Penyerangan terhadap polisi sangat dipengaruhi oleh fatwa yang dikeluarkan juru bicara ISIS, Abu Muhammad Al-Adnani pada tahun 2014 yang menyerukan agar para pendukung khilafah menyerang simbol thaghut termasuk polisi.
PinterPolitik.com
“Terrorism has no nationality or religion” – Vladimir Putin
[dropcap size=big]A[/dropcap]khir-akhir ini, aksi-aksi terorisme merebak di hampir seluruh belahan bumi. Kelompok-kelompok tertentu memanfaatkan pemahaman yang sempit atas agama untuk menebarkan ketakutan atau mengambil keuntungan dari aksi tersebut – hal yang misalnya dilakukan oleh ISIS di Irak dan Suriah.
Di Indonesia, pola-pola aksi terorisme tersebut belakangan menjadi semakin sering menargetkan aparat kepolisian. Setidaknya hal itulah yang bisa dilihat dalam dua kejadian penyerangan terhadap polisi dalam sepekan terakhir. Saat masyarakat Indonesia memasuki masa libur Hari Raya Idul Fitri 1438 Hijriah, para pelaku teror melancarkan serangan pada polisi yang bertugas.
Kejadian pertama terjadi tepat di Hari Raya Idul Fitri, yakni pada Minggu dini hari, 25 Juni 2017 lalu. Saat itu, pos penjagaan di Markas Polda (Mapolda) Sumatera Utara diserang dua orang yang diduga pelaku terorisme. Satu polisi gugur, yakni Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) Martua Sigalingging yang tewas setelah ditikam pelaku, sedangkan satu pelaku penyerangan juga tewas setelah ditembak polisi. Satu pelaku lainnya kritis. Para pelaku ditengarai menjadi simpatisan ISIS di Indonesia.
Beberapa hari kemudian, aksi penyerangan dengan target polisi kembali terulang, bahkan terjadi di Markas Besar (Mabes) Polri, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada 30 Juni 2017, seorang pria tidak dikenal menikam dua orang personel Polri di Masjid Falatehan, dekat lapangan Bhayangkara, Jakarta Selatan. Pelaku awalnya ikut sholat Isya. Saat sholat usai dan jamaah sedang bersalam-salaman, pelaku tiba-tiba meneriakan kata ‘thaghut‘ dan mengeluarkan sebilah sangkur lalu menikam personel polri yang ada di sekitarnya dengan membabi buta. Akibatnya, dua orang polisi terluka. Pelaku yang melarikan diri akhirnya tewas tertembak setelah berlari ke arah Terminal Blok M.
BREAKING NEWS: Seorang pria tidak dikenal menusuk 2 anggota kepolisian, di sekitar Masjid Falatehan, Blok M, Jaksel, Jumat (30/6) malam. pic.twitter.com/AGt0sSQ3mJ
— Radio Elshinta (@RadioElshinta) June 30, 2017
Thoghut atau thaghut sendiri adalah istilah dalam agama Islam yang merujuk kepada sesuatu yang disembah atau ditaati selain Allah. Dalam pengertian itu pun terkandung makna bahwa jika manusia mengabaikan hukum Allah, maka hukuman terhadap mereka disebut hukum thaghut. Thaghut memiliki beberapa arti, namun umumnya mengarah pada iblis, kafir dan pengingkaran terhadap hukum-hukum Allah. Baik kasus yang terjadi di Medan, maupun di Jakarta, para pelaku sama-sama mengucapkan kalimat thaghut saat melancarkan aksinya.
Dua aksi penyerangan terhadap polisi ini tentu menimbulkan pertanyaan: apakah saat ini polisi memang menjadi sasaran teror kelompok-kelompok radikal? Lalu, mengapa polisi yang dijadikan sasaran teror?
