Keputusan penahanan Basuki Tjahaja Purnama selama dua tahun penjara, menyedot perhatian masyarakat Indonesia maupun dunia. Silang pendapat pun terjadi, tapi benarkah semua hanya politisasi?
PinterPolitik.com
“Yang menyedihkan ialah, tak selamanya terbukti dasar agama bisa menggerakkan hati untuk tidak menindas orang lain; bahkan prinsip itu sering membikin kita merasa paling benar & paling suci, seperti mendapatkan lisensi untuk melikuidasikan pendapat & kehadiran orang lain.” ~ Gunawan Muhammad
[dropcap size=big]E[/dropcap]mosi masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta, saat ini tengah terbelah. Ketika sebagian warga Muslim bergembira ria, karena tuntutan agar Ahok dihukum sebagai penista agama terpenuhi. Di sisi lain, ada sekelompok warga lain yang jumlahnya juga tak sedikit, menangis dan teriris hatinya karena tokoh pembaharu, tegas, dan jujur kesayangan mereka, harus berakhir di hotel prodeo.
Namun di luar sentimentalisme yang terangkat di permukaan, juga terselip ketakutan bahkan perasaan terancam akan hilangnya toleransi. Kekalahan Ahok meraih kebebasan, banyak yang menganggap sebagai kekalahan kaum minoritas atas tekanan massa mayoritas. “Kasus penodaan agama ini memang selalu melibatkan massa dan yah kebetulan agama Islam yang selalu dinodai,” kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Abraham Todo Napitupulu.
Ketika palu hakim diketuk dan Ahok digiring ke rumah tahanan Cipinang, pada saat itu juga menjadi mimpi buruk bagi peradilan yang demokratis. Karena setelah peradilan usai pun, konsep penistaan atau penodaan agama itu sendiri bahkan masih rapuh oleh sanggahan-sanggahan. “Vonis yang akan sangat menakutkan,” begitu kata Ketua YLBHI Asfinawati. Kejadian ini tentu ke depannya akan membuat warga minoritas berpikir ulang untuk masuk dalam proses politik, Pilkada, atau pemilihan presiden.
Pemikiran yang sama juga datang dari Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani. Dijebloskannya Ahok ke dalam sel tahanan pada akhirnya membunyikan sinyal ‘darurat’, sebab memperlihatkan betapa kuatnya politisasi identitas etnis dan agama yang ada di Indonesia.
Belenggu Stigma
“Kita harus membedakan antara perbedaan politik dan hubungan insaniah. Orang boleh berbeda dalam sikap politik tetapi harus tetap menjaga hubungan insaniah. Terlebih dalam keadaan genting.” ~ KH. Wahid Hasyim
Entah apa yang akan dikatakan almarhum KH. Wahid Hasyim, apabila beliau masih hidup saat ini. Ketika kata ‘maaf’ Ahok tak lagi berarti karena label ‘penista agama’ langsung membelenggunya, opini masyarakat pun ikut tergiring stigma tersebut. “Dalam sejarah politik Indonesia, mungkin apa yang dicapkan pada Ahok merupakan teknik membuat stigma yang paling berhasil,” ujar Budayawan Gunawan Muhammad.
Gelar penista agama, tak hanya dikalungkan dari lawan-lawan politik Ahok. Para ulama dan pemimpin ormas Islam pun, berbondong-bondong ikut mengabsahkannya. Sehingga sebelum pengadilan memutuskan, massa telah terikat stigma bahwa Ahok bersalah dan harus dihukum. Api amarah yang terus disulut ini menghanguskan nalar massa, sehingga tak mampu lagi memandang dan berpikir secara obyektif.Ikut sertanya para pemimpin umat memperkuat stigma ini, sehingga tak hanya menggerakkan anggotanya semata, tapi juga umat Islam lainnya yang pada akhirnya turut merasa tersundut. Mereka berkumpul menjadi massa yang cukup besar, di mana dalam benak mereka hanya ada satu harapan, yaitu keridhaan Allah karena berjuang melawan kafir yang telah menistakan ayat suci milik-Nya.
Berbagai kegiatan pengerahan massa di tanggal-tanggal ‘cantik’, pada akhirnya berhasil memainkan peran menentukan dalam konstalasi dan kontestasi politik yang sedang berlangsung, khususnya di Ibukota Jakarta. Sang penista agama berhasil terjungkal dan keputusan hukuman dua tahun penjara, menggenapkan kemenangan, sehingga massa pun terpuaskan. “Peradilan kembali tunduk kepada tekanan publik. Ini tentu menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa, Rabu (10/5).
Ahok dipenjara sebagaimana tuntutan beberapa kalangan bagaimana dampaknya terhadap sosial politik di Indonesia? https://t.co/XzNGI1gJ6W pic.twitter.com/VS736DJyU3
— BBC Indonesia (@BBCIndonesia) May 10, 2017
Menjurus Mobokrasi
“Bentuk demokrasi merupakan bentuk ideal (terbaik) yang dapat merosot menjadi mobokrasi (Okhlokrasi).” ~ Plato
Berbagai aksi massa dari ormas Islam yang digelar sejak November 2016, selalu ditujukan agar Ahok dipenjara. Alghiffari melihat, gerakan tersebut merupakan bentuk tekanan atas proses sidang yang sedang berlangsung. Jadi adalah hal yang ironis, apabila ada orang yang dihukum hanya atas dasar tekanan publik. Sebab seharusnya pengadilan menjadi pihak yang independen dan hanya setia kepada nilai keadilan, rule of law, dan konstitusi.
“Dalam kasus Ahok, rule of law dikorbankan dan digantikan oleh rule by mass atau mobokrasi. Sementara proses hukum serta fakta-fakta persidangan diabaikan,” ujarnya. Pernyataan ini juga diamini oleh aktivis Gema Demokrasi Pratiwi Febry. Ia mengatakan, “Indonesia adalah rech staat (negara hukum) dan bukannya mach staat (negara kekuasaan), sehingga seharusnya tidak tunduk pada pendapat segerombolan orang (mob) yang melakukan tekanan, baik terhadap hukum maupun otoritas pemerintah.”
“Harus diakui, majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki,” jelas Ketua SETARA Institute Hendardi, Selasa (9/5). Vonis hakim tersebut, lanjutnya, sekaligus mempertegas bahwa delik penodaan agama sangat rentan dijadikan alat untuk menekan kelompok kepentingan manapun. “Delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat pendudukan bagi siapapun dan untuk kepentingan siapapun.”
Amnesty International & other civil rights organizations have called on #Indonesia to repeal its blasphemy law https://t.co/0P0xRjSKK5 #ahok pic.twitter.com/HRJvW1w1Fm
— Amnesty Indonesia (@amnestyindo) May 10, 2017
Pasal Diskriminatif
“Tibalah kini saat kita berpisah, aku menjelang mati dan kalian menempuh hidup, mana yang lebih baik hanya Tuhan mengetahui.”
Kalimat di atas merupakan ucapan Socrates, ketika menerima piala berisi racun yang harus diminumnya. Filsuf Yunani yang meninggal di usia 70 tahun ini dihukum mati, setelah dituding menistakan agama karena tidak mau mengakui dewa-dewa yang disembah bangsa Yunani, sebagai tuhannya. Pasal penistaan agama juga memasung pakar matematika sekaligus astronom, Galileo Galilei yang kukuh mempertahankan argumen kalau bumi mengitari matahari, bukan sebaliknya.Terlepas dari pantas tidaknya Ahok bersanding dengan para filsuf itu, namun tuduhan yang menjerat ketiganya sama, yaitu dianggap menistakan atau menodai agama. Menurut Ismail Hasani dari SETARA Institute, dasar pasal penodaan agama adalah diskriminatif. “Bagaimana tidak diskriminatif, bila tidak ada kepastian hukum. Bila ada tafsiran yang berbeda dengan MUI, bisa dipenjara. Padahal kalau penafsiran itu merupakan ekspresi verbal, akan sama saja mengadili pikiran kita. Itu kan tidak mungkin,” jelasnya.
