Suka Duka Paskah Dunia 2017

Suka Duka Paskah Dunia 2017

18 April 2017, 20:15

“World Peace must Develop from inner peace. Peace is not just mere absence of violence. Peace is, I think, the manifestation of human compassion”. – Dalai Lama XIV

PinterPolitik.com
Paskah, Telur dan Perayaan Kebangkitan
[dropcap size=big]P[/dropcap]askah, sebuah perayaan dunia yang dirayakan oleh gereja-gereja di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Meskipun demikian, paskah, seperti layaknya natal, dahulu dirayakan sebagai bagian dari kebudayaan paganisme, yaitu sebagai perayaan persembahan  setiap musim gugur kepada Dewi Ostera atau Eostre, Dewi Kesuburan menurut Kebudayaan Anglo-Saxon. Selain Ostera, penyebutan dewi ini juga cukup bervariasi. Ada yang menyebutnya Isthar di Babylonia, Astarte di Phoenicia, Eostre di Yunani, dan Ostara di Jerman.
Salah satu kekhususan dari Paskah yang dirayakan di seluruh dunia adalah kebiasaan menghias telur paskah atau Easter Egg. Mungkin sebagian dari kita mengira bahwa telur paskah adalah kebiasaan yang disebarkan dari barat, terutama Amerika Serikat atau Inggris. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Menghias telur pada dasarnya adalah kebudayaan yang diambil dari Babilonia, terutama kebudayaan kuno Babilonia, yang sudah dikenal tumbuh subur bahkan sejak 2000 tahun sebelum kelahiran Yesus Kristus. Sama seperti perayaan paskah pada masa modern, perayaan paskah pada masa Babilonia ini juga diisi dengan kegiatan menghias telur dengan berbagai warna untuk disembunyikan dan dimasukkan ke dalam keranjang. Perayaan ini adalah perayaan sukacita setelah 40 hari berpuasa, dengan tujuan untuk menghormati dewa mereka Tammuz, yang dibawa kembali oleh ibunya atau istrinya Ishtar dari dunia kematian.
Setelah berkembangnya agama Kristen awal, Paskah membawa makna penting, yaitu kelahiran kembali atau kebangkitan. Hal ini berkaitan erat dengan konsep Paskah Modern, yaitu bahwa Yesus telah bangkit dari kematian, yaitu pada hari minggu, tiga hari setelah penyaliban-Nya pada hari Jumat Agung. Sebagai catatan, perayaan Paskah modern adalah bagian akhir dari Pekan Suci di dalam agama Katolik, yang dimulai dari Perayaan Kamis Putih atau Holy Thursday, dilanjutkan pada Jumat Agung atau Good Friday, dan akhirnya menuju Sabtu Suci, dengan tujuan untuk mempersiapkan diri menyambut kebangkitan Yesus.
Pada paskah setiap tahun, baik Kristen maupun Katolik, terdapat tema-tema penting yang biasanya disebarkan oleh kalangan gereja untuk umatnya. Misalnya, Vatikan pada Paskah tahun 2017 ini mengumumkan tema perdamaian dunia, selaras dengan tema yang ditampilkan di gereja-gereja Eropa, serta mengamalkan Pancasila untuk keadilan oleh gereja-gereja Indonesia, misalnya oleh KAJ atau Keuskupan Agung Jakarta.
Jangan Takut Berkarya! Disadari maupun tidak, sejak pertengahan tahun 2016 sampai dengan sekarang, dunia sedang berada di masalah yang berkaitan erat dengan hilangnya perdamaian dunia, yaitu berbagai pelanggaran terkait tragedi kemanusiaan, misalnya Pemboman di London tahun 2017, Jerman dan Belgia tahun 2016, Paris tahun 2015, dan di Suriah tahun 2017. Selanjutnya, terdapat penolakan masuknya Pengungsi Imigran Suriah di ke negara-negara Eropa, serta Pemboman Gereja Koptik di Mesir oleh ISIS. Oleh karena itu, semua umat Kristen dan Katolik tidak terkecuali diwajibkan untuk berpartisipasi di dalam memberikan kepedulian kepada sesama dan membebaskan diri dari ketakutan untuk berkarya.
Vatikan Pro Pengungsi Suriah
Kepedulian Paus Fransiskus terhadap pengungsi Suriah sudah dilakukan sejak tahun 2016 dan menacapai puncaknya pada tahun 2017 awal, tepatnya pada tanggal 21 Februari 2017. Beliau menyatakan pentingnya segera dilakukan usaha perlindungan kepada para pengungsi Suriah. Menurut Beliau, tindakan ini dapat disebut sebagai Moral Imperative atau Kewajiban Moral yang seharusnya dilakukan kepada para pekerja migran, termasuk diantaranya adalah orang-orang yang berada yang di dalam situasi khusus, misalnya yang mencari suaka atau korban dari perdagangan manusia.  Lebih lanjut, Paus Fransiskus menyatakan bahwa sudah menjadi tugas dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa untuk menerima para pengungsi Suriah demi membela hak-hak asasi manusia, memastikan kebebasan fundamental mereka, dan untuk menghormati martabat mereka.
Selanjutnya, mengenai Pengungsi Suriah, pada akhir pidatonya, Paus Fransiskus menyatakan  bahwa sudah menjadi tugas gereja sebagai untuk melindungi para pengungsi yang terpaksa harus meninggalkan negaranya atas dasar keadilan, kesopanan, dan solidaritas. Menjelaskan lebih jauh, keadilan dikaitkan dengan fakta bahwa ketimpangan ekonomi tidak dapat lagi diterima. Hal ini penting dilakukan mengingat bahwa dominasi kekuasaan kelompok atau orang tertentu sudah tidak dapat ditoleransi.  Intinya, Pengungsi Suriah juga mempunyai hak untuk hidup dan melakukan kegiatan ekonomi mereka. Selanjutnya atas dasar kesopanan, Paus Fransiskus menyatakan bahwa sudah merupakan warisan umum dari kemanusiaan dan kebijaksanaan untuk menerima para pengungsi dan migran.
Konsep kesopanan ini sesuai dengan ketentuan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan perjanjian internasional lainnya. Ketentuan mengenai hak migran dan pengungsi sebagai pencari suaka terdapat di dalam Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut:
 Deklarasi tahun 1967 dari PBB menyatakan bahwa pengungsian dan meminta suaka sebagai harus dilihat sebagai tindakan damai yang misinya bersifat kemanusiaan. Oleh karena itu, hal ini tidak boleh ditanggapi dengan kekerasan oleh negara-negara lainnya karena sesuai dengan deklarasi hak asasi manusia artikel 13 dan 14 bahwa setiap orang berhak  untuk meninggalkan dan kembali ke negaranya, termasuk diantaranya hak untuk mencari suaka.
Terakhir, konsep solidaritas tumbuh sebagai jawaban atas konflik, penganiayaan, dan kekerasan yang dihadapi oleh Pengungsi Suriah. Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa usaha untuk menimbulkan solidaritas dapat dimunculkan dengan menerima dengan tangan terbuka kehadiran mereka atau istilahnya hospitality atau keramahan.  Konsep ini dihubungkan dengan kitab Matius 25 : 35, yaitu bahwa “Ketika Aku lapar, kamu memberi aku makan.” Dengan cara ini, Paus Fransiskus hendak membuka mata setiap orang bahwa dengan membuka solidaritas ini, maka umat diharapkan akan membuang konsumerisme dan memberikan perhatian sepenuhnya pada mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir.
Masih berhubungan dengan pemikiran diatas, Paus Fransiskus menekankan bahwa perlindungan para yang miskin dan lemah harus diprioritaskan pada anak-anak dan kaum muda yang harus hidup jauh dari tempat tinggal mereka atau tanah kelahiran mereka, serta orang-orang yang mereka sayangi. Kepergian dari tanah kelahiran ini menurut Paus Fransiskus dapat dilakukan atas paksaan, kekerasan, konflik, bencana alam, kemiskinan, dan kondisi hidup yang tidak manusiawi. Di dalam kasus Suriah, Beliau mengajak para komunitas politik, kelompok masyarakat, dan gereja untuk bekerjasama membantu melalui empat tahap, yaitu untuk menyambut, melindungi, mempromosikan, dan berintegrasi.Buka Hatimu, Berikan Cintamu!
Pidato Paus Fransiskus tadi seakan tidak berhenti sampai di situ saja. Seakan-akan melanjutkan permintaannya kepada dunia untuk menerima pengungsi Suriah, pada pidato paskahnya hari Sabtu, 15 Agustus 2017, atau yang biasa disebut Urbi et Ori, Beliau semakin mengingatkan lagi masyarakat dunia tentang makna membuka hati untuk para pengungsi Suriah dan beberapa isu lainnya dengan  menyatakan bahwa: Kabar baik adalah bukan hanya berupa kata-kata, tetapi lebih merupakan testimoni pada cinta yang suci dan tidak bersyarat. Hal ini juga berarti meninggalkan diri sendiri yang lama, yang tidak peduli pada orang lain. Sebaliknya, kita diharapkan untuk lebih dekat pada mereka yang tengah dirundung masalah, membuka hati untuk mereka yang membutuhkan, memihak mereka yang sakit, tua, dan terpinggirkan. Ajakannya selanjutnya menyatakan: “Come and see!”.  Ia menyatakan bahwa dengan memberikan cinta pada mereka yang membutuhkan,  maka  cinta akan  tumbuh dengan kuat, dan  akhirnya memberikan harapan ketika situasi tidak pasti.
Khusus untuk Suriah, seperti layaknya Indonesia yang juga tidak menginginkan perang terus menerus berkecambuk, Paus Fransiskus juga menginginkan Suriah yang damai, lepas dari konflik berkepanjangan. Beliau melihat bahwa negosiasi untuk perdamaian adalah solusi konflik yang terbaik, sebagai ganti dari penggunaan kekuatan mematikan yang telah memakan korban dari rakyat sipil sendiri. Inilah bukti dari kepedulian Paus Fransiskus kepada dunia, terutama kepada Suriah yang terus berkecambuk. Inilah bukti cinta Beliau pada Suriah, sebagaimana ditunjukkan oleh video dibawah, yaitu dengan menjadi mencium kaki setelah pembasuhan kaki pada Misa Kamis Putih di Refugee Center yang terletak di luar kota Roma.
Video Paus Fransiskus Mencium Kaki Pengungsi Suriah dan agama-agama lainnya pada hari Kamis Putih 2016
Menunjukkan Kebersamaan, Persaudaraan, dan Solidaritas dalam perbedaan

Gereja Berpolitik?
Disadari maupun tidak, Paskah di Indonesia tahun 2017 diwarnai dengan panasnya pertikaian Pilkada di Jakarta, salah satu Pilkada yang menarik perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Diawali pada tahun 2016 ketika konflik atas nama SARA merajalela, keberagaman Indonesia, yang terdiri dari banyak suku dan serta agama pun semakin terusik. Hal ini menimbulkan adanya kepentingan golongan dan penggunaan rumah-rumah ibadat, terutama di berbagai masjid dan gereja-gereja sebagai sarana kampanye salah satu pasangan calon. Sebagai contoh, seorang pendeta di salah satu gereka kristen di Jakarta secara terang-terangan menyatakakan dukungan mereka pada Pasangan Calon no 2, Ahok-Djarot. Meskipun tidak terlalu terlihat terang-terangan, namun melalui doa untuk Ahok, sangat jelas bahwa ia sedang memberikan dukungannya untuk Ahok. Selaras dengan kenyataan ini, ternyata juga ada satu gereja katolik yang seharusnya netral, ternyata juga berpihak pada satu pasangan calon.
Kenyataan diatas membuat agama seakan-akan menjadi permainan politik untuk mendapatkan suara mayoritas. Selain itu, adanya hasutan dan bujukan untuk memilih calon gubernur yang seagama dan menolak calon yang berbeda agama pun semakin bermunculan menjelang Pemilihan Gubernur Putaran 2 yang akan diadakan hari rabu, 19 April 2017 ini.  Kenyataan ini membuat pilkada sebagai ajang demokrasi semakin memudar.
Kenyataan diatas juga membuat kenetralitasan gereja-gereja di Jakarta diuji.  Padahal, sejak jauh hari sebelum Pilkada Putaran 2 dimulai, tepatnya pada Bulan Februari, Uskup Ignatius Suharyo sudah meminta kepada umat Katolik untuk tidak melakukan kampanye atas nama satu pasangan calon dan tetap membuat gereja netral dari politik. Intinya, gereja dilarang untuk berpolitik dan harus tetap menyampaikan kebenaran yang universal. Berikut di bawah ini adalah cuplikan videonya.
Ajakan Untuk Pilkada yang bermartabat dari Keuskupan Agung Jakarta Februari 2017

Pudarnya Nilai Pancasila 
Berkaitan dengan masa paskah, Uskup Ignatius Suharyo di dalam surat gembala prapaskah tahun 2017 menyatakan bahwa mengamalkan Pancasila sebagai Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta atau ARDAS 2016-2020. Pancasila, menurut Uskup Ignatius Suharyo adalah dasar dari negara Indonesia sendiri. Konsep ini menurut Beliau adalah Pancasila sebagai ungkapan kesadaran dan cita-cita moral bangsa. Dari lain pihak, Beliau merasa prihatin karena cita-cita moral yang mulia dan luhur itu rasanya semakin luntur. Lebih lanjut, Beliau mengatakan bahwa ‘tanda-tanda zaman’ sudah membuktikannya, mulai dari fundamentalisme agama, intoleransi semakin nyata, kemanusiaan diciderai oleh maraknya kekerasan dan perdagangan manusia, lemahnya persatuan akibat isu SARA, kebaikan bersama yang tersingkir akibat kepentingan golongan, sehingga menimbulkan keserakahan yang menghambat terwujudnya keadilan sosial.
Beliau meyatakan bahwa konsep “Amalkan Pancasila” tahun 2017 berkaitan erat dengan Pancasila sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan tema yang dimunculkan yaitu “Amalkan Pancasila, Makin Adil Makin Berabad”. Intinya, Beliau meminta umat untuk saling menolong di lingkungan, terutama di lingkungan keluarga, gereja, dan masyarakat serta media sosial. Tujuannya agar Indonesia melalui media sosial dan lingkungannya semakin adil dan beradab serta lebih toleran. Lebih lanjut dari penjelasan Uskup ini dapat dilihat pada video di bawah ini.
KAJ  –  Surat Gembala Prapaskah 2017

Eropa Tolak Imigran Muslim
Hanya dua keinginan warga negara Eropa saat paskah 2017 ini, yaitu Eropa yang baru dan penuh harapan, serta kebebasan dari Eropa yang menyeramkan di mata dunia. Hal ini berkaitan dengan semakin gencarnya penolakan terhadap imigran Muslim di tanah Eropa oleh kelompok kiri yang anti Pemerintah.
Secara mudahnya, saat ini di Eropa terdapat dua kubu, yaitu yang menerima kehadiran imigran Suriah dan mereka yang menolak. Secara geografis, Jerman dan menerima dengan tangan terbuka kehadiran para pengungsi.  Akan tetapi, tidak halnya dengan  negara-negara di Eropa Timur, misalnya Hungaria, yang secara terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya pada keputusan Angela Merkel untuk menerima mereka.
