Harianjogja.com, JOGJA—Orang tua yang mendidik anaknya di rumah, daripada di sekolah, semakin meningkat. Di Inggris, fenomena tersebut tergolong tinggi.Toby terlihat tidak bahagia di sekolah. Dia bisa berdiri di luar pintu kelas selama satu jam. Toby tidak mau masuk. Daniel, ayah dari Toby, merasa sekolah tidak cocok untuk pendidikan anaknya. Daniel mengatakan dia mencoba segalanya untuk menenangkan anaknya. Namun upaya dari keluarga atau sekolah tidak cukup berhasil.
Pada Mei 2023, orang tua Toby memutuskan untuk mengeluarkan anaknya dari sekolah. Mereka bukan satu-satunya. Statistik Pemerintah Inggris yang dirilis pertengahan Desember 2024 menemukan bahwa semakin banyak orang tua yang mengeluarkan anak-anak mereka dari pendidikan umum di Inggris.Diperkirakan 111.700 anak dididik di rumah, berdasarkan sensus yang dilakukan tahun 2024 ini. Temuan tersebut memperlihatkan peningkatan 20% anak yang dididik di rumah sejak tahun lalu. Sekitar 23% mengatakan alasan mereka untuk mendidik di rumah adalah hasil dari gaya hidup, pilihan filosofis atau preferensial, seperti keyakinan agama atau budaya atau penolakan terhadap pendidikan berbasis ujian.Tetapi 13% dari keluarga kini mengatakan bahwa mereka membuat keputusan tersebut karena ketidakpuasan pada sekolah, termasuk kurangnya dukungan untuk kebutuhan pendidikan khusus dan disabilitas (SEND), serta perundungan di sekolah. Selain itu, 14% mengatakan hal ini disebabkan oleh kesehatan mental anak mereka.Ketua lembaga amal pendidikan Education Otherwise di Inggris, Wendy Charles-Warner, mengatakan bahwa dia terkejut dengan peningkatan tersebut. “Itu bukan karena orang tua yang ingin mendidik anak di rumah, tetapi karena sekolah tidak memenuhi kebutuhan anak mereka. Dan orang tua tersebut seharusnya tidak mendidik anak di rumah, jika mereka tidak mau. Pendidikan di rumah tidaklah mudah,” katanya, dikutip dari BBC.Kondisi ketidakpuasan tersebut pula yang dirasakan oleh Daniel. “Kami tidak punya alternatif lain… sistem sekolah rusak dan tidak mengakomodasi banyak anak,” katanya.Anak Daniel, Toby, menderita gangguan hiperaktivitas defisit perhatian (ADHD). Sehingga Toby memerlukan jadwal yang sangat fleksibel, yang memungkinkannya untuk menghabiskan beberapa menit atau beberapa jam untuk suatu kegiatan. Kondisi itu juga memungkinkan Toby belajar dengan tidak bisa diam, namun berjalan-jalan dari satu tempat ke tempat lain.Dua anak Daniel yang lebih tua, yang keduanya autis, berprestasi baik di sekolah khusus. Namun kondisi Toby belum memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah khusus. “Saya tidak mengaku sebagai guru yang hebat,” kata Daniel. “Tetapi saya memiliki cukup kreativitas dan rasa ingin tahu untuk menemukan peluang anak belajar di rumah seiring berjalannya waktu.”Setiap harinya, mereka memulai hari dengan membaca selama 20 menit. Hari-hari mereka sejauh ini juga diisi dengan senam, seluncur es, dan jalan-jalan di hutan.Pandemi ‘Menyempurnakan’ Sistem Belajar di RumahPembatasan untuk berkegiatan di luar rumah, termasuk dalam konteks sekolah, di masa pandemi Covid-19 memberikan gambaran yang bagus tentang pendidikan di rumah. Teknologi menjadi semakin akrab dalam sistem belajar-mengajar. Bahkan bermunculan alternatif pendidikan melalui layanan daring.Saat pandemi mereda, dan sekolah dibuka kembali, beberapa anak merasa transisi kembali ke kelas secara luring terasa sulit. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan jumlah anak yang terus-menerus absen meningkat dua kali lipat dari kondisi sebelum pandemi. Angka terbaru dari Departemen Pendidikan Inggris menunjukkan bahwa hampir satu dari lima anak tidak masuk sekolah lebih dari 10% pada semester musim gugur dan musim semi tahun 2023/24.Awal bulan ini, Kepala Inspektur Ofsted, regulator sekolah Inggris, Sir Martyn Oliver, mengatakan bahwa masalah anak-anak yang tidak masuk sekolah adalah masalah yang membandel dan merusak. Dia merasakan kekhawatiran atas sekolah yang fleksibel, saat orang tua mendidik anak-anak mereka di rumah selama sebagian minggu.Salah satu Direktur Pusat Penelitian Anak-Anak Universitas Terbuka di Inggris, Amber Fensham-Smith, mengatakan sepuluh tahun lalu banyak orang memiliki visi yang cukup ideal tentang pendidikan di rumah yang melibatkan pembelajar mandiri. Namun situasi sekarang lebih rumit.”Ini menutup celah. Jika anak Anda berjuang dengan kesehatan mentalnya, Anda tidak bisa mendapatkan rujukan NHS dan Anda ingin menjaga mereka tetap aman, apa yang akan Anda lakukan? Itu sangat berbeda apabila orang tua yang memilihnya,” katanya.Departemen Pendidikan Inggris mengatakan bahwa mereka tahu terlalu banyak anak dengan pendidikan khusus namun kebutuhannya tidak terpenuhi. Lebih dari 1,6 juta anak memiliki kebutuhan Pendidikan khusus di sekolah-sekolah di Inggris. Jumlah ini meningkat 101.000 dari tahun 