Doublethink Pemilih Jakarta

Doublethink Pemilih Jakarta

21 February 2017, 19:47

Saat orang menimbang siapa yang layak jadi gubernurnya, maka akan ada banyak hal yang bisa dijadikan bahan pertimbangan, entah dari ‘isi kepala’ yang mewakili pertimbangan rasional, maupun juga ‘isi hati’ yang mewakili sisi emosional.

pinterpolitik.com
[dropcap size=big]J[/dropcap]alan setapak itu sudah sampai di ujung. Kenapa tadi pilihanku berubah, ya? Pak Dulloh masih saja terus bergumam sembari memperhatikan jam tangannya.
Pukul 11.55! Masih ada satu jam sebelum penghitungan suara. Pak Dulloh awalnya akan memilih Ahok saat datang ke TPS pagi tadi. Ia merasakan betul program-program Ahok. Kebutuhan sekolah anak-anaknya saat ini sudah bisa tercukupi berkat adanya program Kartu Jakarta Pintar yang dikeluarkan Ahok. Selain itu, ia melihat banyak perubahan terjadi di Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok.
Namun, ia cukup tersinggung mendengar cerita bahwa Pak Ahok menistakan agama Islam. Hal itulah yang membuatnya menjadi bimbang. Akhirnya, ia pun menjatuhkan pilihan pada Pak Anies.
Lebih baik orang yang kupilih itu bisa bertutur dengan sopan. Semoga Pak Anies juga bisa melaksanakan amanah kepemimpinan yang sama baiknya dengan Pak Ahok, demikian katanya dalam hati.
Tak terasa ia sudah sampai di TPS tempatnya mencoblos pagi tadi. Saatnya mengawal suaraku untuk Jakarta yang lebih baik.
Kepala vs Hati
Beberapa hari lalu kita menyaksikan pesta demokrasi dengan tajuk Pilkada Serentak diselenggarakan di Jakarta. Ada drama, ada ketegangan, ada kegembiraan bagi pasangan yang lolos ke putaran berikut, ada sikap ksatria menerima kekalahan dan ada juga kesedihan dari mereka-mereka yang gagal ke tahap selanjutnya. Semua adalah hal yang normal dalam kontes politik. Semuanya tergantung pada penilaian dan pilihan masyarakat.
Kisah Pak Dulloh yang bimbang ini mungkin mewakili sekian banyak kisah orang-orang yang bimbang menentukan pilihannya saat akan memilih pemimpin. Saat orang menimbang siapa yang layak jadi gubernurnya, maka akan ada banyak hal yang bisa dijadikan bahan pertimbangan, entah dari ‘isi kepala’ yang mewakili pertimbangan rasional maupun juga ‘isi hati’ yang mewakili sisi emosional.Hal ini tentu saja wajar terjadi dalam hidup karena pilihan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari takdir hidup manusia sendiri. Pythagoras (570-495 SM) – seorang filsuf dan ahli matematika Yunani kuno – pernah mengatakan: “Choices are the hinges of destiny”. ‘Pilihan adalah engsel-nya takdir’.
Seperti pintu yang bisa terbuka kalau ada engselnya, maka pilihan-pilihan dalam hidup kita itu seperti engsel yang akan menentukan terbuka atau tidaknya pintu-pintu takdir dan seberapa mudah kita membukanya. Tanpa engsel atau pilihan, maka tak akan ada pintu atau takdir yang terbuka.
Pak Dulloh mungkin mewakili orang yang berubah pilihan politiknya karena alasan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Di tempat lain di Jakarta juga terdapat banyak pemilih yang mengubah pilihan politiknya. Ada yang mengubah pilihannya dari Agus ke Anies karena ‘nyanyian’ Antasari Azhar sehari sebelum Pilkada Serentak digelar, ada yang alasannya berkaitan dengan agama, suku, ras dan golongan, serta alasan lainnya.
Memang bagi kebanyakan orang, pasti dianggap naif untuk tetap memasukan isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) dalam konteks politik Indonesia yang berbhineka ini. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa dalam diri setiap orang pasti ada dorongan untuk mempertimbangkan faktor-faktor tersebut ketika akan memilih pemimpin.
Oleh karena itu, tidak heran situasi dilematis ini sering melahirkan benturan antara isi kepala dengan isi hati: antara pertimbangan logis-rasional versus emosi dan kedekatan moril. Hal ini bisa terlihat dari persentasi kontribusi agama terhadap perolehan suara ketiga calon pada pilkada Jakarta putaran pertama.

