Reunifikasi Korea, Reunifikasi Ideologi

Reunifikasi Korea, Reunifikasi Ideologi

5 June 2017, 12:11

Indonesia, khususnya Bung Karno, memiliki sejarah akrab dengan Korea Utara. Tak heran bila Presiden Korea Selatan meminta Indonesia untuk menjadi jembatan reunifikasi kedua negara tersebut.

PinterPolitik.com

“Saya berpikir, sebagai manusia kita akan selalu berkeinginan untuk bersatu. Saya kira begitu lama kepahitan dirasakan rakyat Korea Utara dan Korea Selatan yang terpisah akibat beberapa waktu lalu bangsa ini dipisahkan jadi dua negara.”

[dropcap size=big]P[/dropcap]emikiran ini dinyatakan Presiden Kelima RI, Megawati Soekarno Putri saat bertemu dengan Presiden Moon Jae-In di Istana Kepresidenan Korea Selatan (Korsel), Seoul, Senin (29/5). Selain membahas hubungan kedua negara serta mengucapkan selamat atas terpilihnya Moon Jae-In sebagai presiden, Mega juga menyatakan kesediaannya untuk berperan dalam proses reunifikasi antara Korsel dengan Korea Utara (Korut).
“Saat saya jadi presiden, Kim Dae-Jung adalah presiden Korsel. Beliau adalah sosok yang sangat ingin menyatukan Utara dan Selatan. Bahkan saat Kim Dae-Jung digantikan Roh Moon-Hyeun, saya diminta menjadi special envoy untuk reunifikasi kedua negara,” kata Megawati, Selasa (30/5).
Ia mengatakan, dirinya mendorong Moon Jae-In dalam upaya proses reunifikasi Korsel dan Korut. “Keterlibatan dan perhatian saya terkait isu Korea sejak lama inilah yang mungkin mendorong Moon agar saya kembali terlibat dalam reunifikasi kedua negara,” katanya. Namun sejauh ini, Megawati mengaku masih belum dapat menjelaskan upaya yang akan dilakukan lebih lanjut.
Megawati juga menyampaikan kepada Presiden Moon agar diberi waktu untuk berpikir sekaligus bicara kepada Presiden Joko Widodo. “Selain atas nama pribadi, tugas special envoy ini tentu atas nama Indonesia. Itu kenapa saya harus berpikir sekaligus merenung tentang cara yang akan saya tempuh,” terangnya.
Menurut salah seorang diplomat Indonesia, langkah Presiden Moon mengundang tokoh Indonesia merupakan di luar pakem kebiasaan Korsel. “Korsel umumnya mengutamakan Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Kehadiran Ibu Mega serta upaya reunifikasi dan utusan khusus Presiden Moon menemui Presiden Joko Widodo, saya berkeyakinan Korsel berkeinginan membentuk aliansi baru.”

Courtesy call Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri kpd Presiden Moon Jae-in semakin kuatkan hub bilateral RI-RoK pic.twitter.com/v3mqJejKss
— KBRI Seoul (@IdEmbassy_Seoul) May 29, 2017

Hubungan Mesra Indonesia-Korut

“Saya teringat ayah saya (Soekarno). Saya bertanya pada beliau ketika persoalan Jerman, pada waktu itu saya masih muda. Saya tanya, bisakah sebuah bangsa yang dipisahkan itu bersatu kembali. Ayah saya katakan, pasti bisa sepanjang darah bangsa itu masih ada, dan pada kenyataannya sekarang Jerman telah bersatu.”

Ketika menjabat sebagai Presiden, Megawati pernah bertandang ke Korut dan disambut hangat oleh pemimpinnya kala itu, Kim Dae-Jung. Selain sama-sama tergabung dalam Gerakan Non Blok, Indonesia juga salah satu dari sedikit negara di dunia yang masih membina hubungan baik dengan Korut. Bahkan ketika negara komunis tersebut dikenai sanksi dan isolasi internasional, akibat pelanggaran HAM dan program rudal nuklirnya.Hubungan mesra Indonesia-Korut, tak lepas dari peran presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Bahkan Duta Besar Korut yang juga dikenal dengan Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) untuk Indonesia, Ri Jong Ryul mengatakan, Soekarno dan Presidennya saat itu, Kim Il-Sung memiliki hubungan istimewa.
Proklamator Indonesia itu pernah secara khusus menyilang anggrek dendrobium dan menamainya sebagai Bunga Kim Il Sung atau Kimilsungia sebagai hadiah ulang tahun. “Hubungan antara Presiden Soekarno dan Presiden Kim Il Sung sangat istimewa dan tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Presiden Soekarno juga dikenal baik oleh rakyat DPRK,” jelas Ri, di Jakarta.

