Jika ingin tahu bagaimana rezim pembangunan saat ini berjalan, coba tengok aksi protes warga dan petani yang silih berganti datang. Kali ini, petani Teluk Jambe sampai harus mengubur diri di depan Istana Negara.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]H[/dropcap]ujan rintik tak hanya membasahi jalan, tetapi juga jas hujan biru dongkernya. Tanpa beranjak dari kursi, salah satu penjaga Monumen Nasional tersebut menyatakan tiada aksi para petani Teluk Jambe hari itu. Rabu (3/05) lalu, Presiden Jokowi memang mengundang 10 perwakilan petani-petani Teluk Jambe ke Istana Negara untukberdialog. Acara tersebut dimulai pukul delapan pagi sampai selesai dan berlangsung agak tertutup.
Petugas keamanan lain, yang menikmati makan siang di bawah gerimis menambahkan, sudah dua minggu para petani menggelar aksi kubur diri di Monumen Nasional. Pertemuan Jokowi dengan 10 petani Teluk Jambe, yang juga didampingi Menteri Agraria dan Tata Kota, Syaiful Djalil, serta beberapa jajaran kementrian lain, masih harus menunggu keputusan sampai tiga hari ke depan.
Hingga akhirnya, pada Sabtu (6/05) keputusan pertemuan itu keluar sudah. Melalui wawancara dengan kuasa hukum LBH Bandung, Hardiansyah, Presiden Jokowi akan menjamin 267 petani mendapatkan haknya atas lahan dan tempat tinggal di Karawang. Lebih menakjubkan lagi, ia juga akan menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) pada kepada para petani. Selama proses berjalan, warga petani yang sudah tak memiliki tempat tinggal tersebut, akan tinggal di Rumah Dinas Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana. Biaya sebesar Rp. 900.000 juga akan diberikan kepada mereka.
Janji ini patut diterima dengan suka cita, mengingat pencampakan Jokowi kepada Petani Kendheng sebelumnya (Baca: In Memorian Kartini Bernama Patmi). Perjuangan petani Teluk Jambe selama delapan bulan, akhirnya bisa menemui titik pengharapan. Di titik yang sama, di mana para petani Kendheng menyemen kakinya, mereka juga mengubur diri sebagai bentuk protes kehilangan tanah dan meminta perlindungan sang presiden.
Tak banyak kita tahu, petani Teluk Jambe, Karawang ini, tak hanya mengalami konflik perampasan lahan, tetapi juga penggusuran paksa, kekerasan, dan kriminalisasi sejak bentrokan Oktober 2016. Semua dialami karena perseteruannya dengan PT. Pertiwi Lestari, perusahaan yang diduga menduduki lahan hutan negara secara ilegal.
Salah satu peserta aksi Kubur Diri (foto: Tirto.id)
Pihak negara juga akan membentuk Tim Kajian Lingkungan guna memetakan ulang lahan di kawasan Teluk Jambe. Dengan demikian keputusan warga akan direlokasi atau tetap bertahan di lahan tersebut, kelak ditentukan dari hasil pengkajian ini. Para warga dan petani Teluk Jambe harus melakukan aksi ini sejak tahun lalu, karena lahan berkebun dan bertani yang sudah dipakai selama beberapa generasi, terancam diduduki oleh PT. Pertiwi Lestari.Kaset Usang yang Terus Berputar
Sengketa lahan antara petani Teluk Jambe dan PT. Pertiwi Lestari menambah daftar panjang kasus perebutan lahan antara warga versus korporasi. Dalam kasus petani Teluk Jambe, bibit pertikaian bahkan sudah lahir sejak penghabisan masa penjajahan Belanda. Warga dan Petani Teluk Jambe sudah mengolah daerah tersebut sejak tahun 1960-an dengan bertani dan berkebun.
Peristiwa ini bisa dirunut ke kebijakan pemerintah rezim Orde Baru, di mana pihak pemerintah memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk PT. Tanjung Gresik Makmur (TGM) di wilayah Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanpa mengindahkan keberadaan petani yang sudah lama bercocok tanam di daerah tersebut.
TGM ini nantinya bertukar guling dengan PT. Pertiwi Lestari pada tahun 1998 karena sudah habis masa berlaku HGB dari PT. TGM. Pertukaran ini menuai masalah karena daerah dikeluarkannya HGB, adalah wilayah yang sudah ditinggali, diolah, dan dibayar pajaknya secara rutin oleh para petani Teluk Jambe sejak akhir masa penjajahan Belanda.
Pada tahun 2012, PT. Pertiwi Lestari mulai menanam pagar pembatas di kawasan Teluk Jambe. Warga dan petani muntab. Mereka menyerang pabrik beramai-ramai di siang hari pada 11 Oktober 2016. Dalam aksinya ini, warga bernama Pak Njam dan Mak Ulum dipukuli. Namun, pihak PT. Pertiwi Lestari tak kalah mengaku sebagai korban, beberapa karyawannya terluka dan harus menerima perawatan di rumah sakit.
Dari sini, PT. Pertiwi Lestari melaporkan beberapa warga dan berbuntut pada penangkapan 11 orang laki-laki termasuk anak-anak oleh pihak kepolisian. Tak berhenti di sana, PT. Pertiwi Lestari diduga juga melakukan intimidasi dengan memblokir saluran irigasi sehingga rumah-rumah warga terendam air. Aliran listrik yang senantiasa dibayar dicabutnya pula. Akhirnya, para petani terpaksa mengungsi. Saat mereka mengungsi, pihak kepolisian dari Brimob turut mengamankan lokasi rumah warga.