Demokrasi Kata Hati: Meritokrasi adalah Mimpi
Hal yang semakin menarik untuk ditelusuri adalah jika benturan isi kepala versus isi hati ini selalu dimenangkan oleh isi hati. Dalam konteks demokrasi yang meritokrat, kemenangan isi hati adalah sebuah pukulan bagi cita-cita kemajuan masyarakat sipil yang sejahtera dan menghargai prestasi setiap anggota masyarakat.
Meritokrasi itu sendiri adalah sebuah sistem yang menempatkan orang menjadi pemimpin karena prestasinya dianggap baik dan mampu membawa kemajuan untuk masyarakat secara keseluruhan. Kemenangan kata hati akan membuat demokrasi kita menjadi ‘demokrasi kata hati’ – sebuah sistem demokrasi yang emosional dan cenderung tidak rasional.
Demokrasi kata hati mungkin bisa diartikan sebagai sistem demokrasi yang sulit memberikan ruang bagi ke-berbeda-an dan secara emosional mudah untuk dipengaruhi oleh orang yang memiliki kedekatan moril, misalnya dalam hal SARA. Jika demokrasi dalam masyarakat yang heterogen sudah berubah menjadi demokrasi kata hati, maka prestasi seseorang akan sulit dipandang sebagai hal yang bisa menjadi pertimbangan utama seseorang untuk menentukan pilihan pemimpin yang akan dipilihnya.Dalam konteks Pilkada Jakarta, hal ini bisa dilihat dari beberapa hasil survei yang menyebutkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat Jakarta atas kepemimpinan Ahok dan Djarot berada di angka 70%. Namun demikian, tingkat kepuasan ini tidak cukup untuk memenangkan Ahok dalam satu putaran saja. Bahkan, dengan persentasi hasil Pilkada di kisaran 42 % saja, bisa dipastikan hanya setengah dari orang-orang yang puas terhadap kinerja Ahok di Jakarta yang memberikan hak suaranya untuk sang petahana.

Fakta-fakta tersebut secara tidak langsung memberikan gambaran bahwa demokrasi kata hati itu ada dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di ibu kota. Banyak orang yang lebih mengandalkan faktor emosional daripada faktor rasional untuk memilih pemimpin. Dengan demikian, meritokrasi mungkin masih menjadi cita-cita yang harus diperjuangkan dengan lebih keras lagi.
Demokrasi kata hati mungkin mirip-mirip dengan demokrasi keterwakilan. Walaupun demokrasi keterwakilan pada bagian tertentu masih lebih rasional – terutama dalam kaitan dengan kesamaan kepentingan yang ingin diraih – namun, proposisi SARA akan selalu mendapat tempat tersendiri baik dalam demokrasi kata hati maupun demokrasi keterwakilan.
Pada banyak kesempatan, orang misalnya akan lebih memilih pemimpin yang memiliki kesamaan SARA karena menganggap ada kedekatan moril di sana dan dengan demikian ada kepentingan yang sama yang bisa diperjuangkan pula. Namun demikian, pada titik tertentu hal ini bisa berdampak negatif untuk kemajuan masyarakat apabila secara prestasi orang yang dipilih tersebut tidak punya kapabilitas untuk menjalankan seluk beluk pemerintahan dan dipilih hanya karena kedekatan emosional.
Doublethink dalam Politik
Perubahan pilihan sebagai akibat pertimbangan kata hati yang mengalahkan isi kepala ini bisa dibahasakan dengan istilah doublethink. Doublethink bisa diartikan sebagai kondisi orang yang bisa menerima dua hal yang saling bertolakbelakang secara bersamaan. Doublethink bisa disebut juga sebagai paradoksial pola pikir yang menerima dua kutub secara bersamaan – dan mungkin pada titik tertentu – tanpa disertai oleh perasaan bersalah.
Doublethink dipopulerkan oleh George Orwell (1903-1950) – seorang novelis Inggris kelahiran India – dalam novel distopian berjudul “Nineteen Eighty Four”, atau“1984”. “War is peace, freedom is slavery, ignorance is strength”. Itulah kutipan George Orwell yang ditulisnya pada tahun 1949 dan merupakan slogan partai yang dikisahkannya dalam novel tersebut.
George Orwell juga memperkenalkan istileh newspeak – merujuk pada sistem bahasa yang dikondisikan oleh pemerintah otoritarian – namun, istilah doublethink adalah yang paling sehubungan dengan sikap politik masyarakat. Lalu, bagaimana orang bisa menerima dua hal yang saling bertolak belakang pada saat yang sama?

