KRJogja.com – BANTUL – Sebagai rangkaian Road to Gugus Bagong Festival, PSBK mengadakan Performance Lecture pada Rabu (20/11) malam. Para seniman dan peneliti yang tampil adalah Maulidi Harista, Studio Malya, Arif Furgan, Linda Mayasari, dan Ihsan Kurniawan. Hajatan dua tahunan PSBK (Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo) tahun ini dikemas dalam bingkai Road to Gugus Bagong Festival. Festival Gugus Bagong merupakan cara menyenangkan untuk membicarakan gagasan-gagasan penting yang belum sempat untuk dibicarakan dalam program tahunan PSBK. Sebab sejatinya, festival berasal dari kata dasar bahasa Latin ‘festa’ yang berarti ‘pesta’ atau ‘perayaan’. “Festival Gugus Bagong merupakan sebuah festival seni yang menempatkan PSBK sebagai art center dengan DNA pendidikan yang ditujukan sebagai usaha memelihara relevansi seni sebagai kebutuhan hidup. Guna mencapai tujuan tersebut, PSBK menjalankan 4 fungsi utama yaitu fungsi presentasi, fungsi literasi, fungsi perekaman dan dokumentasi, serta fungsi konservasi,” ujar Direktur Eksekutif PSBK, Jeannie Park pada Rabu (20/11).
Salah satu rangkaian acara Road to Gugus Bagong Festival adalah Performance Lecture yang diadakan di Panggung Diponegoro, PSBK. Performance Lecture merupakan platform presentasi hasil penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) ide karya. Presentasi yang dikemas dalam format Performance Lecture akan menyajikan hasil inkubasi, riset dan pengembangan ide karya dari 3 seniman peraih program Hibah Seni PSBK 2024. Satu diantara mereka adalah Arif Furgan (peneliti & seniman visual) yang melakukan residensinya pada program Situate 24-25 di Australia, di mana PSBK bekerja sama dengan pusat seni di Tasmania Australia, Assembly 197.
Furgan menyampaikan hasil temuannya yang berjudul “Yang Timbul dan Tenggelam” yang membahas tentang ingatan dan sejarah kecil yang dilupakan di tengah narasi besar sejarah resmi negara dalam konteks penggusuran warga untuk pembangunan Waduk Gajah Mungkur. Selain itu, ada Maulidi Harista (penari dan koreografer asal Aceh) yang menyampaikan proses pencarian identitasnya sebagai orang Aceh melalui nisan-nisan kuno Aceh. Ada juga Studio Majya (kolektif multidisiplin yang tertarik dengan eksplorasi ilmu pengetahuan) yang mempresentasikan hasil penelitian awal (preliminary research) mengenai praktik atau inisiatif seni yang sifatnya beririsan dengan domain sosial yang lebih luas, yaitu warga. “Sejak 7 tahun terakhir, Hibah Seni PSBK telah diberikan kepada 29 seniman individu maupun kelompok dari berbagai daerah di Indonesia. Program ini merupakan stimulan bagi seniman untuk berkarya dan mempresentasikannya di panggung PSBK. Tahun ini sangat istimewa dan berbeda. Melalui Road to Gugus Bagong, program Hibah Seni PSBK menekankan pada pengembangan gagasan karya melalui proses penelitian dan pengembangan,” ungkap Jeannie. Melalui Performance Lecture ini, PSBK berusaha memberikan gambaran pentingnya proses penelitian dan pengembangan ide karya yang dilakukan oleh para seniman sebelum menyajikan sebuah karya final kepada publik. Sekaligus memberikan kesempatan bagi para seniman untuk bertemu dengan publik umum maupun profesional seni yang mengapresiasi proses mereka. “Fokus ini berinvestasi pada kematangan gagasan karya yang akan membuka peluang kerja sama bagi para seniman di tahap selanjutnya, hingga akhirnya karya mereka dapat dipresentasikan ke hadapan audiensnya.” lanjut Jeannie. Tidak hanya para seniman Hibah Seni 2024, Performance Lecture kali ini juga menjadi wadah untuk menyajikan hasil temuan penting akan kiprah Bagong Kussudiardja (BK) dalam sejarah tari modern Indonesia. Ihsan Kurniawan (aktor dan sutradara teater) & Linda Mayasari (dramaturg dan kurator seni pertunjukan) mempresentasikan hasil penelitian tiga kota (Jakarta, Bandung, Bali), di mana mereka menelusuri data-data arsip dan teks lain berupa respon publik terhadap karya dan visi artistik BK, serta menjumpai jejak BK “nyantrik” pada para maestro di Indonesia. Seperti Ni Ketut Reneng, Nyoman Kekul, dan Wayan Rindi di Bali, R. Wirakusuma dan R. Tjetje Soemantri di Sunda: R.T. Kusumokesowo di Surakarta. (*)