lembaga ini dibuat untuk mengembangkan dan menyiapkan AHY sebagai pemimpin di masa depan. Pilihan untuk menempatkan AHY sebagai pimpinan di The Yudhoyono Institute ketimbang di Partai Demokrat diakui sebagai kendaraan untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinannya. Jika kiprah AHY di lembaga ini cukup moncer di mata masyarakat, maka Partai Demokrat akan menerima anggapan masyarakat bahwa AHY adalah sosok pemimpin yang cukup kapabel.
Langkah para mantan dalam mendirikan lembaga think tank bukanlah hal yang teramat tabu. Beberapa telah membuktikan bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi pemenuh syahwat politik semata. Buah pikir para pendirinya mampu memberikan sumbangsih sesuai dengan nyawa masing-masing lembaga. Kini tinggal think tank teranyar, The Yudhoyono Institute yang perlu membuktikan. Apakah lembaga ini murni bekerja sebagai think tank ataukah untuk menjadi kendaraan politik pendirinya? (H33)