KRjogja.com – JAKARTA – Selama 10 tahun terakhir, Pemerintah telah melakukan berbagai program strategis yang menjadikan APBN sebagai shock abshorber bagi masyarakat. Namun, adanya fenomena penurunan kelas menengah sebesar 9,48 juta orang perlu menjadi kewaspadaan bersama. Karena adanya tekanan pada pengeluaran pangan, perumahan, dan perpajakan. Adanya fenomena perlambatan pertumbuhan ekonomi diduga karena program pemerintah terutama dalam alokasi pengadaan barang dan jasa belum melibatkan pengusaha dan UMKM lokal bahkan banyak yang bersifat top-down approach. “Perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah terjadi diduga karena belum terlibatnya baik swasta, localpreneur, womanpreneur, dan juga UMKM lokal. Dengan begitu berbagai program baik belum mengakibatkan trickle down effect bagi daerah. Kalau kita lihat UMKM dapat didorong menjadi closeloop bagi industri dan diharapkan juga Pemerintah dapat menyerap (standing buyer) UMKM,” kata Wakil Ketua Umum (WKU) Analisis Kebijakan Makro Mikro Ekonomi KADIN Indonesia Aviliani dalam forum Global & Domestic Economic Outlook 2025 di Jakarta, Senin (30/12/2024). Baca Juga: Mengasah Potensi dan Meraih Pengalaman Berharga Bersama Perusahaan Pembiayaan Astra Group
Kegiatan tersebut dibuka oleh Ketua Umum KADIN Indonesia Anindya N Bakrie. Menurutnya, Kadin menilai berbagai program seperti kartu sakti, program MBG, program 3 juta rumah, sekolah unggulan, dan hilirisasi dapat melibatkan dan memberdayakan unsur lokal. Terutama perempuan, lansia, dan Gen-Z yang masuk dalam kategori NEET. Karena pemberdayaan sosial yang dilakukan secara tidak langsung dapat mendorong mereka menjadi entrepreneur. Dimana salah satu syarat menjadi negara maju maka sebesar 4 persen dari populasi harus menjadi pengusaha.
“Berdasarkan hasil analisis Bidang analisis kebijakan makro-mikro ekonomi Kadin Indonesia didapatkan bahwa berbagai fenomena sosial yang terjadi seperti 9,9 juta Gen-Z yang NEET, kontribusi perempuan terhadap PDB masih dibawah 40 persen. Adapun peningkatan lansia di kelas menengah dapat diselesaikan dengan Sociopreneur melalui strategi circular dan silver economy,” jelas Aviliani seraya menambahkan, hasil dari modelling yang dibuat, sociopreneur yang mengatasi masalah sosial dapat mendorong peningkatan PDB sebesar 0,57-0,7 persen setiap tahunnya (Rp118,07-Rp146,3T T). Baca Juga: Kilas Balik Rekrutmen, Pembinaan dan Kinerja SDM Pengawasan TPS Pemilihan Kepala Daerah Lebih lanjut Aviliani menambahkan, apabila serius menggarap ekosistem sociopreneur di Indonesia, maka target pertumbuhan ekonomi 8 persen dapat dilakukan melalui instrumen. Untuk itu Sociopreneur yang didorong oleh Kadin juga menjadi penting karena fokus pada pemberdayaan sosial dengan memberikan ‘kail’ bukan lagi ‘umpan’ sebagai bentuk dari bantuan sosial. “Ekosistem Sociopreneur tidak sulit dilakukan terutama di kawasan 3T yakni Terluar, Terdepan, dan Terbelakang. Karena dengan memanfaatkan produk lokal dalam aktivitas produksinya dan menggarap hal-hal atau permasalahan yang dapat diselesaikan di wilayah itu,” ungkapnya. (Ria)