TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Menteri Koperasi, Ferry Juliantono menanggapi Kementerian Perdagangan yang menyatakan tak ada perdagangan takadil (unfair trade) dalam impor susu dari Australia dan Selandia Baru. Unfair trade ini sebelumnya diduga terjadi akibat pengenaan bea masuk nol persen untuk susu impor dari kedua negara tersebut.Kendati unfair trade dinilai tak terjadi dalam impor susu, Ferry mengatakan, pengenaan bea masuk nol persen tetap merugikan koperasi dan peternak sapi lokal. Karena itu, ia menilai kebijakan itu tetap harus dipertimbangkan dampaknya. “Kalau enggak dipikirin, nasib koperasi dan peternak lokal gimana?” kata Ferry kepada Tempo, Kamis, 5 Desember 2024.Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, jika tetap diberlakukan, pembebasan bea masuk susu impor itu harus disertai dengan insentif kepada koperasi dan peternak sapi perah lokal. Insentif itu bertujuan untuk melindungi mereka agar tak kalah bersaing dengan susu impor dari Australia dan Selandia Baru.Kekhawatiran Ferry bukan tanpa alasan. Ia menuturkan, belakangan banyak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang penjualannya turun karena banjir produk-produk dari luar negeri. Bahkan, kata dia, sebagian di antaranya tutup.Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono tak ada unfair trade dalam impor susu dari Australia dan Selandia Baru. Pasalnya, menurut dia, Indonesia memerlukan susu skim sebagai bahan baku industri dalam negeri.”Unfair trade dari mana? Kami butuh kok. Kecuali kami produksi skim milk juga. Tanya industri, bisa bikin skim milk enggak di Indonesia? Kalau bisa ya enggak mungkin kami kasih tarifnya nol,” kata Djatmiko kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.FTA dengan Australia dan Selandia Baru, menurut Djatmiko, tak hanya berguna mendukung kemampuan produsen dalam negeri untuk ekspor. Perjanjian ini juga berperan mendukung kebutuhan industri dalam negeri. Termasuk dengan menyediakan bahan baku.Djatmiko menjelaskan susu impor dari Australia dan Selandia Baru masuk ke Indonesia dalam bentuk susu skim atau bahan baku—bukan susu segar. Indonesia, menurut dia, belum bisa memproduksi susu skim. Karena itu, susu skim tak bersaing dengan susu segar hasil produksi industri dalam negeri. “Masalah itu memengaruhi (harga susu) itu cerita lain. Tapi kita tidak pernah mengimpor susu segar. Walaupun permintaan susu kita meningkat terus,” kata Djatmiko.Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi sebelumnya mengatakan untuk menutupi kebutuhan itu, pemerintah mengimpor susu dari luar negeri. Importir terbesar di Indonesia saat ini adalah Selandia Baru dengan produksi susu sebesar 21,3 juta ton. Bersama Australia, Selandia Baru memanfaatkan FTA dengan Indonesia.Perjanjian ini menghapuskan bea masuk pada produk susu sehingga membuat harga produk mereka setidaknya 5 persen lebih rendah dibandingkan dengan harga eksportir produk susu global lainnya. Kedekatan geografis Australia dan Selandia Baru dengan Indonesia juga dinai Budi Arie membuat harga produk susu mereka sangat kompetitif.Budi Arie mengatakan impor susu skim mengakibatkan harga susu segar menjadi lebih murah. Susu segar saat ini dipatok seharga Rp 7.000. Idealnya, harga susu segar bisa mencapai Rp 9.000. “Para peternak sapi perah mengalami kerugian,” kata Budi Arie di Kantor Kemenkop, Jakarta, Senin, 11 November 2024.Catatan redaksi: Sebelumnya tulisan ini berjudul Wamenkop Jawab Tudingan Soal Adanya Unfair Trade di Impor Susu: Tetap Berdampak ke Peternak Lokal. Lalu mengalami perubahan menjadi Wamenkop Jawab Klaim Tak Ada Unfair Trade di Impor Susu: Tetap Berdampak ke Peternak Lokal pada Jumat, 6 Desember 2024 pukul 17.50 WIB.