Dendam dalam Teror
Faktanya, dalam setahun terakhir aksi-aksi teror yang menimpa polisi semakin sering terjadi. Setidaknya ada 7 serangan teror yang ditujukan pada polisi antara Juli 2016 sampai Juni 2017. Serangan-serangan teror tersebut berupa penyerangan dengan benda tajam kepada polisi yang bertugas di pos polisi, maupun yang sedang melaksanakan kegiatan pengamanan di jalan raya dengan menggunakan bom – misalnya yang terjadi pada peristiwa bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Kebencian thd yahudi, kristen dan kafir lain termasuk kpd negara yg mrk sebut thogut itu diajarkan dlm ruang lingkup pelajaran agama. https://t.co/gZbdKbsBp4
— Bukan Lusi (@Bukandelusi) June 28, 2017
Beberapa pihak mengatakan bahwa polisi menjadi sasaran teror karena alasan dendam. Hal tersebut salah satunya diungkapkan oleh mantan teroris dan pelaku perampokan Bank CIMB Niaga di Medan pada tahun 2010, Khairul Ghazali. Menurut Khairul, bibit kebencian kepada polisi selalu ada di kalangan keluarga narapidana kasus teroris. Hal itulah yang membuat sebagian orang nekat dan ikut melalukan penyerangan kepada polisi.
“Setiap ada polisi yang lewat mereka masih menganggap itu thaghut. Kafir. Orang yang membunuh atau pun memenjarakan bapak mereka. Memori ingatan itu masih kuat sekali dalam jiwa mereka,” ucap Khairul, seperti dikutip dari Rappler.com.
Hal serupa juga diungkapkan oleh pakar terorisme dan pengamat intelijen Ridlwan Habibi yang mengatakan bahwa personel kepolisian menjadi sasaran aksi teror karena adanya unsur balas dendam terhadap operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 selama satu dekade. Densus 88 berhasil memetakan dan menangkapi jejaring sel teror, baik dari jaringan lama maupun yang sekarang terhubung dengan militan khilafah di Irak dan Suriah.“Karena polisi paling banyak menangkap, memenjarakan, membunuh teman-teman (teroris), sehingga kemudian mereka melakukan semacam balas dendam,” ujar Ridlwan, seperti dikutip dari tirto.id.
Sementara, mantan teroris, Ali Fauzi mengatakan bahwa polisi menjadi near enemy bagi para teroris. Artinya polisi adalah sasaran empuk bagi teroris, apalagi saat bertugas di tempat terbuka seperti di pos polisi atau di lokasi yang ramai. Adik dari terpidana kasus Bom Bali, Amrozi tersebut juga menyebutkan bahwa polisi yang minim pengamanan dan hanya dilengkapi dengan pentungan juga sering menjadi sasaran bagi para pelaku teror.
Dendam mungkin menjadi salah satu faktor yang mendorong aksi-aksi penyerangan pada polisi. Namun, apakah hanya dendam? Tentu saja tidak. Kembali menguatnya aksi teror di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh gejolak teror di skala internasional
Thaghut dan Gerakan Anti-NKRI
Jika ditelusuri lebih jauh, maraknya penyerangan terhadap aparat kepolisian sebetulnya sangat dipengaruhi oleh fatwa yang dikeluarkan oleh juru bicara ISIS, Abu Muhammad Al-Adnani pada 2014 lalu. Fatwa itu menyerukan agar para pendukung khilafah menyerang simbol thaghut. Aparat negara seringkali dianggap sebagai tentara thogut karena negara itu sendiri dianggap sebagai thaghut atau kafir. Cita-cita ISIS yang ingin mendirikan ke-khilafahan sangat bertentangan dengan konsep negara bangsa yang umumnya dianut oleh negara-negara di dunia saat ini, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, memerangi negara bangsa dianggap sebagai upaya untuk melawan thaghut.
Hal senada pun pernah diungkapkan oleh Kapolri, Jenderal Pol Tito Karnavian. Menurut Tito, polisi kerap menjadi target penyerangan teroris karena dianggap sebagai antek-antek negara Indonesia – yang menurut mereka dianggap sebagai negara kafir.
