Alarm PHK di Tengah Mimpi Menciptakan 19 Juta Lapangan Kerja

Alarm PHK di Tengah Mimpi Menciptakan 19 Juta Lapangan Kerja

28 November 2024, 21:21

tirto.id – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat ada sekitar 63.947 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Oktober 2024, melonjak 20,67 persen dibanding bulan sebelumnya yang berjumlah 52.993 tenaga kerja. Jumlah pekerja yang kena PHK juga jauh lebih besar ketimbang periode Oktober 2023 yang sebanyak 45.576 tenaga kerja. Provinsi DKI Jakarta menjadi wilayah yang paling banyak menyumbang angka PHK, yakni mencapai 14.501 tenaga kerja. Disusul oleh Jawa Tengah sebanyak 12.489 tenaga kerja, Banten 10.702 tenaga kerja, Jawa Barat 8.508 tenaga kerja, dan Jawa Timur 3.694 tenaga kerja. Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita, mengatakan angka tersebut hanyalah yang tercatat. Di luar perusahaan atau pabrik-pabrik, masih banyak para pekerja di industri kecil dan menengah (IKM), usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), atau pekerja dari industri kecil lainnya yang tidak tergabung dalam serikat pekerja juga telah kehilangan pekerjaannya. “Lalu ada juga teman-teman di perhotelan, pertambangan. Minggu lalu kami melakukan perjalanan ke Berau (Kalimantan Timur), di situ [perusahaan] pertambangan akan ada [PHK] sekitar 400-500 [pekerja] bertahap. Dari anggota [KSBSI] saja ada hampir 5.000 orang, mayoritas di padat karya,” kata Elly kepada Tirto, Selasa (26/11/2024). Industri padat karya di sektor manufaktur/pengolahan menjadi penyumbang porsi PHK terbesar, yakni mencapai 43,81 persen. Selanjutnya, ada sektor aktivitas jasa 24,31 persen, perdagangan besar dan eceran 13,11 persen, sektor pertanian, kehutanan, perikanan 7,18 persen dan terakhir pertambangan 6,48 persen. “Masalah utama rakyat dan tenaga kerja itu adalah kepastian bekerja. Jadi, kalau misalnya di-PHK, mereka seharusnya diberitahu enam bulan sebelumnya. Agar mereka bisa misalnya menyiapkan diri untuk mencari pekerjaan dan alasan mereka di-PHK apa. Ketika mereka (perusahaan) tidak ada pengurangan produksi, tidak ada pengurangan ekspor kan itu jadi mencurigakan bagi pekerja,” jelasnya. PHK yang terjadi sekarang dinilai sebagai akibat dari pelemahan kinerja industri pasca Pandemi Covid-19. Seperti diketahui, pada 2022 lalu saat banyak negara berupaya memulihkan permintaan masyarakat, bank-bank sentral dunia menaikkan suku bunga acuannya agar ekonomi negara tak makin melemah dan inflasi tidak kian melonjak. Namun, sebagai konsekuensi, mata uang khususnya dari negara-negara berkembang mengalami tekanan dari mata uang dolar AS. Padahal, bagi industri atau dunia usaha, perkasanya dolar membuat biaya modal yang harus dikeluarkan membengkak. Sehingga perusahaan tidak bisa melakukan ekspansi dan menarik karyawan baru. Sebaliknya, seiring dengan melemahnya produksi, perusahaan akan cenderung mengambil jalan pintas dengan melakukan PHK. “Namun, jika kita lihat dari kondisinya di pasar eksternal, di pasar luar negeri yang biasa menjadi pasar tradisional [ekspor] kita, ini juga kondisi permintaannya masih rendah. Jadi seperti kita ekspor tekstil, kita yang biasanya ekspor tekstil ke Amerika, Jepang, Eropa, tingkat permintaannya juga rendah. Itu yang semakin menahan tingkat industri manufaktur kita,” jelas Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, saat dihubungi Tirto, Selasa (26/11/2024). Kini, seiring dengan kembali melemahnya rupiah pasca terpilihnya Donald. J. Trump sebagai Presiden AS dan masih terus berlangsungnya eskalasi geopolitik di Timur Tengah, dia khawatir jumlah PHK akan semakin banyak. Di sisi lain, investasi asing yang sampai saat ini dibanggkan pemerintah tak cukup kuat untuk menahan laju PHK. “Selama ini investasi yang paling dibangga-banggain pemerintah itu mayoritas ada di sektor pertambangan dan hilirisasi pertambangan yang cuma satu tingkat di atasnya, terutama ke feronikel. Padahal, dari segi penyerapan tenaga kerjanya itu sangat sedikit. Hilirisasi itu hanya sekitar 5 persen dari seluruh pekerja,” imbuhnya.Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). ANTARA FOTO/Jojon/foc. Dibandingkan baterai kendaraan bermotor berbasis listrik, ekspor hasil hilirisasi lebih banyak dilakukan dalam bentuk stainless steel seperti sendok dan garpu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor nikel dan barang daripadanya mencapai 4,93 miliar dolar AS pada Januari-Agustus 2024, naik 8,83 persen dari 4,53 miliar dolar AS pada Januari-Agustus 2023. Realisasi itu membuat ekspor dari nikel dan barang daripadanya menyumbang kontribusi 3,08 persen ke kinerja ekspor Indonesia yang mencapai 170,89 miliar dolar AS pada Januari-Agustus 2024. Semantara itu, berdasar laporan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi di bidang hilirisasi mencapai Rp91,51 triliun atau 21,2 persen dari total realisasi investasi nasional yang mencapai Rp431,48 triliun. Pada periode yang sama, sektor hilirisasi dilaporkan menyerap tenaga kerja sekitar 650.172 orang. Sementara secara kumulatif sejak Januari-September 2024, realisasi investasi di bidang hilirisasi mencapai Rp272,91 triliun. Menteri Investasi/BKPM, Rosan Roeslani, mengungkapkan capaian realisasi di bidang hilirisasi tersebut didorong oleh peningkatan realisasi investasi smelter hasil tambang yang mencapai Rp56,68 triliun pada triwulan III 2024 dan Rp170,78 triliun di 9 bulan pertama 2024. “Nikel tetap yang paling besar, dilanjutkan tembaga, bauksit, dan timah. Kalau kehutanan pulp and paper kontribusinya Rp33,72 triliun, CPO atau oleochemical Rp44,09 triliun, petrochemical Rp17,46 triliun, dan ekosistem kendaraan listrik ini baterai khususnya Rp6,86 triliun. Jadi totalnya adalah Rp272,91 triliun,” jelas Rosan dalam Konferensi Pers Realisasi Investasi Triwulan III 2024 di kantornya, Jakarta, Selasa (15/10/2024).Capaian-capaian tersebut sangat berbanding terbalik dengan sektor manufaktur yang berdasarkan laporan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mampu mencapai 18,82 juta orang hingga Juni 2022. Sedangkan realisasi investasi yang dicatatkan industri dengan banyak tenaga kerja ini mencapai Rp337 triliun pada semester I 2024.Di sisi lain, jika melihat kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air secara umum, Andri tak melihat perubahan signifikan selama 10 tahun terakhir. Pasalnya, meski pengangguran terbuka mengalami penurunan menjadi sekitar 4,82 persen pada Februari 2024, namun jumlah pekerja informal hanya turun menjadi 59,17 persen. Tak jauh berbeda dengan jumlah pekerja di sektor informal pada Februari 2014 yang sebanyak 59,81 persen dari total angkatan kerja. “Kalau investasinya terus mengalir ke hilirisasi pertambangan dan sektor pertambangan, akan sulit bagi pemerintah untuk mencapai target penciptaan 19 juta lapangan kerja baru dalam waktu lima tahun ke depan,” nilai Andri. Pasalnya, tingkat pendapatan dari sektor pertambangan maupun hilirisasi pertambangan akan sangat bergantung pada harga komoditas dunia. Selain itu, untuk jangka panjang, industri ekstraktif sudah terbukti tidak bisa berumur panjang dan hanya dapat mengandalkan permintaan dari pasar global. “Tingkatnya ini sangat tergantung dari selera pasar global, bukan dari ketahanan demand dalam negeri sendiri. Kalau misalnya kita adalah sektor industri-industri yang melayani dalam negeri dan juga luar negeri, tapi produknya adalah sesuatu yang sustainable, yang selalu dibutuhkan,” sambung Andri. Sementara itu, praktisi ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, lebih sepakat dengan penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengatakan laporan investasi pertambangan mineral dan batu bara (minerba) tidak andal dan dapat menyesatkan pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan. Sebab, BPK