SETELAH 32 kali melakukan penolakan terhadap permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan penghapusan presidential threshold pada Kamis, 2 Januari 2025, melalui putusan No.62/PUU-XXII/2024.
Dalam beberapa pertimbanganya, MK menyatakan bahwa pengaturan terkait ambang batas pencalonan Presiden sebesar 20 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) telah mereduksi dan membatasi hak politik warga negara maupun partai politik selaku peserta Pemilu.
Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukumnya, MK juga menyatakan bahwa pemberlakuan presidential threshold telah melanggar moralitas, rasionalitas, bahkan menimbulkan ketidakadilan.
MK bahkan berargumen bahwa pengaturan terkait presidential threshold telah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 serta tidak sesuai dengan semangat perubahan konstitusi, utamanya pengaturan terkait kedaulatan rakyat.
Implikasi penghapusan
Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024 memberi amanat bagi legislator untuk segera melakukan revisi UU Pemilu guna persiapan Pemilu 2029 mendatang.
Artinya, pascaperubahan UU Pemilu nanti, maka setiap partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan individu sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Serupa dengan alasan penghapusan presidential threshold, sebelumnya MK melalui putusannya No.60/PUU-XXII/2024 juga mengabulkan permohonan terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.
Dalam putusannya, MK mengurangi ambang batas pencalonan kepada daerah dari 20 persen menjadi ambang batas variatif berjenjang disesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) masing-masing daerah. Adapun ambang batas tersebut kemudian dipangkas menjadi 6,5-10 persen.
Putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah tersebut tentu patut diapresiasi. Lebih dari sekadar membuka ruang pencalonan yang lebih luas, putusan tersebut nampaknya memperlihatkan kehati-hatian MK untuk tidak langsung menghapuskan ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi 0 persen.
Kehati-hatian MK tersebut idealnya juga dapat diterapkan ketika memutus perkara No.62/PUU-XXII/2024.
Namun dalam hal ini, MK justru terkesan “tergesa-gesa” untuk langsung menghapuskan ambang batas pencalonan Presiden hingga 0 persen, alih-alih melakukan pengurangan persentase ambang batas.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden sebenarnya tidak sepenuhnya memberi dampak positif bagi demokrasi Indonesia.
Jika MK berdalih pengaturan terkait presidential threshold telah mereduksi hak asasi warga negara dan menimbulkan polarisasi, maka sesungguhnya penghapusan presidential threshold akan menimbulkan persoalan pemerintahan baru, utamanya terkait ketidakpastian hukum.
Peluang setiap partai untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden akan menimbulkan lonjakan kandidat pada Pemilu 2029 mendatang.
Anggap saja, jika seluruh partai yang memiliki kursi di parlemen mengusung calonnya masing-masing. Setidaknya, sudah terdapat delapan kandidat capres-cawapres. Jumlah tersebut tentu tidak memungkinkan untuk dilangsungkannya Pemilu satu putaran.