“Polisi dianggap antek-antek negara, kafir. Kan dia anggap Indonesia negara thaghut, siapapun anteknya, iblis, setan,” demikian kata Tito dalam program #KapolriDiRosi yang disiarkan oleh Kompas TV, pada Jumat 26 Juni 2017 lalu.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat hadir pada acara talk show di Kompas TV (Foto: Kompas TV)
Menurut Tito hal ini terjadi karena ideologi Indonesia bukan berlandaskan agama, melainkan Pancasila, sementara agenda teroris di Indonesia ingin mengubah Indonesia sesuai dengan ideologi mereka, yakni negara khilafah. Orang-orang dari kelompok tersebut mengkategorikan polisi sebagai kelompok kafir yang aktif memusuhi mereka. Hal inilah yang membuat mereka cenderung menempatkan polisi sebagai target utama setiap aktivitas teror. Sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, serangan terhadap polisi tentu akan mendatangkan ketakutan bagi masyarakat. Polisi saja bisa dengan mudah diserang, apalagi masyarakat biasa.
Gerakan teror pada polisi ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk menyerang NKRI secara keseluruhan. Dengan menyebut polisi sebagai antek-antek thaghut, maka secara tidak langsung Indonesia dianggap sebagai negara kafir oleh kaum-kaum penebar teror tersebut. Ancaman teror pada polisi adalah ancaman terhadap konsep NKRI sebagai sebuah negara bangsa. Oleh karena itu, pemerintah maupun kepolisian tidak boleh menganggap sepele hal ini.
Upaya Deradikalisasi
Ahli nuklir dan pengamat Islam di India, Moorthy S. Muthuswamy dalam tulisannya yang berjudul “A Sharia- and Jihad-Based Theory of Muslim Radicalism” mengatakan bahwa program deradikalisasi perlu digeser dan tidak lagi hanya menekankan pada pembangunan atau demokrasi – yang tujuannya untuk menciptakan keadilan – tetapi juga dengan mengurangi pengaruh jihad dan syariah sebagai cara untuk memutus siklus radikalisasi dan rekrutmen simpatisan teroris. Dengan memutus rantai pandangan yang kurang tepat terhadap jihad dan syariah, maka radikalisme akan bisa dikontrol dan bahkan diatasi. Selama hal tersebut tidak dilakukan, maka niscaya terorisme akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak akan pernah selesai.
Dua serangan teror yang menimpa polisi yang sedang bertugas perlu menjadi catatan bagi pemberantasan terorisme secara keseluruhan di Indonesia. Jika terorisme itu memang terjadi karena ‘dendam terhadap polisi’, maka polisi perlu juga mengedepankan pendekatan yang berbeda untuk menghadapi kelompok-kelompok tersebut. Jika setiap kali berhadapan dengan terorisme, tindakan yang diambil kepolisian adalah ‘tembak mati’, maka boleh jadi hal ini akan terus memicu gelombang perlawanan selanjutnya dalam skala yang lebih masif.
Selain itu, masalahnya adalah apakah di Indonesia radikalisme memang benar-benar diperangi dengan sepenuh hati, ataukah ada pihak-pihak yang sebetulnya sengaja membiarkan radikalisme itu tetap hidup untuk tujuan tertentu? Mungkin ini adalah pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab dan butuh penelitian yang mendalam untuk bisa disimpulkan jawabannya. Yang jelas serangan teror terhadap polisi harus menjadi pemicu bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan pengawasan dan kewaspadaan khususnya terkait penyebaran paham-paham radikal.
Pada akhirnya, deradikalisasi adalah kunci utama untuk menangkal bahaya terorisme. Apalagi, saat ini ISIS telah menancapkan pengaruhnya di Filipina, yang nota bene sangat dekat dengan Indonesia. Deradikalisasi juga diperlukan khususnya bagi WNI yang telah bergabung dengan ISIS, namun saat ini telah kembali ke Indonesia. Dengan demikian penyebaran radikalisme bisa sepenuhnya dicegah.
Terorisme memang tidak mengenal negara dan tidak mengenal agama – seperti kata-kata Putin di awal tulisan ini. Sebaliknya, terorisme sesungguhnya menyatakan permusuhannya pada negara dan agama. Oleh karena itu, selama Indonesia masih dianggap sebagai ‘negara’ dan Pancasila yang berbhineka tetap dijunjung tinggi, maka teror dalam bentuk apa pun sesungguhnya tidak akan mampu menggoyahkan NKRI. Pertanyaannya, apakah Indonesia sanggup? (S13)