menemukan indikasi bahwa pelaku usaha minerba belum sepenuhnya menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) kepada pemerintah dan bahkan terdapat pelaku usaha yang belum memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).Sejumlah pekerja pabrik berjalan di luar area pabrik saat jam istirahat di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/hp. Kemudian, terdapat pula kelemahan pada layanan LKPM dalam subsistem pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko atau online single submission (OSS). “Kan kemarin kebongkar, Bahlil (mantan Menteri Investasi/Kepala BKPM yang saat ini menjabat sebagai Menteri ESDM) katanya BKPM itu data investasinya sekarang ternyata itu palsu, kan? Dibuka oleh BPK, [mereka] melacak ke sana itu ternyata sebagian datanya kosong. Belum jadi investor ke sini,” jelas Tadjudin kepada Tirto, Selasa (26/11/2024). Menurutnya, di tengah tren perlambatan ekonomi dan gelombang besar PHK, akan tidak mungkin pembukaan 19 juta lapangan kerja baru Prabowo-Gibran alais sekadar angan. Pasalnya, setiap pembukaan lapangan kerja dibutuhkan investasi besar di industri-industri dalam negeri. Sayangnya, kata dia, Indonesia kurang dilirik oleh investor-investor kelas kakap global. Hal ini terlihat dari langkah Cina yang memindahkan 33 perusahaannya ke kawasan Asia Tenggara pada 2019 lalu. Namun, dari banyaknya perusahaan tersebut tak satupun masuk ke Indonesia. Dari total itu, 23 perusahaan di antaranya keluar dari Tiongkok dan memilih Vietnam sebagai lokasi barunya, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. “Memang banyak investor asing tidak mau datang ke Indonesia, karena memang pertama, kepastian hukum. Nggak jelas di Indonesia. Kalau mau berusaha di Indonesia, kepastian hukumnya itu mereka takut karena bisa berubah setiap saat. Kedua, mengurus surat izin susah banget di Indonesia,” imbuh dia. Menurutnya, terlalu banyak meja membuat proses pengajuan izin berusaha para investor bisa membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan. Berbeda dengan di Vietnam yang menurut Tadjudin hanya membutuhkan waktu sekitar 1-2 minggu untuk mengantongi izin. Kemudian, jika dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia, kualitas tenaga kerja Indonesia masih tertinggal jauh. Katanya, banyak anak lulusan SD (Sekolah Dasar) yang hanya bekerja seadanya untuk menyambung hidup. “Jadi ada masalah yang cukup serius tahun depan. Investasi tidak masuk, PPN dinaikkan, impor barang-barang luar negeri banjir yang menyebabkan industri kita tidak bisa bersaing. Saya malah khawatir kalau tidak ada penanganan yang serius dari pemerintah, itu akan menjadi krisis ekonomi. Karena kalau seperti itu kan akibatnya daya beli rendah, tidak terjadi perluasan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi kita bisa turun,” jelas Tadjudin. Sementara itu, untuk mengatasi masalah PHK, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, telah mengusulkan pembentukan satuan tugas (satgas) pencegahan PHK kepada Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian. Dalam rencananya, satgas ini akan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga (K/L) terkait untuk bekerja secara bersama-sama. “Itu multi kementerian nanti yang akan bekerja. Kami sudah angkat isu PHK itu ke Kemenko untuk sama-sama nanti dibentuk satgas,” kata dia saat ditemui awak media usai membuka kegiatan Social Security Summit 2024, di Jakarta, Selasa (26/11/2024). Meski masih berupa usulan, dia berharap ini akan menjadi langkah proaktif untuk menjaga stabilitas tenaga kerja dan melindungi para pekerja dari ancaman kehilangan pekerjaan. Karena itu, ke depannya dia juga masih akan terus berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian untuk membahas usulan ini. “Ini baru usulan ya, baru usulan dan itu akan di-fu (follow up) dalam rapat,” sambung Yassierli.