“In a democracy, the opposition is not only tolerated as constitutional, but must be maintained because it is indispensable”, kata Walter Lipmann.
APAPUN istilahnya di sini, kekuatan penyeimbang kekuatan koalisional penyokong pemerintah terpilih sangatlah dibutuhkan.
Bahkan secara ideal, sebenarnya kekuatan penyeimbang ini adalah mitra sejati pemerintah terpilih, karena akan dengan sengaja berusaha untuk mencari celah agar semua kebijakan penguasa bisa direncanakan dan diimplementasikan secara “sempurna”, tanpa niat dan motivasi untuk diganjar jabatan dan dibalas dengan berbagai konsesi ekonomi politik.
Bukan oposisi namanya jika mengontrol dan mengkritik pemerintah hanya untuk imbalan tertentu.
Sehingga pada konsep inilah sebenarnya mengapa oposisi itu sangat diperlukan, persis seperti kata Walter Lipmann di atas.
Kekuatan penyeimbang dan oposisi, atau apapun namanya, tidak saja harus diakui secara konstitusional, tapi juga harus diberi ruang dan dihormati secara de facto, agar praktik demokrasi bisa lebih sehat dan bergairah di satu sisi dan lebih fokus untuk kepentingan publik di sisi lain.
Jika tidak demikian dan jika para politisi kita terus mencari alasan untuk menegasikan konsep oposisi dan kekuatan penyeimbang atas nama “budaya ketimuran” yang konon dikatakan tidak mengenal budaya oposisi, maka demokrasi Indonesia justru hanya tersisa “labelnya” saja, atau paling “banter” tersisa bungkusnya saja.
Sementara isinya sudah tidak demokrasi lagi, tapi yang ada adalah pemerintahan yang represif dan “paranoid”.
Jika itu dijalankan, maka pertanyaannya kemudian, apa esensinya Indonesia menggelorakan reformasi dua puluhan tahun lalu?
“Once a government is committed to the principle of silencing the voice of opposition, it has only one way to go, and that is down the path of increasingly repressive measures”, kata mantan Presiden Amerika, Harry S. Truman, Presiden ke 33 Amerika Serikat.
Pemerintahan yang memojokkan kritik dan kontrol publik, lalu mencari berbagai cara untuk “menyakiti” para penyeimbang narasi pemerintah, seperti Said Didu, misalnya, justru akan terjebak ke dalam sikap dan tindakan yang nondemokratis.
Secara prinsipil justru tidak linier dengan semangat yang melahirkan pemerintahan terpilih itu sendiri, yakni semangat berdemokrasi secara substansial.
Jadi meskipun dalam narasi-narasi para politisi Indonesia sering kali disampaikan bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya oposisi, tidak berarti pemerintahan terpilih bisa sesuka hati untuk memperlakukan partai politik dan tokoh-tokoh yang tidak tergabung ke dalam koalisi penguasa sebagai musuh negara dan penguasa.
Karena hampir semua esensi dan kritik publik, melalui mulut para tokoh kritis, berbasiskan kepada pertimbangan kepentingan rakyat banyak, bukan semuanya atas nama kepentingan diri sendiri atau kelompok sendiri.
Apapun namanya, di mana di sini saya tetap lebih senang menggunakan istilah oposisi, meskipun sering dinegasikan oleh para politisi kawakan kita, oposisi dan kekuatan politik pengontrol plus penyeimbang pemerintah di luar struktur formal pemerintahan sangatlah diperlukan.