Hubungan mereka dimulai sejak 1964, ketika Bung Karno melakukan kunjungan resmi ke Pyongyang. Kunjungan ini kemudian dibalas oleh Kim Il Sung, bersama putranya Kim Jong-Il ke Indonesia pada April 1965. “Selain mempererat hubungan bilateral, kunjungan Jong Il juga sekaligus menghadiri peringatan 10 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung,” jelas Ri. Padahal, saat itu di Semenanjung Korea sedang bergolak hebat yang dikenal dengan ‘Perang Korea’.
Walau Korut berpaham komunis, keduanya tidak pernah menyinggung-nyinggung ideologi negara masing-masing dan lebih banyak membahas tentang kesejahteraan, kemerdekaan, dan kedaulatan kedua negara. “Barulah setelah itu, keduanya berjalan-jalan ke Kebun Raya Bogor. Saat itulah Soekarno memberikan bunga Kimilsungia.”
Di Korut, bunga Kimilsungia merupakan salah satu bunga paling terkenal, serta menjadi simbol ikatan persahabatan antara Korut dan Indonesia. “Karena itulah, negara kami tidak akan pernah melupakan Indonesia,” tegasnya. Setiap tahun di bulan April, sejak tahun 1999, Korut merayakan “Festival Kimilsungia” untuk memperingati ulang tahun Kim Il Sung dan hubungan erat dengan Indonesia.
Perang Ideologi Korea

“Amerika telah mendorong situasi di Semenanjung Korea berada di ambang perang.” ~ Kantor Berita Korut, KCNA.

Di ambang perang, begitulah situasi di Semenanjung Korea sejak berakhirnya Perang Dunia II. Perpecahan kedua negara ini merupakan dampak dari terjadinya persaingan ideologi yang dikenal dengan sebutan Perang Dingin. Perang tanpa senjata ini membagi dunia menjadi dua kutub yang saling bertentangan, yaitu kubu Uni Soviet yang berhaluan Komunis dengan Amerika Serikat (AS) yang memiliki paham liberalis dan terbuka.
Kedua negara superpower pada masa itu memperebutkan ‘pengaruh’ untuk dapat menciptakan supremasi ideologi di negara-negara dunia ketiga. Pengaruh ini pada akhirnya ikut membagi Korea menjadi dua negara. Uni Soviet yang menaruh pengaruh komunisnya di Korea bagian utara, melalui Kim Il-Sung, membentuk Korea Utara.Sementara AS dan negara sekutunya, menyebarkan ideologi liberalis-kapitalis pada Korea bagian selatan dengan mendompleng nama Syng-man Rhee. Keterpisahan kedua negara ini semakin dipertegas dengan terjadinya Perang Korea yang berlangsung dari 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953.

Sebelumnya di tahun 1945, Korut memang telah memilih untuk memisahkan diri akibat keputusan sekutu yang secara sepihak mengambil alih Korea dari kependudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1910 hingga 1945. Korut melalui Kim Il-Sung, juga menolak pemimpin kelompok sayap kanan representative demokratik, Syng-man Rhee.
Konflik keduanya atau bahasa jeleknya, kondisi perang yang masih terjadi hingga kini, adalah karena tidak ada perjanjian perdamaian secara pasti diantara keduanya. Bahkan berbagai upaya PBB untuk melakukan perdamaian pun masih belum memberikan hasil. Sehingga timbullah perasaan khawatir akan adanya ancaman-ancaman yang mungkin ditimbulkan antar keduanya.
Selama ini, Korut dianggap sebagai pihak yang paling mengancam. Sebab, awal perang Korea di tahun 1950 pun disebabkan akibat serangan mendadak dari Korut, mengakibatkan banyaknya korban sipil maupun militer di pihak Korsel yang dalam kondisi tidak siap perang. Sementara, Korut kala itu beralasan melakukan serangan untuk membalas provokasi dari Korsel.
Dilema Keamanan Korut

 “Kemandirian negara untuk mengurus keamanannya sendiri, entah apapun niatnya, cenderung memicu ketidaknyamanan bagi negara lain karena masing-masing negara menganggap tindakan yang diambilnya bersifat defensif dan tindakan yang diambil negara lain bersifat mengancam.”

Apa yang menurut John H. Herz sebagai dilema keamanan (security dilemma) pada tahun 1951 dalam bukunya ‘Political Realism and Political Idealism’, adalah situasi yang terjadi antara Korut dan Korsel hingga saat ini. Kedua negara ini mengalami dilema keamanan akibat konflik yang masih belum terselesaikan, sehingga menimbulkan perasaan tidak aman baik di kedua negara tersebut maupun negara sekitarnya.
Akibatnya, tindakan Korut maupun Korsel dalam meningkatkan  keamanan  akan  dianggap  sebagai  ancaman  bagi keamanan negara satu sama lain. Dilema keamanan ini juga terjadi akibat gagalnya komunikasi antar pihak yang berkonflik, sulit dalam membangun  kepercayaan, faktor  sejarah  atau  keadaan kontemporer,  atau  kemajuan  teknologi  yang  menyebabkan  sulitnya  menentukan karakter persenjataan  yang  bersifat  ofensif  atau  defensif.