Penolakan ini pertama-tama dilatarbelakangi oleh alasan agama, yaitu untuk tidak menghilangkan ciri khas Eropa dengan kekristennya.  Hal ini disampaikan oleh Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban, yang menyatakan bahwa Eropa pada saat ini tengah melakukan ‘perang pengaruh’, yaitu yang berkaitan dengan ditutup atau tidaknya pintu perbatasan antar negara Eropa untuk para imigran dari Suriah. Tujuan dari penutupan pintu ini menurut Orban adalah untuk memurnikan Eropa, yaitu Eropa yang bebas dari pergantian populasi, terutama menyangkut ketakutan warga Eropa apabila mayoritas warganya digantikan oleh Pengungsi Suriah. Namun, pernyataan ini juga mengandung di dalamnya ketakutan Eropa yang mayoritas beragama Kristen atas kedatangan islam dari Timur Tengah di Eropa.
Selaras dengan Orban, menurut Dennis Prager, dengan menerima kedatangan imigran Suriah ke tanah Eropa, maka dapat dipastikan keadaan Eropa yang kacau balau. Hal ini berkaitan dengan sulitnya para imigran untuk beradaptasi dengan lingkungan Eropa dan sebaliknya warga Eropa dengan para imigran. Berkaitan dengan ketidakmampuan ini, Prager menyatakan bahwa para teroris yang ikut andil dalam gerakan terorisme, termasuk diantaranya teror 11 September 2001 didalangi oleh anak-anak imigran yang lahir dan dibesarkan di tanah Eropa, namun biasanya radikal dan anti barat. Sebut saja para pelaku serangan 11 September 2001, yaitu Muhammad Atta, pemimpin serangan ini, serta Ramzi bin al-Shibh, Ziad Jarrah, Said Bahaji, dan Marwan al-Shehhi, yang telah tinggal di Jerman selama lima sampai delapan tahun. Bahkan Bahaji dapat dikatakan bukan imigran karena ia lahir di Jerman.
Dampak dari serangan 11 September 2001 inilah yang menjadi pendorong kebencian dunia barat pada islam. Sejak saat itu, melawan terorisme sudah menjadi agenda pemimpin dunia, termasuk di Eropa dan Amerika Serikat. Berbicara mengenai aksi terorisme sendiri, sudah pasti sudah banyak korban berjatuhan. Sama halnya ketika ISIS menyerang Eropa dengan aksi terornya dan mayoritas pelakunya adalah oleh orang muslim yang menjadi pengikut ISIS. Kebetulan maupun tidak, apakah memang mereka pelakunya ataukah mereka hanya korban dari rencana dunia barat? Cobalah menganalisis kebenarannya dengan memerhatikan kronologis korban teror ISIS tahun 2016-2017 dibawah ini.
Peristiwa  Pemboman di Depan Westminster Abbey, London, Inggris tanggal 22 Maret 2017, empat orang tewas, pelakunya Khalid Masood, orang Suriah,  ditembak mati (Sumber: Google)
Peristiwa Louvre Knife Attack, 3 Februari 2016, tidak ada korban jiwa. Pelaku berteriak  ‘Allahu Akbar’ dan mengarahkan pisau pada para tentara yang melarangnya memasuki Louvre (Sumber: Google)
Normandy Church Attack, 26 Juli 2016, empat orang disandera, seorang pastor bernama Jacques Hamel dibunuh, Pelakunya dua orang Timur Tengah (Sumber: NBC News)
Nice Terror Attack saat Bastille day, tanggal 14 Juli 2016, 84 orang terbunuh, pelakunya Mohamed Lahouaiej Bouhlel, berusia 41 tahun, seorang Tunisia kelahiran Perancis, ditembak mati (Sumber: NBC News)
Brussels Bombing, 22 Maret 2016, 32 orang terluka dan 300 orang terluka pada pemboman di Bandara Brussels (Sumber: NBC News)