Niat Hajatan Kena Tembak

Niat Hajatan Kena Tembak

18 June 2017, 9:51

Pemberitaan mengenai kejadian ini seolah tertutupi oleh pesta demokrasi di ibukota. Sepekan terakhir, perhatian seluruh masyarakat Indonesia tertuju ke gelaran Pilkada DKI Jakarta, padahal di Lubuklinggau ada peristiwa penembakan satu keluarga oleh oknum polisi.

PinterPolitik.com (S13- R)
[dropcap size=big]L[/dropcap]elaki tua itu tampak sedih. Guratan-guratan di wajahnya tampak semakin jelas, menandakan lelah yang dimakan usia. Sesekali ia mengangguk dan berbicara kepada Kapolres Lubuklinggau, AKBP Hajat Mabrur Bujangga yang ada di depannya. Kaswan (60 tahun) tak habis pikir mengapa kejadian naas itu menimpa istri, anak, dan cucunya.
Ia ingat wajah istrinya saat melepas kepergian mereka yang akan menghadiri hajatan kerabat di K‎ecamatan Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Kaswan harus ke kebun sehingga tidak ikut dalam rombongan tersebut. Tidak ada firasat buruk yang dirasakannya, hingga akhirnya ia dikabarkan bahwa istrinya meninggal setelah penembakan di Lubuklinggau itu terjadi.

Keluarga Korban Penembakan Razia Polisi Di Lubuklinggau Tuntut Pelaku Dihukum Berat @redaksisiang_t7 pic.twitter.com/Wm4JY1AIkv
— TRANS7 (@TRANS7) April 20, 2017

Hancur hati Kaswan, istrinya Surini (54 tahun) meninggal dalam kejadian tersebut. Sebagai petani biasa di Desa Blitar, Kecamatan Sindang Beliti, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, Kaswan berharap peristiwa ini bisa diusut oleh pihak Kepolisian. Ia berharap, jika ada kesalahan prosedural dalam kasus ini, ada penyelesaian hukum yang jelas.
“Kami harapkan, dari kami keluarga, jangan cederai hukum dengan kasus ini. Harus diusut. Sedih Pak, kami ini orang bodoh. Kena tembak, Pak. La illaha illallah, Astaghfirullah. Maaf Pak, saya ngomong ngawur, Pak,” ungkap Kaswan.
Niat ke Hajatan, Akhirnya ke Rumah Sakit
Sebelumnya ramai diberitakan, polisi melakukan penembakan terhadap sebuah mobil sedan Honda City berwarna hitam dengan plat nomor BG 1488 ON yang menolak dirazia oleh polisi di sekitar jalan Lingkar Barat Kota Lubuklinggau, pada Selasa, 18 April 2017, sekitar tengah hari. Diki (30 tahun) yang mengemudikan mobil tersebut disebut menghindari polisi karena pajak mobil tersebut mati, dan plat nomor mobil tersebut pun disebut polisi palsu.Mobil tersebut sempat dikejar polisi, hingga akhirnya terjebak dan berhenti. Naasnya, ada petugas polisi yang memberikan tembakan dengan menggunakan senjata api ke arah mobil tersebut. Akibatnya, satu penumpang tewas dan lima orang lainnya terluka. Korban tewas adalah Surini, istri Kaswan.
Selain Surini yang meninggal, anak Kaswan dan cucunya yang ada di dalam mobil tersebut mengalami luka akibat insiden tersebut. Berikut adalah rincian para korban dalam kejadian tersebut.

Pemberitaan mengenai kejadian ini seolah tertutupi oleh pesta demokrasi di ibukota. Sepekan terakhir, perhatian seluruh masyarakat Indonesia tertuju ke gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Gelaran Pilkada DKI Jakarta menutupi aksi ‘koboi’ polisi di jalan Lubuklinggau ini, seolah ada penggerebekan teroris atau bandar narkoba.
Peristiwa ini akhirnya mendatangkan reaksi dari banyak pihak. Ketua Ombudsman, Prof. Amzulian Rifai, S.H., Llm., Ph.D misalnya menilai aksi polisi ini berlebihan. Polisi seperti menjadi koboi di jalanan.