Proses pengungsian ini, dibantu oleh Pemerintah Kabupaten Karawang. Pihaknya menyediakan logistik, tempat tinggal, dan pendidikan. Namun, hanya berlangsung selama 1,5 bulan saja, selebihnya warga terpaksa terkatung-katung dan memutuskan kembali ke rumah. Betapa kagetnya ketika mereka sampai, harta benda, hingga perabotan dan alat transportasi sudah raib.Tak hanya itu, kebun mahoni, peternakan, dan sayuran sudah dirusaknya pula. Entah oleh siapa. Hal ini menyebabkan satu warga terkena serangan jantung dan meninggal. Hingga hari ini, sudah tiga petani Teluk Jambe meninggal karena trauma dalam perjuangan, mereka adalah Ibu Awen, Bapak Ideng, dan Bapak Idi.
Pertiwi Lestari, menurut keterangan Humasnya, yakni Agus Rijanto, sudah memiliki kekuatan hukum dalam Hak Guna Bangunan (HGB). Perusahaan ini sudah berdiri sejak tahun 1987 dan memiliki kantor pusat di Kawasan Industri KBI Dusun Cinangka, Bungursari, Purwakarta. Mereka khusus menangani pembangunan real estate atau agen pembangunan komplek perumahan.
Kabur dan Kubur Diri di Jakarta
Kekerasan dan intimidasi yang menelan harta benda warga itu, menuntun mereka ke Jakarta. Hanya satu tujuannya, meminta keadilan presiden menyelesaikan konflik sengketa tanah di Teluk Jambe. Mereka melakukan protes dengan mengubur diri sejak akhir April 2017 lalu. Pada peringatan May Day atau Hari Buruh pada Senin (1/05) lalu, 10 anak-anak petani Teluk Jambe yang rata-rata berusia 10 sampai 17 tahun, turut mengubur diri mereka.
Bayu, anak termuda yang ikut aksi mengaku, “Saya ingin cepat pulang ke kampung biar bisa puasa di sana dan main ke sawah lagi sama teman-teman.” Ujar anak kelas tiga SD tersebut. Bayu, dan sembilan anak lain sudah delapan bulan tidak sekolah akibat konflik ini.
Dalam dua minggu terakhir, para anak-anak dan warga ditampung di kawasan Tanah Abang oleh organisasi Muhammadiyah. Selain, Muhammadiyah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Kekerasan (KontraS), Dompet Dhuafa, dan lainnya, turut memberikan bantuan dan pendampingan hukum hingga hari ini.
Para peserta aksi Kubur Diri beristirahat di PP Muhammadiyah (foto: Suara Muhammadiyah)
Petani dan ‘Anak-Anak Nakal Negara’
Perampasan lahan yang dialami para petani beberapa tahun belakangan, tidak bisa disangkal merupakan sebuah konsekuensi dari penerapan kebijakan ekonomi Orde Baru yang termaktub pada UU Penanaman modal asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan, yang menggantikan UU Pokok Agraria tahun 1960. UUPA menyatakan bahwa negara memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan air dan ruang angkasa. Namun, UUPA ini dibekukan pada tahun 1965 karena dinilai ‘berbau’ komunis.
Pada tahun 1970, UUPA digantikan dengan Undang-Undang Penanaman Modal Asing, negara memberikan kuasa kepada pihak swasta dan asing untuk membangun suatu daerah. Hal ini disambut dengan dikeluarkannya Hak Guna Bangunan oleh pemerintah, di kawasan Teluk Jambe, kepada PT. Tanjung Gresik Makmur. Tahun 1998, giliran PT. Pertiwi Lestari yang melanjutkan HGB di lokasi tersebut. Restu tersebut, memiliki efek domino hingga hari ini.
Pembangunan yang getol dilakukan sejak masa Orde Baru hingga kini, pula memunculkan para ‘anak-anak nakal’ negara. Mereka adalah pihak yang menolak termin kemajuan yang didefinisikan oleh kebijakan negara dan pembangunan ‘modern’. Kita mengenal anak-anak nakal ini dengan Yu Sukinah, Yu Patmi, para petani Kendheng, Petani Kulon Progo, hingga para Petani Teluk Jambe.
Salah satu peserta aksi Kubur Diri (foto: Tirto.id)
Mereka berani mendefinisikan kemajuannya sendiri, di luar dari pengetahuan kelas elit. Karena ternyata, efisiensi pasar dan pemadatan modal gila-gilaan yang singkat dalam kebijakan ekonomi, malah semakin meliyankan atau meminggirkan keberadaan mereka. Dan ternyata pula, kebijakan pemerintah yang diturunkan dari masa pemerintahan jendral bersenyum simpatik itu, belum mampu benar-benar membawa kepentingan mereka.
Terlepas dari janji dan perhatian yang diberikan Jokowi, akankah rakyat yang terpinggirkan dan tertindas di daerah lain harus merebut perhatian masyarakat atau media terlebih dahulu dengan menyakiti dirinya sendiri? Atau lebih miris, menunggu hingga jatuh beberapa korban?
Jika demikian yang terjadi, maka tak berlebihan menyebut Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat agraria. (Berbagai Sumber/A27)