Tudingan telah terjadinya diskriminasi, juga meluncur deras dari badan-badan internasional yang selama ini giat mengikuti kasus yang cukup menghebohkan ini. Salah satu yang menyatakan keprihatinannya adalah Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk kawasan Asia. Ucapan yang sama juga datang dari lembaga HAM lainnya, yaitu Amnesty International. Organisasi ini bahkan menyatakan, putusan itu bisa merusak reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara toleran.
Walau presidennya sendiri bertindak diskriminatif, namun Departemen Luar Negeri Amerika secara tegas menyatakan kalau Undang-undang penistaan agama membahayakan kebebasan fundamental, termasuk kebebasan beragama dan mengemukakan pendapat. Sementara itu, delegasi Uni Eropa untuk Indonesia menyerukan pada pemerintah dan rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan tradisi toleransi dan pluralisme yang selama ini dikagumi dunia.
Pelajaran Bagi Ahok
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya.” ~ Tere Liye
Ikhlas dan pasrah, begitu juga yang pada akhirnya dikatakan oleh Ahok menjelang sidang keputusannya, Senin (8/5) lalu. Setelah berdoa, ia mengaku menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Walaupun majelis hakim memvonisnya bersalah, ia mengaku pasrah. “Ya mau bilang apa? Sekarang juga kamu kira aku diperlakukan dengan adil? Biasa aja aku. Aku percaya negara, siapa pun, ada Tuhan yang pegang kuasa,” katanya.
Ia mengaku akan menerima vonis yang akan diberikan hakim, apakah itu adil atau tidak. “Enggak ada kata enggak adil. Aku terima saja. Mau dizalimi atau difitnah, ya terima saja. Kalau kata pepatah kuno, sebelum paku di atas peti mati kamu berbunyi, enggak usah klaim kamu sukses atau gagal,” lanjut Ahok yang memiliki prinsip hidup yang ikhlas menerima walau tersakiti, seperti yang diungkapkan oleh Tere Liye di atas.
Pengamat hukum Nicholay Apriliando berharap, vonis dua tahun penjara dari majelis hakim dapat menjadi pembelajaran bagi Ahok untuk menjaga lisan dan tingkah lakunya. Sedangkan pengamat hukum dari Universitas Diponegoro M. Mirza Harera mengatakan, putusan ini bisa berdampak ke masalah lain, salah satunya meredam kemarahan umat Islam. “Jika Ahok diputus bebas, bukan tidak mungkin kemarahan masyarakat bisa saja meledak.”
Ditambah lagi, kata Mirza, Menkopolhukam secara resmi telah membubarkan HTI. Sehingga secara tidak langsung, keputusan itu juga berpengaruh terhadap reaksi HTI yang menuntut Ahok untuk dipenjara. Meski masih ada upaya hukum banding, tapi setidaknya vonis ini berpengaruh pada stabilitas keamanan nasional dan keutuhan NKRI serta kerukunan antar umat beragama.
Sebaliknya, Komisi Yudisial (KY) meminta seluruh pihak agar bersikap rasional dan menjaga sikap yang sehat dalam menanggapi vonis sidang Ahok ini. “Saya mengimbau kepada masyarakat agar bisa menahan diri karena putusan ini adalah murni putusan hukum dan tanpa ada intervensi dari kekuatan politik yang ada di Indonesia,” jelas juru bicara KY, Farid Wajdi di Jakarta.
Farid juga meminta seluruh pihak untuk percaya kepada sistem peradilan Indonesia. Sehingga bila ada yang menduga telah terjadi pelanggaran perilaku, KY meminta untuk menggunakan jalur pelaporan yang sudah diatur. “Terhadap substansi putusannya, apapun upaya yang hendak ditempuh, gunakanlah jalur hukum. Jangan keluar dari jalur tersebut,” jelas Farid yang memastikan para hakim telah berusaha objektif dan serius dalam perkara ini. Jadi, apakah Ahok pantas dihukum? Berikan pendapatmu.
(Berbagai sumber/R24)