Soal Kasus Penembakan Lubuklinggau, Ketua Ombudsman : Polisi Jangan Jadi Koboi Jalanan https://t.co/cWOSNYjw3Y pic.twitter.com/KXtliWaiAD
— Poros Informasi (@porosinfo) April 19, 2017

Di tempat lain, Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Pol Agung Budi Maryoto mengatakan akan menindak tegas jika anggotanya terbukti melakukan kesalahan dalam prosedur penggunaan senjata api pada peristiwa tersebut.

TERPOPULER Penembakan di Lubuk Linggau, Kapolda Sumsel Janji Tindak Tegas Anggotanya https://t.co/zkQOHCzJVn via @tribunnews
— TRIBUNnews.com (@tribunnews) April 19, 2017

Sekelompok masyarakat yang berasal dari KPAI, HMI, GP Anshor, Banser dan PMII Lubuklinggau juga melakukan aksi protes dan meminta agar Kapolres Lubuklinggau dicopot dari jabatannya. Mereka menganggap Kapolres Lubuklinggau gagal dalam tugasnya.

Penembakan Mobil Secara Brutal Oleh Polisi Di Lubuklinggau, Massa Demo Agar Kapolri Copot Kapolres https://t.co/x9SIlF9Kak pic.twitter.com/hj8rURV99z
— Warta?Politik™ (@wartapolitik) April 19, 2017

Di tempat lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam persitiwa ini dan menyebutnya sebagai aksi yang brutal. Dalam siaran pers resminya, Kontras mengatakan bahwa aksi polisi yang memberondong mobil tersebut tidak dapat dibenarkan.

Penembakan Lubuk Linggau, Potret Brutalitas Aparat Polri di Lapangan
Selengkapnya, baca: https://t.co/8nIA7P4A6c pic.twitter.com/Z6KJozu5w9
— KONTRAS (@KontraS) April 20, 2017

Lalu, apakah tindakan penembakan tersebut memang tidak sesuai prosedur?
Polisi dan Senjata Api
Pada dasarnya, keberadaan senjata api adalah alat polisi untuk melindungi diri dan masyarakat sipil dari pelaku kejahatan. Walaupun demikian, terdapat serangkaian prosedur dan ketentuan penggunaan senjata api untuk tujuan keamanan tersebut. Walaupun bertindak sebagai penegak hukum dan aparat negara, polisi wajib menaati berbagai prosedur penggunaan senjata api yang berlaku.
Aturan tersebut ada dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 8/2009), serta di Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (Perkapolri 1/2009). Dalam kedua aturan tersebut, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

Dewan akan Cecar Kapolri Soal Penembakan Mobil Keluarga di Lubuk Linggau https://t.co/BArE6Ly5bO
— Republika.co.id (@republikaonline) April 20, 2017