Ada sebuah pribahasa latin yang dikutip dari tulisan Plato (428-348 SM) dalam “The Laws” berbunyi: “Si vis pacem para bellum”. ‘Jika anda ingin kedamaian, bersiaplah untuk berperang’. Kedamaian bisa terwujud melalui perang. Tunggu dulu, bukan kah perang justru menimbulkan kekacauan? Pribahasa ini jelas menggambarkan doublethink.
Perang memang menyebabkan kekacauan, namun pada satu titik dapat menyebabkan pergantian rezim, pergeseran kekuasaan, melahirkan kestabilan politik, dan bahkan bisa membentuk pola pikir baru tentang buruknya akibat perang tersebut. Pada akhirnya hal tersebut akan berujung pada kedamaian. Pertanyaannya mungkin adalah apakah memang harus berperang dahulu untuk mencapai kedamaian?
Dalam politik, contoh doublethink bisa dilihat dari paham konservatif dalam Partai Republik di Amerika Serikat misalnya yang sangat menentang aborsi karena alasan keagamaan, namun tetap mendukung keberadaan hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman bagi kriminal berat.
Tentu saja dua hal tersebut dalam konteks umum bisa dianggap saling bertentangan karena sama-sama menghilangkan nyawa – walaupun dalam konteks yang lebih spesifik ada alasan yang membenarkan sikap tersebut dengan menyebut aborsi sebagai ‘pembunuhan’ terhadap calon bayi yang tidak berdosa. Yang jelas, dua-duanya sama-sama menghilangkan nyawa, sehingga bisa dianggap sebagai hal yang paradoks.
Doublethink dalam Pilkada Jakarta?
Novel tulisan Orwell tersebut sangat relevan dengan situasi politik saat ini, khususnya dalam kaitan dengan Pilkada di Ibukota Jakarta. Dalam konteks pilkada Jakarta, ada kecenderungan doublethink ini terjadi. Mayoritas masyarakat Jakarta memang mengakui bahwa kepemimpinan Ahok mendatangkan perubahan dan menyebabkan banyak kemajuan di Jakarta.
Persentase kepuasan tersebut mencapai 70 % hingga 80 %. Namun, suara Ahok pada hasil Pilkada beberapa hari lalu hanya menyentuh angka 42 % atau setengahnya saja. Doublethink ada pada hampir setengah populasi yang puas terhadap kinerja Ahok, namun tidak memberikan suaranya untuk Ahok. Artinya ada hampir 40 % orang di Jakarta yang puas dengan perubahan di Jakarta, tetapi tidak menginginkan tokoh yang membawa kemajuan ini untuk memimpin lagi.
Hal ini mungkin kelihatan aneh untuk dipahami. Itulah doublethink, sebuah fenomena yang hadir dalam politik di Jakarta. Sentimen agama pasca kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok menjadi salah satu alasan mengapa ada sejumlah besar warga Jakarta yang puas terhadap kinerja Ahok mengalihkan dukungan terhadap pasangan yang lain. Secara normal, tingkat kepuasan harusnya berbanding lurus dengan angka dukungan yang diberikan kepada pasangan yang bersaing lagi.
Doublethink memang menjadi sisi lain dari demokrasi. Di beberapa tempat di Jakarta pun masih ada TPS yang mayoritas berasal dari etnis atau agama tertentu dan hasil pemilihannya memenangkan pasangan dengan latar agama dan etnis yang sama dengan persentasi di atas 70 %.
Walaupun demikian, harus disyukuri pula bahwa doublethink dan sentimen SARA tidak begitu massif terjadi. Artinya, lebih banyak warga Jakarta yang menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasional untuk menentukan pilihan gubernur yang didukungnya. Rasionalitas masih dipakai sebagai acuan utama untuk menentukan pilihan.

Peluang Doublethink di Putaran Kedua
Pertanyaannya mungkin adalah apakah doublethink akan terjadi lagi pada pilkada Jakarta putaran kedua nanti? Akankah masyarakat berubah pikiran dan mengalihkan dukungannya untuk pasangan tertentu saat mereka masuk TPS di hari pencoblosan? Tipologi masyarakat Jakarta memang mayoritas adalah pemilih rasional, namun doublethink tetap akan menjadi pertimbangan manusiawi.
Pemilihan presiden di Amerika Serikat baru-baru ini membuktikan hal tersebut: dengan meraih dukungan orang kulit putih, Donald Trump berhasil memenangkan kursi presiden. Apakah hal ini juga akan terjadi di Jakarta?
Harapannya adalah tentu saja masyarakat Jakarta bisa keluar dari batasan-batasan SARA dalam menentukan siapa yang akan dipilihnya. Semua warga Jakarta tentu akan bahagia dan merasa nyaman tinggal di ibukota jika gubernur yang terpilih mampu menjalankan program-programnya dan menyelesaikan berbagai persoalan di ibukota dengan baik.
Jika Jakarta makin maju, tentu warganya akan bahagia. Oleh karena itu, sudahkah anda yakin dengan pilihan anda? Apakah anda salah satu doublethinker? Apa pun itu, yang penting jangan lupa untuk menggunakan hak pilih anda pada pilkada putaran kedua nanti. (S13)

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Topik

Agama

Brand

Club Sports

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi