Pasal Penistaan Agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ternyata sangat bermasalah karena bernilai multitafsir, subjektif, dan rawan untuk dijadikan senjata politik.
PinterPolitik.com
Selasa (9/05) kemarin, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Dwiarso, resmi memvonis Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan pidana penjara dua tahun. Menurutnya, Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.
Keputusan tersebut melahirkan beragam respon, baik dalam maupun di luar negeri. Dewan HAM PBB untuk kawasan Asia menyatakan keprihatinannya atas hukman penjara terhadap dugaan penistaan agama islam. Dewan HAM ini juga berseru agar Indonesia mengkaji ulang pasal Penistaan Agama yang ada dalam UU Hukum Pidana.
We are concerned by jail sentence for #Jakarta governor for alleged blasphemy against #Islam. We call on #Indonesia to review blasphemy law
— UN Human Rights Asia (@OHCHRAsia) May 9, 2017
Tak hanya Dewan HAM PBB saja, badan Amnesty International juga menyatakan putusan itu berpotensi merusak reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara toleran. Pihak Amnesty International telah mencatat, sejak tahun 2005 sampai 2014, sudah ada 106 orang yang diadili dan dihukum dengan menggunakan aturan tersebut.
Pihak Deplu Amerika Serikat, bahkan secara tegas menyatakan, “meskipun menghormati institusi demokrasi Indonesia, AS menentang UU Penistaan Agama di mana pun karena membahayakan kebebasan fundamental termasuk kebebasan beragama dan mengemukakan pendapat.”
Pasal Penistaan Agama Memang BermasalahPendapat yang datang dari dunia internasional tersebut, tak salah sama sekali, Pasal Penistaan Agama memang sejak dulu mengandung kontroversi dan polemik karena dapat ditafsirkan dalam berbagai perspektif (multitafsir), subyektif, dan rawan diberlakukan sewenang-wenang.
Peneliti Institue for Criminal Justice (ICJR), Erasmus Abraham Todo Napitupulu sendiri memperhatikan banyak keganjilan mengenai putusan hakim yang menggunakan pasal 156a huruf a KUHP yang menjerat Ahok. “Semua kasus penodaan agama yang menggunakan pasal 156a KUHP itu tidak jelas yang mau dibuktikan apa. Dalam kasus Ahok, niat menodai itu juga tidak jelas, yang mana bagian yang menodai.” jelasnya. Hal ini didukung dengan ketiadaan elaborasi dari hakim mengenai maksud ‘niat menodai agama’ dalam kasus Ahok.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam sidang vonis (foto: CNN)
Tak hanya itu, bahkan direktur Setara Institute, Ismail Hasani menilai pula, penafsiran pasal 156a tersebut bercabang. prakteknya bisa sangat lentur dan mudah disalahgunakan secara semena-mena. Dan sejauh ini, pasal tersebut selalu ditimbulkan kegaduhan yang dimotori oleh para pelapor. “Itu selalu diiringi desakan massa. Artinya, ini tidak pernah berdiri sendiri sebagi sebuah peristiwa bencana, tetapi sebuah desakan massa yang mengikuti.” tutupnya.
Pakar HAM, Heiner Bielefeldt menyatakan dalam sebuah wawancara bersama VOA Indonesia bahwa kebanyakan undang-undang penistaan agama yang ada di seluruh dunia adalah bentuk warisan zaman kolonial, yang dibuat bukan untuk melindungi Tuhan, namun perasaan para pemeluk agama. “Jadi, biasanya undang-undang penistaan agama ini melindungi agama mayoritas, perasaan para pemeluknya, sementara agama minoritas harus mengalami dampaknya.” ujar Bielefeldt.
Selain penafsiran yang bercabang, pasal ini juga berbenturan dengan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang berhasil diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005. Isi dalam pasal 18 UU itu, adalah perlindungan kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama.
Walaupun bersifat ‘karet’ karena memiliki potensi besar digunakan sewenang-wenang, ternyata tidak banyak tersangka yang dapat lolos dari dakwaan pasal penistaan agama ini.
