Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]D[/dropcap]emikian dikatakan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke 19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).
Foto: Google
Sementara itu kekuasaan dalam hal ini kekuasaan bersistem kapitalis adalah daerah yang paling rawan atau dekat dengan korupsi. Seperti dikatakan presiden ketiga Amerika Serikat Thomas Jefferson, “Negara kita begitu mantap menunjukkan bagaimana jalan yang tepat untuk lolos dari kehancuran, yaitu pertama dengan konsolidasi kekuasaan, dan kemudian korupsi, itulah konsekuensi pentingnya”.
Secara umum definisi dari Kapitalisme atau Kapital adalah sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar. Pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tetapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa.
Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Saat ini, kapitalisme dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka.
Namun dalam perkembangannya sistem kapitalisme juga diyakini telah menjelma menjadi ideologi bergenre baru neoliberalisme dan berhasil menyerap hampir seluruh kekuatan dunia ke dalam suatu aransemen tunggal: ekonomi pasar global.
Robison & Hadiz mengatakan dalam bukunya Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, Routledge 2004. Seperti kapitalisme bagi bangsa-bangsa di dunia, korupsi di Indonesia kian menggurita dan merambah seluruh lini kehidupan. Korupsi juga identik dengan kekuasaan dimana selalu melibatkan elite-elite politik, pemangku kekuasaan dan bersifat alamiah, karena mereka sejatinya merupakan agen kepentingan kaum kapitalis global-nasional-lokal.Perilaku elite-elite politik korup menyerupai predator yang siap melumat mangsa yang lemah demi kelangsungan hidup mereka sendiri, dan sama sekali mengabaikan kepentingan umum.
Mereka tak menghiraukan tuntutan publik untuk dapat mewujudkan kesejahteraan sosial dan kemakmuran ekonomi bagi masyarakat. Mereka terlibat korupsi karena menjadi bagian dari pertarungan di antara elite-elite oligarkis yang membajak lembaga-lembaga politik demokrasi untuk kepentingan melanggengkan sistem ekonomi kapitalis.
Mereka mengusung isu demokrasi sebagai dagangan politik untuk menjadi jembatan bagi para komprador ekonomi kapitalis global-nasional-lokal agar mereka dapat mengoperasikan kegiatan bisnis, dan perburuan rente.
Dari pernyataan-pernyataan di atas kiranya sangat relevan dengan apa yang terjadi saat ini di Indonesia. Berbicara sedikit mengenai korupsi di Indonesia, belum lama ini publik kembali disuguhkan pada keberhasilan tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada sejumlah pejabat negara.
Tersangka korupsi, Abipraja Sudi Wantoko, mantan Direktur Keuangan PT Brantas. (Foto: www.gresnews.com)
KPK sudah berhasil meringkus sejumlah direksi BUMN yang diduga kuat melakukan perbuatan menyimpang. Mulai dari Dirut PT PAL MFA, Direktur Keuangan PAL SA, mantan Dirut Garuda Indonesia ESA, mantan Ditur Pelindo II RJL, mantan Direktur Keuangan PT Brantas Abipraja Sudi Wantoko, dan sejumlah petinggi eselon II lainnya di BUMN. Bahkan mantan Menterinya-pun sudah merasakan dinginnya tembok bui KPK.
Serasa tak pernah ada habisnya korupsi yang terjadi dilingkup perusahaan negara ini, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serius mencegah korupsi. Hal ini menyusul masih terjadinya praktik suap menyuap di lingkungan BUMN.
“Kami meminta perhatian yang serius dari Kementerian BUMN,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, pada (3/4/2017).
Mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu mengatakan, Kementerian BUMN harus serius melakukan pencegahan, terutama di perusahaan pelat merah yang melakukan transaksi lintas negara.Menanggapi hal itu Menteri Rini mengaku akan melakukan sejumlah upaya untuk mencegah korupsi di lingkungan BUMN. Terkait kasus dugaan suap yang menjerat Direktur Utama PT PAL, ia juga sudah menonaktifkan sang Dirut dan sudah menggantinya dengan yang baru.
Selain itu pihaknya juga meminta kepada BUMN untuk melakukan pengoptimalan audit oleh Dewan Komisioner di semua BUMN.