Korut sepertinya menjadi negara yang paling mengalami dilema keamanan, sebab selalu melakukan tindakan ofensif ke negara lain, seperti Korsel dan Jepang. Tujuannya, menurut Herz, untuk mengurangi ketakutan serta membuat citra negaranya menjadi ditakuti dan disegani, sehingga kemungkinan untuk diserang berkurang. Korut juga diduga memusatkan anggarannya pada militer, dan menunjukkan keikutsertaan dalam konflik atau masalah internasional yang menonjolkan bidang militer.
Upaya Yang Tak Mudah

“Sebuah era baru telah dimulai bagi bangsa kami.”  Kim Dae-Jung

Setelah lebih dari 70 tahun berpisah, sulit rasanya membayangkan bagaimana cara untuk menyatukan kembali kedua negara tersebut, terutama karena keduanya memiliki perbedaan ekonomi yang sangat besar. Berbagai upaya telah dilakukan, bahkan Korut mengaku berupaya menyatukan Korea saat melakukan invasi militer pada 1950 lalu.
Di bawah kepemimpinan Presiden Kim Dae-Jung, di tahun 2000, sebenarnya Korsel memiliki harapan besar untuk melakukan reunifikasi. Melalui strategi “politik sinar matahari”, ia melakukan pendekatan ke Pyongyang dan berhasil melakukan pertemuan bersejarah dengan Pemimpin Korut Kim Jong-Il. Berkat upayanya itu, Kim Dae-Jung mendapatkan anugerah Nobel Perdamaian.
Kim Dae-Jung juga presiden Korsel pertama yang menawarkan bantuan ekonomi kepada Korut. Ia tidak meminta imbalan secara langsung, hanya menegaskan kepada Pyongyang, bahwa pemerintahannya tidak ingin menguasai Korut. Mereka kemudian membentuk hubungan kemitraan yang setara dalam situasi damai. Korsel juga menyalurkan bantuan pupuk, beras, dan gandum. Juga mengembangkan kawasan pariwisata Kumgang dan kawasan industri Kaesong yang kini menjadi sumber devisa utama Korut.
Upaya ini ternyata tidak membuahkan hasil, karena Kim Jong Il tidak melakukan kunjungan balasan ke Korsel seperti yang dijanjikan. Mereka malah meneruskan program nuklir dan peluru kendali. Presiden Korsel berikutnya, Lee Myung Bak akhirnya menghentikan bantuan pangan mereka. Sejak itu, hubungan kedua negara kembali mendingin.

Di tahun 2015, Wakil Ketua Komite Khusus Reunifikasi, Chong Wook Chung menyatakan kalau upaya reunifikasi masih sulit tercapai karena Pemimpin Korut saat ini, Kim Jong-Un memberikan beberapa syarat yang harus disanggupi oleh Korsel. “Korea Utara meminta agar tentara AS ditarik, sehingga tidak lagi berada di Korsel, khususnya wilayah perbatasan semenanjung. Hal itu sulit untuk kami lakukan,” sesal Chung.
Selain itu, Korut juga menuntut agar reunifikasi dilakukan secara militer dan menolak untuk melakukan reunifikasi secara damai. “Jika terjadi reunifikasi secara damai maka sektor perekonomian mereka akan tidak seimbang karena bergabung dengan Korsel, mereka akan mengalami kerugian. Karena itu, kami minta agar Korut mencontoh dan mempelajari Jerman saat melakukan reunifikasi.”
Sulitnya menyatukan ideologi dan kepentingan keduanya, menyebabkan pihak Korsel meminta bantuan Indonesia, sebagai salah satu negara yang dekat dengan Korut. “Karena itulah menurut kami, Indonesia memiliki peran yang sangat menonjol sebagai pihak ketiga. Kami berharap Indonesia menjadi penengah bagi kedua Korea sebab kami merasa Indonesia sangat peduli terhadap apa yang kami hadapi saat ini,” Chung menjelaskan.
Namun Megawati mengaku sangat optimis mampu membawa perdamaian antar Korea ini bisa dicapai, karena Presiden Korsel Moon Jae-in telah mendesaknya untuk membantu proses reunifikasi. Dalam empat bulan ke depan, Megawati akan terbang ke Korea Utara untuk memulai dialog reunifikasi. Sebagai putri Mantan Presiden Soekarno yang memiliki hubungan baik dengan mantan Pemimpin Korea Utara, Kim Il Sung, Megawati juga dihormati oleh pemimpin Korea Utara saat ini, Kim Jong-Un. Mampukah Megawati mengemban amanat yang seolah tak mungkin ini? Berikan pendapatmu.
(Berbagai sumber/R24)