Selain itu, senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat, membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat, mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang, menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa, menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Dalam siaran persnya, Kontras menganggap polisi telah melakukan pelanggaran terhadap prosedur penggunaan senjata dalam kasus penembakan ini. Kontras menganggap petugas polisi yang melakukan penembakan melanggar ketentuan dalam Perkapolri. Menurut Kontras, pemberondongan mobil menggunakan senjata api oleh satuan Polres Lubuklinggau tidak dapat dibenarkan, apalagi diketahui di dalam mobil terdapat 2 anak-anak yang terluka, di mana seharusnya mereka mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik dalam persitiwa ini.
Terkait persoalan ini, Kontras mencatat setidaknya dalam kurun 1 bulan terakhir (Maret hingga April 2017) terdapat beberapa insiden senjata api yang mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil dengan dalih pembenar yang didukung instansi Polri. Kontras menyorot peristiwa Tuban (6 orang tewas dengan pembungkus isu terorisme) yang juga banyak mendapatkan kritik serius, khususnya dari sisi manajemen operasi penindakan dan evaluasi gelar pasukan keamanan yang digunakan.
Kontras menyebut peristiwa Lubuklinggau ini tidak bisa dibenarkan karena peristiwa ini tidak dilatarbelakangi adanya kontak senjata dengan aparat Polri. Bahkan tidak ada seorangpun di antara penumpang kendaraan yang diketahui membawa senjata api atau merupakan tersangka kejahatan yang menjadi target Kepolisian. Artinya ada penggunaan instrumen-instrumen hukum yang dipakai secara sewenang-wenang. Hal ini sangat disesalkan, apalagi Polres Lubuklinggau lebih memilih untuk merespons terburu-buru yakni dengan melakukan penembakan secara serampangan, dibanding mengupayakan tindakan-tindakan pencegahan yang dapat mengurangi kerugian atau dampak lebih fatal.
Polisi Makin Brutal?
Di beberapa negara, penggunaan senjata api oleh polisi juga sempat menjadi persoalan serius. Amerika Serikat misalnya sering menghadapi persoalan serius terkait aksi-aksi polisi menembaki warga sipil, khususnya yang sering terjadi terhadap kaum kulit hitam. Banyak kali persoalan terjadi bukan karena sang polisi berlaku rasis, tetapi karena metode saat pendidikan di akademi kepolisianlah yang dianggap salah. Pendidikan polisi cenderung menanamkan pemahaman bahwa segala seuatu yang ada di sekitar polisi adalah ‘ancaman’.
Di satu sisi, pemahaman ini membuat polisi menjadi lebih sigap saat menjalankan tugas, namun di sisi lain hal ini bisa berakibat fatal jika sampai pada tahap penggunaan instrumen senjata. Seringkali korban yang jatuh adalah orang yang tidak bersalah. Polisi tentu harus membuat penilaian-penilaian yang penting saat berhadapan dengan kondisi serius di lapangan berkaitan tindakan apa yang sebaiknya digunakan, atau cara apa yang dianggap perlu untuk dilakukan.

Protests After Off-Duty Cop Kills Black Man in Chicago https://t.co/wD2mPgI8mP #US
— What’s on your Mind? (@whatsonyormind) November 7, 2016

Hal ini juga sering terjadi di Indonesia. Polisi memang dituntut untuk tidak melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas, apalagi jika berhubungan dengan nyawa orang. Kita tentu ingat aksi heroik AIPTU Sunaryanto yang menyelamatkan seorang ibu dan anaknya ketika disandera seorang perampok dalam angkot di Jakarta beberapa waktu lalu. Dengan pertimbangan yang tepat AIPTU Sunaryanto mengambil tindakan yang tepat untuk menyelamatkan ibu dan anak tersebut dengan menggunakan senjata api tanpa juga menewaskan pelaku.
Namun, polisi tetaplah manusia. Adakalanya segala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan malah mengakibatkan kematian warga sipil. Pekerjaan seperti polisi tentu tidak membenarkan kesalahan sekecil apa pun.
Kejadian penembakan di Lubuklinggau ini menimbulkan pertanyaan, apakah polisi saat ini memang sudah semakin brutal? Yang dihadapi saat kejadian bukanlah orang yang bersenjata, apakah benar harus menggunakan senjata api?
Pada akhirnya pertanyaan tentang apakah pendidikan di Akademi Kepolisian di Indonesia sudah benar-benar melahirkan polisi-polisi yang handal menjadi semacam rumusan masalah yang terus diulang-ulang. Jangan-jangan – sama seperti di Amerika Serikat – polisi Indonesia pun cenderung mempunyai presepsi terhadap ‘ancaman’ yang justru membuat warga sipil terancam? Jika demikian, pada akhirnya, orang-orang seperti Kaswan yang kehilangan istri karena ditembak polisi akan terus bertambah. (S13)