2023. Para ahli mengatakan ada berbagai alasan untuk ini, termasuk kesadaran yang lebih besar.Pada bulan Oktober 2024, pengawas pengeluaran publik memperingatkan bahwa sistem kebutuhan pendidikan khusus rusak dan keluarga telah kehilangan kepercayaan padanya. Hal itu mulai menjelaskan sebagian dari lonjakan pendidikan di rumah.Di Amerika Serikat (AS), proporsi populasi anak yang belajar di rumah lebih besar, diperkirakan sebanyak 6%. Penelitian di AS menemukan bahwa anak-anak yang belajar di rumah memiliki kinerja yang sama baiknya, atau lebih baik, daripada teman sebayanya dalam sebagian besar belajar di sekolah umum. Namun, beberapa ahli menunjukkan fakta bahwa peserta survei cenderung berasal dari keluarga kelas menengah yang berpendidikan tinggi dengan akses internet, yang mengabaikan kelompok yang kurang terwakili.Salah satu tantangan dalam mengukur keberhasilan antara sekolah di rumah dan di sekolah Inggris, adalah tidak adanya kewajiban bagi anak-anak yang belajar di rumah untuk mengikuti kurikulum nasional atau mengikuti ujian. Orang tua hanya memiliki kewajiban untuk menyediakan ‘pendidikan yang sesuai’.Awal bulan Desember 2024, Education Policy Institute, sebuah organisasi penelitian independen, memperingatkan bahwa kurangnya kejelasan seputar hukum dan apa yang diwajibkan bagi pendidikan di rumah, berpotensi menimbulkan risiko beberapa anak tidak mendapatkan kesempatan belajar. Salah satu orang tua yang mengajarkan pendidikan anaknya di rumah, Fadoua Govaerts, mengatakan keuntungan belajar di rumah berupa fleksibilitas agar pendidikan lebih holistik dan inklusif.”Hasilnya bisa apa saja, mulai dari merasa nyaman dengan diri sendiri, menemukan bakat baru, menjadi atlet atau aktor elit, hingga memperoleh kualifikasi nasional atau menjadi wirausahawan saat remaja,” katanya.Anak Lebih Nyaman di RumahKeputusan memberikan pendidikan anak di rumah tidak hanya berdasarkan keputusan orang tua. Anak juga merasa nyaman dengan sistem tersebut.Salah satunya anak di Inggris, Riyad Ozpolat. Dia bahkan tidak pernah bersekolah. Dia yang kini berusia 12 tahun tinggal di Bristol bersama orang tua dan empat saudara kandungnya. Ibunya, Weronika, seorang terapis wicara dan bahasa. Weronika bekerja satu hari dalam sepekan di sekolah dan sisa waktunya digunakan untuk mendidik tiga anaknya di rumah.”Saya menjalani pendidikan di rumah sepanjang hidup saya,” kata Riyad. “Alasan saya tidak ingin pergi ke sekolah adalah karena saya tidak tahu apakah saya akan sanggup duduk.”Riyad bertemu sahabat-sahabatnya setiap sepekan sekali di Pramuka. Dia merasa tidak kehilangan apapun, baik teman maupun ilmu. Ibu Ozpolat mengatakan bahwa mendidik anak-anaknya di rumah memberi mereka kesempatan untuk fokus pada minat mereka.”Banyak waktu terbuang di sekolah. Saya pikir semakin dini mereka dapat fokus pada minat mereka, semakin baik karena itu berarti mereka memiliki lebih banyak keahlian dan pengetahuan tambahan, dalam hal yang ingin mereka lakukan saat mereka dewasa,” kata Weronika. “Seiring bertambahnya usia anak-anak, kami perlu membayar biaya ujian dan membayar semua buku serta sumber daya yang Anda perlukan untuk mengikuti ujian.”Orang tua yang memilih untuk mendidik anak di rumah memikul tanggung jawab finansial penuh, dan tidak ada dukungan khusus dari pemerintah untuk pendidikan di rumah. Anak-anak yang dididik di rumah tidak diwajibkan oleh hukum untuk mengikuti ujian, tetapi jika mereka memilih untuk melakukannya, mereka biasanya harus membayar biaya pada dewan ujian dan biaya pusat ujian.Sistem pendidikan ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah pendidikan di rumah bisa mempersiapkan orang dengan baik untuk tempat kerja tertentu? Rachael Barrow, yang sekarang berusia 31 tahun, dididik di rumah selama sembilan tahun setelah dirundung di sekolah. Dia senang diajar di luar kelas tradisional. Namun ketika dia memasuki tempat kerja dia menemukan tantangan tertentu.Selama pekerjaan pertamanya, di bidang sumber daya manusia, dia berjuang untuk menyesuaikan diri dengan rutinitas yang tetap. “Saya merasa seolah-olah saya kehilangan sebagian otonomi saya dalam menentukan jadwal saya sendiri,” katanya.Sejak saat itu, dia telah berganti karier dan kini tengah menyelesaikan gelar doktor di Universitas Lancaster. Sebagai bagian dari upayanya, dia telah mewawancarai orang dewasa lain yang sebelumnya menempuh pendidikan di rumah, dan menemukan bahwa mereka cenderung menghindari karier di perusahaan atau pekerjaan kantoran. Sebagian mengatakan kepadanya bahwa politik di tempat kerja merupakan tantangan.Namun Rachael bersikap positif tentang pengalamannya secara keseluruhan. “Saya sama sekali tidak menyesal menempuh pendidikan di rumah. Saya rasa hal itu cukup mempersiapkan saya untuk berkarier di dunia akademis,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News