JAKARTA, KOMPAS.com – Sepanjang 2024 diwarnai dengan sejumlah kontroversi terkait undang-undang (UU) yang disahkan maupun sedang dibahas oleh DPR RI.
Beberapa aturan memicu pro dan kontra di masyarakat, baik mulai dari pembahasannya hingga implementasinya.
Berikut adalah beberapa undang-undang yang menjadi sorotan sepanjang 2024:
1. RUU Pilkada soal Aturan Batas Usia dan “Peringatan Darurat”
Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada menjadi pembahasan kontroversial pada 2024.
Pembahasan ini mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk politisi, aktivis, akademisi, dan masyarakat umum.
Penolakan terhadap RUU Pilkada memicu aksi unjuk rasa “Peringatan Darurat” dan #KawalPutusanMK di berbagai daerah dan media sosial.
Baca juga: Kaleidoskop 2024: Serba-serbi Pilpres 2024, Menang Telak hingga Gugatan ke MK
Aksi ini merespons DPR RI yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat calon kepala daerah untuk Pilkada 2024.
Penolakan ini bermula saat Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Baleg DPR RI pada Rabu (21/8/2024) menyatakan menolak menjalankan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Dalam putusannya, pada Selasa (20/8/2024), MK menegaskan bahwa titik hitung usia minimum calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU.
Namun, Baleg DPR memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa titik hitung usia minimum dihitung sejak tanggal pelantikan.
Keputusan ini memberikan peluang bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam Pilkada 2024.
Jika menggunakan putusan MK, Kaesang tidak memenuhi syarat karena usianya 29 tahun saat penetapan calon.
Namun, dengan putusan MA, ia bisa maju karena pelantikan kepala daerah terpilih dilakukan setelah ia berulang tahun ke-30 pada 24 Desember.
Banyak pihak menolak keputusan ini. Mereka menilai DPR berupaya menyiasati putusan MK dengan melakukan RUU Pilkada.
Padahal, MK adalah lembaga yang berwenang mengadili sengketa pilkada, sehingga calon kepala daerah yang diproses menggunakan undang-undang yang inkonstitusional berpotensi didiskualifikasi.
“Konsekuensi politik yang penting, ingat semua sengketa hasil pilkada akan diputus oleh MK dan MK bisa memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) buat pemilu yang melanggar Putusan MK,” tegas pakar hukum tata negara Bivitri Susanti kepada Kompas.com, Rabu (21/8/2024).
Baca juga: KALEIDOSKOP 2024: Drama Pilkada Jakarta dan Kemenangan Pramono-Rano Satu Putaran
DPR bahkan menjadwalkan rapat paripurna pengesahan UU Pilkada yang di dalamnya berisi syarat calon kepala daerah pada Kamis (22/8/2024).
Di saat yang sama, massa di berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak aturan ini.
DPR RI pun membatalkan pengesahan RUU Pilkada 2024 setelah aksi unjuk rasa yang mulai rusuh.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa putusan MK yang berlaku untuk pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus 2024.
“Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada pada tanggal 22 Agustus hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran pada tanggal 27 Agustus adalah hasil keputusan JR MK yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Sudah selesai dong,” ujar Dasco kepada Kompas.com, Kamis 22 Agustus.
2. RUU Penyiaran yang Dianggap Mengancam Kebebasan Pers
Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga menjadi polemik.
Draf yang beredar dinilai mengancam kebebasan pers.
Dilihat dalam draft RUU Penyiaran versi 27 Maret 2024 yang beredar, ada sejumlah pasal dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan berpotensi menjadi pasal karet.
Dewan Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak RUU ini.
Dewan Pers khawatir Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan memiliki wewenang baru untuk menyelesaikan sengketa kerja jurnalistik.