“Kami jaga auditing dekom (dewan komisaris), jadi kami tekankan ke dekom bahwa komisaris harus mengoptimalkan tim audit mereka,” kata Rini, di istana negara, Jakarta, (3/4/2017).
Kapitalisme di Tiongkok dan Singapura
Bangkitnya sistem kapitalis di Tiongkok ditandai dengan wafatnya sang pemimpin komunis terbesar di Asia, Mao Zedong.
Di bawah penggantinya, Presiden Xi Jinping, pemerintah Tiongkok akhirnya mendeklarasikan bahwa sistem ekonomi yang dianut negaranya berasas 70-30. 70 untuk urusan ekonomi dengan sistem kapitalis dan 30 untuk urusan negara masih bersistem komunis.
Paduan dua asas berbeda itu ternyata membawa perubahan signifikan dalam kemajuan negara tirai bambu ini. Negara Tiongkok bahkan kini menjadi musuh terbesar Amerika dibidang ekonomi. Negara ini juga memberi utang 1 triliun US Dollar kepada Amerika Serikat.
Tak jauh berbeda dengan keberhasilan Tiongkok dalam menata perekonomiannya dengan sistem kapitalis komunis, negara berikutnya adalah Singapura. Siapa yang tak mengenal Lee Kuan Yew, bapak pendiri sekaligus ikon salah satu negara terkaya di Asia ini.
Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura, selama tiga dekade. (Foto: mothership.sg)
Kesuksesan Lee memimpin Singapura akibat lihainya ia dalam mengawinkan sistem kapitalisme dan pemerintahan otoriter melebihi siapapun pada abad 20 dan awal abad 21 ini.
Keberhasilan Lee dimulai saat Tiongkok dilanda revolusi kebudayaan, dimana ia menemukan celah: Singapura bisa menggantikan Hongkong dalam produksi alat-alat elektronik. Ia juga menarik banyak modal asing, dan mulai mengetatkan hukum dan peraturan. Lee menjaga dengan baik stabilitas sosial dan politik, agar para investor bisa nyaman dan tenang berinvestasi.
Tercatat dari rentang 1966 ke 2013, produk domestik bruto (PDB) riil per kapita Singapura tumbuh lima belas kali lipat, tiga kali lebih cepat dari Amerika Serikat, dan terbesar ketujuh di dunia.
Lee juga berhasil membangun sejumlah perusahaan negara dan menjadikannya setara dengan perusahaan swasta global. Ia juga memajukan perusahaan holding negara, Temasek, yang mengendalikan modal sejumlah bank sampai dengan perusahaan semi konduktor. Temasek kini mengendalikan modal lebih 200 miliar dollar AS.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sistem perekonomian yang dipakai Indonesia adalah sistem demokrasi ekonomi kerakyatan yaitu sistem perekonomian nasional yang merupakan perwujudan dari Pancasila dan UUD 1945 yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan dari, oleh dan untuk rakyat dibawah pimpinan dan pengawasan pemerintah.
Bapak Proklamator RI Bung Hatta pernah mengatakan bahwa bentuk perekonomian yang paling cocok bagi bangsa Indonesia adalah ‘usaha bersama’ berdasarkan azas kekeluargaan Koperasi.
Baginya, jawaban ketimpangan ekonomi adalah gotong-royong. Setiap orang bisa bekerja secara wajar serta mampu memenuhi kebutuhannya. Berbeda dengan sistem kapitalisme, ekonomi gotong-royong adalah sistem yang tidak menumpuk kekayaan kepada perseorangan. Tetapi, yang lebih penting, pembagian kekayaan secara merata.
Namun sangat disayangkan, tujuan mulia yang telah dirintis para pendiri bangsa itu kini mulai pudar dan harus terus digemakan kembali. Selain itu korupsi juga semakin parah dan telah menggurita disemua sendi kehidupan. Melihat hal ini menjadi keprihatinan para tokoh akademisi untuk menggaungkan kembali konsep awal sistem ekonomi kita.
Para tokoh kalangan akademisi tersebut akhirnya bersepakat untuk membentuk satu sistem baru perekonomian Indonesia. Indonesia Raya Incorporated (IRI) yang bertujuan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia melalui penguasaan semua sumber ekonomi seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 45 diyakini dapat menjadikan ekonomi kerakyatan tuan rumah di negeri sendiri.
