FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang melibatkan tersangka penyandang tunadaksa tanpa kedua lengan menarik perhatian luas publik. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menegaskan pentingnya menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi korban dan pelaku, dengan tetap menghormati proses hukum yang sedang terjadi.
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menekankan bahwa masyarakat harus menghormati proses hukum tanpa memberikan stigma atau asumsi yang dapat merugikan para pihak. Menurutnya, kekerasan seksual adalah kejahatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh penyandang disabilitas. Oleh karena itu, pendekatan yang profesional dan adil menjadi sangat penting dalam mengungkap kebenaran.
“Kita harus mendukung korban dalam pengungkapan kebenaran dan memberikan ruang bagi pengalaman mereka untuk menjadi sumber fakta utama dalam perkara ini. Hal ini sangat penting bagi aparat penegak hukum (APH) untuk memahami bagaimana pelaku dengan kondisi disabilitas dapat melakukan tindak pidana, sebagaimana dilaporkan korban,” tegas Sri Nurherwati.
Sri Nurherwati juga mengingatkan bahwa korban memiliki hak untuk menyampaikan pengalaman mereka sebagai sumber fakta utama yang akan membantu APH mengungkap bagaimana dugaan tindak pidana ini dapat terjadi. Selain itu, LPSK menyoroti pentingnya penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS yang bertujuan untuk memulihkan hak-hak korban dan memberikan perlindungan dari risiko viktimisasi.
Sri Nurherwati juga mengingatkan bahwa korban memiliki hak untuk menyampaikan pengalaman mereka sebagai sumber fakta utama yang akan membantu APH mengungkap bagaimana dugaan tindak pidana ini dapat terjadi. Selain itu, LPSK menyoroti pentingnya penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS yang bertujuan untuk memulihkan hak-hak korban dan memberikan perlindungan dari risiko viktimisasi.
Dalam penanganan pelaku yang merupakan penyandang disabilitas, LPSK mendorong penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini mengamanatkan pemberian akomodasi yang layak sesuai dengan ragam disabilitas pelaku.
“Dengan memahami kebiasaan pelaku dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan kebenaran materiil dalam perkara ini dapat diungkap secara utuh,” tambah Sri Nurherwati.
Korban Ajukan Permohonan ke LPSK
Berdasarkan data LPSK, korban berinisial MA telah mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK pada 2 Desember 2024 melalui kuasa hukumnya. Dalam permohonannya, MA meminta bantuan ahli kepada Ketua LPSK dengan alasan dirinya adalah korban dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor bernama I Wayan Agus Suartama alias Agus. MA juga mengajukan restitusi atau ganti rugi kepada pelaku atas kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukannya.
Kasus ini didasarkan pada Laporan Polisi Nomor: LP/B/166.a/X/2024/SPKT/POLDA NTB tanggal 7 Oktober 2024, yang saat ini sedang dalam tahap penyidikan oleh Subdit IV Ditreskrimum Polda NTB. Agus telah ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani tahanan rumah mengingat kondisinya sebagai penyandang disabilitas.
Dalam penyelidikan, Polda NTB telah mengantongi keterangan dari lima saksi kunci, termasuk teman korban dan penjaga homestay. Selain itu, bukti pendukung berupa hasil visum dan analisis dari ahli psikologi turut memperkuat proses hukum. Tersangka Agus diduga memanfaatkan kakinya untuk melakukan tindak kekerasan seksual terhadap korban. Agus menghadapi ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara sesuai Pasal 6 huruf c Undang-Undang TPKS.
Sri Nurherwati menegaskan bahwa keadilan adalah hak fundamental yang harus dinikmati oleh semua pihak, baik korban maupun pelaku. Ia menyerukan peran aktif masyarakat dalam mendukung proses hukum yang inklusif dan adil, tanpa prasangka yang dapat merugikan salah satu pihak. Menurutnya, pendekatan yang berimbang dan objektif adalah kunci untuk mengungkap kebenaran.
“Keadilan adalah hak bagi semua pihak. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mendukung proses hukum yang inklusif dan adil, tanpa prasangka yang merugikan korban maupun pelaku. Pendekatan yang berimbang adalah kunci untuk mengungkap kebenaran,” ungkap Sri Nurherwati.
LPSK berharap agar kasus ini dapat menjadi pembelajaran penting dalam penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Perlindungan terhadap korban dan pemberian akomodasi yang layak bagi pelaku sesuai prinsip keadilan dan hak asasi manusia harus menjadi prioritas dalam setiap langkah penegakan hukum. (fajar)