“Saya pikir susah untuk mengelak dengan pasal yang sedemikian karet seperti ini. Susah orang bisa melepaskan diri. 156a saja akan susah melepaskan diri, apalagi juncto UU ITE. Dari rumusan pasalnya ada membuka ruang banyak penafsiran. Pasal ini sekali kena, tak akan bisa lepas.” tutup Supriyadi, Direktur Komite Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Akar Pasal Penistaan AgamaSalah satu pendukung vonis Ahok (foto: CNN)
Parlemen Belanda saat ini sedang ramai berkicau mengenai UU 156 a sebagi hal yang mencoreng komitmen Indonesia terhadap HAM. Namun, tahukah kamu jika UU Pasal Penistaan Agama atau 156a dalam KUHP, lahir melalui proses panjang dan berakar dari era kolonial Belanda? Pada tahun 1886, Belanda membuat KUHP sendiri yang disebut dengan Nederlandsch Wetboek van Straftrech.
KUHP tersebut dibagi menjadi empat buku yang masing-masing diberikan pada kalangan tertentu. Buku tersebut berisi pelanggaran-pelanggaran yang diberikan kepada kalangan Eropa maupun Indonesia. Pada tahun 1918, keempat buku tersebut diganti namanya menjadi Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch India. Sedangkan ketika Jepang menduduki Indoenesia, KUHP tersebut diganti namanya menjadi Guinsei Keijirei. Tentara Jepang saat itu tidak menghapus KUHP Belanda sehingga di wilayah Indonesia sekarang menjadi Indonesia berlaku dua KUHP.
Pada proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, kedua KUHP tidak dihapus dan masih berlaku. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), pasal 156 a diambil dari pasal 124A dan 153A dalam British Indian Penal Code yang berisi larangan mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci, atau merendahkan.
Menurut Indriyanto Seno Adji, seorang pengacara dan guru besar Universitas Krisnadwipayana, pasal ini dibuat Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia untuk memberantas gerakan kebangsaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pasal ini juga tidak diadopsi ke dalam hukum Belanda pula.
Penegasan tentang penistaan agama terjadi di era mantan presiden Soekarno. Ketetapan No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, diterbitkan Soekarno untuk mengakomodir permintaan dari organisasi-organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan. Mereka menganggap aliran kepercayaan bsa menodai agama yang ada d Indonesia. Ketetapan Soekarno inilah yang disarikan menjadi pasal 156a KUHP.
Tak Perlu Melidungi Tuhan, Namun Pemeluknya
Tak semua pemimpin kita setuju dengan keberadaan pasal ini. Tahun 2009 lalu, Gus Dur menuliskan pendapatnya dan sikapnya soal pasal penistaan agama. Beliau pernah mengajukan uji materi terhadap UU Nomor 1 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, bersama Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan Mamam Imanul Haq. Namun, permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi yang pada saat itu dipimpin oleh Mahfud MD.
Barisan pendukung vonis Ahok dan kaki Polisi (foto: CNN)
Gus Dur berpandangan bahwa UU tersebut malah tidak sesuai dengan Pancasila dan cenderung disalahfungsikan sebagai senjata politik. Selain itu, menurut mantan presiden Indonesia tersebut, selain mengganggu kebebasan berpendapat, UU ini juga memakan banyak korban.
Pasal Karet yang Meminta Korban Lain
Dan apa yang dikatakan Gus Dur benar, tak hanya Ahok, pasal penistaan agama di Indonesia tentunya juga banyak menjerat korban yang tak sedikit. Sebut saja HB. Jassin, Arswendo Atmowiloto dan ratusan terdakwa lainnya.
Jika menilik dampak yang diakibatkan atas pasal penistaan agama ini, maka tak segan bila kita mengatakan bahwa pasal Penistaan Agama merupakan pisau melanggar HAM. Dengan demikian, Ahok merupakan korban hukum yang melanggaran HAM, sekaligus yang paling populer.
“Tak penting apa pun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tak akan pernah bertanya apa agamamu.”- Gus Dur
Maka juga tak berlebihan, jika kita berusaha kembali menyuarakan usaha Gus Dur, untuk merombak, jika tidak mau menghapus, pasal penistaan agama yang malah membawa banyak korban tak bersalah. (Berbagai Sumber/A27)