TEMPO.CO, Jakarta – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menanggapi maraknya peristiwa pembunuhan di luar proses hukum atau extrajudicial killings yang dilakukan oleh aparat dari institusi kepolisian. Peneliti dari ICJR, Maidina Rahmawati, menyatakan aturan proses penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana belum ideal. Dia menilai sistem peradilan pidana Indonesia belum mampu memberikan tekanan atau ekspektasi guna menjamin keabsahan tindakan yang diambil oleh kepolisian dalam proses penangkapan pelaku kejahatan. “Kita punya sistem peradilan pidana yang sebenarnya tidak bisa menguji secara efektif tindakan-tindakan dari aparat penegak hukum, termasuk di dalamnya adalah kepolisian,” ucap Maidina dalam konferensi pers bertajuk ‘Darurat Reformasi Polisi’ yang digelar secara daring pada Ahad, 8 Desember 2024. Hal ini, kata Maidina, karena Indonesia tidak mengenal konsep pengawasan pengadilan atau judicial scrutiny dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Istilah tersebut merujuk pada konsep bahwa setiap keputusan yang berkaitan dengan tindakan penegakan hukum harus merupakan subjek ataupun objek dari pengawasan pengadilan.“Setiap penindakan dalam konteks penegakan hukum itu harus dapat izin dari perintah pengadilan, yaitu otoritas yang independen di luar dari kepentingan untuk menegakkan hukum,” tutur Maidina. Dia menjelaskan, izin penangkapan pun seharusnya datang bukan dari institusi kepolisian, melainkan dari pengadilan. Maidina menyebutkan bahwa di negara lain, izin penangkapan tidak dikeluarkan oleh aparat yang melakukan penangkapan. “Tapi harus sudah dari otoritas lain yang independen,” kata dia. “Di KUHAP, kita tidak mengenal fungsi tersebut.”Judicial scrutiny ini, menurut Maidina, juga dapat dilakukan melalui fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim pemeriksa setelah penangkapan dilakukan. “Ketika orang ditangkap, 48 jam setelah ditangkap, itu wajib dihadapkan kepada otoritas yang bukan otoritas kepolisian,” kata Maidina. Tersangka dihadapkan kepada otoritas pengadilan yang sifatnya lebih independen untuk menguji apakah penangkapan tersebut telah dilakukan secara sah. Selain itu, pengadilan melalui hakim pemeriksa akan menguji apakah ada kekerasan dalam proses penangkapan itu. “Apakah orang yang ditangkap secara fisik masih sehat, masih aman dan tidak dilakukan kekerasan kepada dia,” ujar peneliti ICJR itu. Penyidik pun perlu menjelaskan urgensi penangkapan tersebut. Pada saat ini, proses penangkapan dan penahanan di Indonesia hanya dinilai oleh penyidik dari kepolisian. “Misalnya dia sudah menangkap, langsung tahan saja,” kata Maidina. Padahal, kepolisian seharusnya bisa menjabarkan kepada otoritas yang independen bahwa penangkapan itu memang diperlukan. Selain itu, aparat penegak hukum juga perlu menjelaskan rencana pasca-penangkapan. “Apa yang mau didapat dari orang tersebut dan rencana pemeriksaannya seperti apa sehingga harus dilakukan penahanan.”Dengan judicial scrutiny, Maidina berujar, ada tekanan bagi aparat penegak hukum untuk menjamin bahwa proses penangkapan maupun penahanan yang dilakukan sudah sah secara hukum. Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) telah merilis catatan soal tindakan pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing yang dilakukan oleh polisi dalam rentang waktu Desember 2023 hingga November 2024. KontraS menyebut, dari total 45 kasus pembunuhan di luar hukum, 34 di antaranya dilakukan oleh polisi. “Dilihat dari aktornya, angka tertinggi pelanggaran extrajudicial killing dilakukan oleh institusi kepolisian sebanyak 34 peristiwa,” tutur Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, dalam acara peluncuran Catatan Hari HAM KontraS 2024 yang digelar di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat, 6 Desember 2024. Adapun institusi TNI juga disebut terlibat dalam pembunuhan di luar hukum dalam setahun terakhir, yakni sebanyak 11 peristiwa. Selama setahun terakhir, 47 orang tewas dalam peristiwa extrajudicial killing. Rinciannya, 29 orang tewas akibat penggunaan senjata api, dan 18 orang tewas akibat tindak penyiksaan. Berdasarkan latar belakang korban, Andi menjelaskan, sebanyak 27 korban merupakan tersangka tindak pidana atau kriminal. Menurut KontraS, pembunuhan terhadap tersangka tindak pidana sebelum sempat menjalani persidangan meniadakan hak mereka untuk menghadapi proses peradilan yang adil atau due process of law. Selain itu, mereka juga kehilangan hak untuk melakukan pembelaan.Adapun 20 korban lainnya bukan merupakan tersangka tindak kriminal. “Peristiwa non-kriminal yang sebetulnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan peristiwa kejahatan,” tutur dia. Menurut Andi, aparat cenderung menjustifikasi atau mencari pembenaran terhadap tindakan penghilangan nyawa.Pilihan Editor: Korban Penyiraman Air Keras, Agus Salim, Bakal Cabut Laporan terhadap Pratiwi Noviyanthi