Keyakinan tersebut dikemukakan Prof Dr H Werry Darta Taifur MA dari Universitas Andalas Padang bersama 13 tokoh Akademisi dari seluruh universitas di Indonesia.
Prof Werry bersama Prof Mudrajad Kuncoro PhD (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dan Dr Syamsudin (Universitas Muhammadiyah Surakarta) merupakan tiga dari empat belas akademisi yang ikut mematangkan konsep IRI. Konsep IRI sendiri saat ini sudah berada di tangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan akan segera dibawa ke Presiden.
“Konsep IRI sejalan dengan sistem ekonomi kerakyatan yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi dengan prinsip cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara melalui koperasi,” katanya.
IRI merupakan pengejawantahan Pasal 33 UUD 1945 dengan meletakkan wawasan nusantara sebagai dasar pijakannya. Konsep IRI merupakan sistem ekonomi yang “mengawinkan” antara BUMN (Pusat) dan BUMD (Daerah baik Provinsi dan Kabupaten ) di sebuah sumber ekonomi dengan melibatkan penyertaan modal dari BUMD (Pemda baik Provinsi ataupun Kabupaten / Kota) seluruh Indonesia.
Lebih lanjut mantan Rektor Universitas Andalas tersebut mengemukakan bahwa sistem perekonomian Indonesia saat ini masih jauh dari esensi ekonomi kerakyatan yang berdasarkan roh Pasal 33 UUD 1945.
BUMN sudah memakai standar-standar dan ukuran-ukuran yang berlaku pada perusahaan swasta, bahkan terjadi privatisasi BUMN. “Rakyat berdaulat masih merupakan cerita, faktanya sekarang yang berdaulat itu adalah penguasa dan pengusaha,” tandas Werry.
Terkait hal tersebut, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan tahun ini akan ada sembilan anak usaha BUMN yang bakal listing di pasar modal. Hal ini dilakukan untuk mencari pendanaan di pasar modal untuk jangka panjang.
Aloysius Klik Ro, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha. (Foto: Google.)
Aloysius Klik Ro, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha, Kementerian BUMN pernah mengatakan, IPO anak usaha BUMN menjadi pilihan yang tepat ketimbang IPO induk usaha yang dinilai mengalami kesulitan karena persepsi negatif publik bila IPO BUMN selalui dikaitkan dengan privatisasi. Privatisasi sendiri dianggap barang haram karena menjual aset negara, padahal sejatinya aset tetapi dimiliki negara dan hanya konsesi pengelolaan saja yang dibagi dengan pihak swasta.
Sebelumnya rencana holding juga akan dilakukan Kementerian BUMN dalam waktu dekat ini. Namun rencana tersebut masih terkendala di gedung bundar setelah DPR masih mengkaji terkait dasar hukum pembentukan holding yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016.
Selain DPR, Mahfud MD mewakili Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bersama sejumlah pihak lainnya, mengajukan uji materi (judicial review) (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas ke Mahkamah Agung (MA), pada (10/3/2017).
Dalam keterangan tertulis Mahfud menyatakan, pihaknya menggugat PP tersebut yang menjadi dasar pembentukan holding atau penggabungan BUMN. Ketentuan ini, merupakan pelanggaran terhadap UU BUMN, karena akan menjadi dasar hukum pencucian aset negara yang akan dialihkan ke pihak lain dengan melalui penyertaan modal pada BUMN, ketentuan tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lain dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN (Pasal 2APP72/2016).
Ketentuan di atas bertentangan dengan UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, dan UU 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Selain itu juga, bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Nomor 48/PUU-XI/2013.
Selaras dengan Mahfud, Ekonom UI Faisal Basri juga mengecam keras penerbitan Peraturan Pemerintah 72/2016. Menurutnya, ide holding BUMN hanya akal bulus sekelompok pemburu rente di pemerintah yang ingin agar pemindahan aset BUMN tidak melalui mekanisme pembahasan di DPR. ”Holding BUMN adalah rencana yang jahat dan berbahaya,” ujarnya di Jakarta, Senin (13/2).
Menanggapi hal ini, Kementerian BUMN menyatakan rencana pembentukan holding maupun privatisasi BUMN, khususnya sektor minyak dan gas bumi (migas), belum bisa terealisasi saat ini. Rencana ini masih menunggu kajian dan kesimpulan dari DPR terkait dasar hukumnya yakni (PP) Nomor 72 Tahun 2016.
Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN Hambra S. mengatakan penolakan terhadap PP 72/2016 ini bisa diselesaikan jika berbagai pihak bisa mengerti dan memahami aturan ini secara keseluruhan.
Pemerintah sebenarnya sudah pernah membentuk holding BUMN, seperti di sektor semen dan pupuk, dengan dasar hukum PP 44/2005. Dengan aturan tersebut pemerintah bisa mengalihkan seluruh saham BUMN yang ada dalam holding ke BUMN yang menjadi induknya. Dengan aturan ini, BUMN yang menjadi anak usaha merupakan perusahaan terbuka yang lepas dari kontrol negara.
Sebelumnya terkait hal itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah meminta Kementerian BUMN berhati-hati dalam membuat induk usaha (holding) BUMN. Sebab, ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan, seperti adanya kesenjangan antara BUMN yang sehat dengan BUMN yang kondisinya kurang sehat.
Menurut Presiden, Kementerian BUMN harus mempersiapkan pembentukan induk usaha BUMN berbagai sektor tersebut secara matang dan tidak perlu terburu-buru. “Hati-hati, jangan asal cepat saja tapi juga harus matang. Jangan asal besar dan asal gabung saja tapi hati-hati,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, pada (25/1/2017).
Sementara itu, mengutip pernyataan mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato politiknya di JCC, Jakarta (7/2/2017). Dalam pidato tersebut ia banyak berpesan kepada pemerintahan saat ini agar lebih berhati-hati terhadap pengaruh negara-negara berasas kapitalis.
Beliau mengatakan tren dunia abad 21 ditandai oleh kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin menganga. Di Indonesia, potretnya kurang memberikan harapan. Dari total kekayaan 150 orang terkaya, setara dengan APBN. Bahkan, harta orang Indonesia yang paling kaya jumlahnya 3 kali APBD Jakarta, 8,5 kali APBD Jawa Timur, dan 95 kali APBD Maluku Utara.
Negara tidak boleh asyik dan terlena dengan hukum-hukum pasar dan ajaran kapitalisme semata. Sebab, pasar bebas, ajaran neolib dan kapitalisme yang fundamental tidak peka dan tidak peduli terhadap mereka yang tersisih dan tertinggal. Negara tidak boleh hanya mengikuti kepentingan perusahaan bisnis multinasional dan liberalisasi perdagangan bebas, tanpa memikirkan dampak negatifnya bagi rakyat.
Pemerintah tak boleh menyerahkan segalanya ke mekanisme pasar bebas. Intervensi pemerintah yang positif, proporsional dan diperlukan (necessary) tetaplah harus dilakukan.
Selain itu, SBY juga berpesan agar pemerintah terkait kerjasama ekonomi dengan negara-negara besar harus berhati-hati. Sebab, kalau gegabah, tidak siap dan salah perhitungan, negara akan sangat dirugikan.
Akhirnya, BUMN sebagai tulang punggung perekonomian bangsa sangat berperan besar dalam pembangunan. BUMN diharapkan selain memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional dan penerimaan negara, juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik dan berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi swasta besar.
BUMN harus lebih berhati-hati dalam menyikapi era pasar bebas dan kerjasama dari negara-negara yang notabene penganut sistem kapitalis. Jangan sampai BUMN Indonesia hanya menjadi mesin pengeruk rente dari para penguasa kapitalis. Di lain sisi, dibutuhkan komitmen dan keseriusan pemerintah, BUMN dan semua pihak terkait untuk bangkit. Kita bisa maju melebihi negara besar di Asia karena kita sudah punya semuanya.
Bila terbukti BUMN digunakan sebagai alat penggerak kapitalisme, maka paduan kekuasaan negara yaitu BUMN plus kekuatan kapital nya, bila tidak di sertai dengan nurani yang baik akan menyengsarakan rakyat. Hal ini sudah terjadi di Kendeng, dimana PT Semen Indonesia yang di back up oleh Menteri Rini dan Gubernur Ganjar Pranowo, menjadi kekuatan dahsyat yang bahkan rakyat, MA dan Presiden pun tidak bisa berbuat apa-apa. (Berbagai Sumber/T29)
Sumber: www.bumnwatchdog.com/bumn-mesin-kapitalis