Jokowi Meraung di Perbatasan

Jokowi Meraung di Perbatasan

16 March 2017, 10:21

Zona pendukung dimaksud dapat dikembangkan untuk berbagai manfaat. Misalnya, sebagai terminal barang dan penumpang, pusat perdagangan atau pasar untuk mengembangkan perekonomian masyarakat setempat.

pinterpolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]emerintah mulai secara intensif dan berkelanjutan membenahi wilayah perbatasan negara. Dimulai dari pembangunan zona inti Pos Lintas Batas Negara (PLBN) supaya tidak kalah dari milik negara tetangga. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo meminta supaya dibangun  zona pendukung dan diperlancar konektivitas di wilayah perbatasan.
Pembangunan lanjutan perbatasan ini dikemukakan Jokowi pada rapat terbatas di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (14/3/2017), yang dihadiri Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah menteri, serta Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis. Kehadiran Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan pada rapat ini  dapat dijadikan tanda bahwa pembangunan perbatasan, sebagai salah satu cara mengawal kedaulatan negara, akan segera direalisasikan.
Sebelumnya, zona inti PLBN di darat, seperti di Entikong, Kabupaten Sanggau, PLBN Nanga Badau di Kabupaten Kapuas Hulu, dan PLBN Aruk di Kabupaten Sambas (Provinsi Kalimantan Barat), serta di Matoain, Kabupaten Belu, (Provinsi Nusa Tenggara Timur), sudah selesai dibangun. Setelah dibenahi, penampilan pos di wilayah perbatasan Indonesia tidak kalah lagi dari milik tetangga, bahkan lebih bagus.
Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan memuji langkah pembangunan zona inti PLBN. Setelah menyebut kondisi perbatasan itu yang cukup memprihatinkan sebelumnya, Jokowi pun menggambarkan kondisi PLBN, dewasa ini. Sambil menunjukkan gambar-gambar lewat in-focus, Jokowi menunjukkan perbedaaan kondisi tersebut.Zona pendukung dimaksud dapat dikembangkan untuk berbagai manfaat. Misalnya, sebagai terminal barang dan penumpang, pusat perdagangan atau pasar untuk mengembangkan perekonomian masyarakat setempat. Bagus pula menjadi sistem pengelolaan kawasan perbatasan yang lebih terintegrasi. Dengan demikian, kawasan sekitar dapat berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.
Masa pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN), Entikong, Kalbar. (Foto: Google)
Pada gilirannya, sepanjang perbatasan menjadi wilayah yang dapat mendukung pertumbuhan sektor-sektor lainnya, seperti pertanian dan manufaktur. Industri pengolahan untuk memanfaatkan produk-produk pertanian dan perkebunan setempat. Maka, pembangunan zona inti dan zona pendukung akan memberikan nilai tambah.
Jokowi: Etalase BangsaWilayah perbatasan darat dan laut sering disebut bagian belakang dari suatu negara. Nah, pemerintah sekarang melihat perbatasan sebagai terdepan atau beranda. Pada rapat terbatas, Selasa lalu, Jokowi menyebutkan perbatasan menjadi etalase bangsa.
Etalase atau beranda tentunya harus menarik dan punya daya pikat yang khas. Etalase juga berarti memamerkan produk dan jasa unggulan, pelayanan yang memuaskan, serta penyambutan yang menjadi buah bibir. Berada di etalase yang demikian akan membuat orang lebih tertarik untuk masuk lebih dalam, menjelajahi pulau, kota, dan daerah-daerah lainnya.
Bertitik tolak dari pandangan di atas, dapat dipahami mengapa “style” pembangunan Presiden Jokowi fokus dari daerah pinggiran dan perbatasan, termasuk pulau-pulau terluar.  Infrastruktur, seperti pelabuhan, jalan raya, dan bandara, disiapkan untuk memperlancar konektivitas antardaerah di satu pulau dan antarpulau. Jika konektivitas lebih lancar, pada gilirannya akan menurunkan harga barang di daerah-daerah pinggiran. Sebagai contoh, prinsip satu harga bahan bakar minyak di seluruh Indonesia, yang dicanangkan pemerintah, belum lama ini. Berarti harga BBM di Pulau Jawa sama dengan harga di Provinsi Papua.
Presiden Jokowi di Perbatasan Motaain. (Foto: Google)
Indonesia memiliki perbatasan darat dan laut dengan sejumlah negara. Perbatasan di jalur darat meliputi tiga negara, yakni dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Papua, dan dengan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur. Sedang di jalur laut berbatasan dengan 10 negara, yakni India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini (PNG).
Pada umumnya, kawasan perbatasan laut ini adalah pulau-pulau terluar yang jumlahnya kurang lebih 92 pulau. Beberapa di antaranya masih perlu ditata dan dikelola lebih intensif untuk menghindari permasalahan dengan negara tetangga. Maka, tidak berlebihan bila disebutkan, wilayah yang harus dijaga oleh pemerintah demi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sungguh banyak. Kalau tidak dijaga dengan seksama, maka kasus beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia akan dapat terulang.
Pada 1998, masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional. Kemudian, pada 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional  mengeluarkan putusan, yakni memenangkan Malaysia.
Pendekatan Strategis
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Nasional, wilayah perbatasan telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional di bidang Pertahanan dan Keamanan. Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan perekonomian di wilayah perbatasan menjadi suatu keharusan dalam upaya menjaga kedaulatan negara.Indonesia membangun pos lintas batas negara (PLBN) baru dengan infrastruktur mengadopsi budaya daerah setempat. Beranda terdepan dengan karya desain anak bangsa dibangun perusahaan BUMN salah satunya PT WIKA pada PLBN Entikong, Kalbar. (Sumber: garudamiliter.blogspot.co.id)
Dengan demikian, upaya menjaga perbatasan, dalam arti membangun seperti halnya daerah-daerah lain di Tanah Air, merupakan pendekatan strategis dalam rangka menjaga kedaulatan negara. Oleh karena itu, strategi pengembangan  kawasan perbatasan tidak semata-mata untuk menyejahterakan masyarakat setempat, tapi juga untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.
Mengapa demikian? Perbatasan yang lemah penjagaannya akan dengan mudah dilewati oleh penyusup, baik untuk kepentingan ekonomi, seperti penyelundupan, maupun penguasaan wilayah, seperti bertempat tinggal. Dengan kata lain, wilayah perbatasan rawan disusupi pihak lain.
Bukti rawannya pertahanan dan keamanan di perbatasan sudah terjadi di beberapa negara. Misalnya,  Negara Bagian Shan di Myanmar, yang berbatasan dengan wilayah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), sudah cukup lama menjadi basis pemberontak. Pasukan pemerintah Myanmar dan pemberontak sering baku tembak, yang juga merisaukan RRT, sebagai negara tetangga.
Misalnya, pada Senin (6/3/2017), terjadi pertempuran di Kota Laukkai, Negara Bagian Shan, yang menewaskan sedikitnya 30 orang. Peristiwa itu terjadi setelah sekelompok pemberontak, yang mengenakan seragam polisi, memulai serangan.
Tembakan senjata artileri dan senjata kecil berlangsung hampir sepanjang hari di Laukkai, kota utama di wilayah Kokang, Negara Bagian Shan, Myanmar timur laut. Bentrokan kali ini merupakan salah satu yang terburuk  di wilayah Kokang sejak pertempuran pada  2015, yang menewaskan sejumlah orang dan memaksa puluhan ribu mengungsi melintasi perbatasan ke Tiongkok.
Setiap kali terjadi bentrokan di wilayah Shan, Pemerintah Tiongkok pun menyiagakan aparat di wilayahnya untuk menjaga kemungkinan anggota kelompok pemberontak atau pasukan Myanmar memasuki wilayahnya. Ketidaktentraman di wilayah perbatasan ini sudah tahunan dan menjadi masalah bagi Myanmar.
Dapat pula dimengerti mengapa Presiden Amerika Serikat Donald Trump begitu ngotot untuk membangun tembok perbatasan negaranya dengan Meksiko. Oleh karena itu, salah satu perintah eksekutif Trump,  beberapa saat setelah dilantik sebagai presiden ke-45 AS, pada 20 Januari 2017, adalah membangun tembok perbatasan. Tentu saja sikap ini dianggap keras oleh Pemerintah Meksiko, sehingga Presiden Enrique Pena Nieto tak sudi membayar untuk pembangunan tembok dimaksud.
Dalam mengelola perbatasan ada dua pendekatan yang dilakukan masing-masing negara. Pertama adalah konsep hard border regime atau rezim perbatasan keras, seperti yang dilakukan oleh AS terhadap Meksiko dan Kuba. Kedua, soft border regime atau rezim perbatasan lunak, sebagaimana diberlakukan  AS terhadap Kanada.
Soal rezim mana yang dipilih oleh suatu negara tentu bergantung pada filosofi negara itu serta pendekatan efektivitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Cara itu akan dapat mencegah penduduk suatu negara menyeberang ke negara tetangga. Dengan cara itu pula, “pesona tetangga” tidak sampai mampu meluluhkan warga negara lain.
Beberapa ahli hukum internasional, antara lain,  Shaw Malcolm,  JG Starke, dan Burhan Tsani, berpendapat, perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah suatu negara berupa suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara dengan wilayah negara lain di darat, laut, serta udara. Hal itu dapat dikualifikasi dalam terminologi zona perbatasan dan zona bebas kepabeanan.
Oleh karena itu, wilayah perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur secara limitatif dalam berbagai perjanjian internasional guna menyelesaikan permasalahan, baik secara insidental maupun permanen.
Pertahanan dan Kesejahteraan
Pembangunan perbatasan, termasuk pulau-pulau terluar, sebagaimana dicanangkan oleh pemerintah, tentu termasuk untuk mencapai dua tujuan utama, yaitu memperkuat pertahanan dan keamanan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketidakberhasilan kita mempertahankan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan beberapa tahun lalu, menjadi pengalaman paling berharga dalam upaya kita menjaga dan mengembangkan wilayah perbatasan, baik di jalur darat maupun jalur laut. Kita tidak menghendaki kejadian serupa terulang.
Oleh karena itu, pembangunan zona pendukung untuk zona inti PLBN di berbagai tempat hendaknya sesegara mungkin dilaksanakan berdasarkan rencana induk yang berdaya jauh ke depan. Pada sisi lain, perlu penguatan organisasi yang mengelola perbatasan supaya mampu dan punya daya juang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Mungkin, diperlukan badan pengelola perbatasan yang antara lain bertugas mengkoordinasikan instansi-instansi yang selama ini berperan penting di wilayah perbatasan. (Berbagai sumber/E19)