Warta Ekonomi, Jakarta –
Meski meningkat tajam dalam aspek ekonomi, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir, hubungan Indonesia dan Republik Rakyat China masih diwarnai hadirnya pandangan negatif, kecurigaan, kehati-hatian, dan kekhawatiran di kalangan sebagian kelompok elite dan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap tingkah laku dan tujuan dari negara tersebut.
Oleh karenanya, dalam menjalin hubungan dengan China, Indonesia dinilai tidak mungkin meninggalkan prinsip netralitasnya, kemudian mengambil langkah yang semakin condong pada keberpihakan terhadap China.
Terlebih bila keberpihakan itu memiliki potensi membawa risiko bagi kedaulatan Indonesia yang secara luas mencakup pula hak berdaulat dan kemandirian bangsa. Isu kedaulatan adalah sebuah isu sensitif yang dapat memicu gelombang nasionalisme dalam masyarakat Indonesia.
Baca Juga: ICP Desember Turun, Ekonomi China dan Penguatan Dolar Jadi Biang Kerok
Pandangan di atas disampaikan oleh Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto dalam pernyataan penutup pada seminar berjudul “Dancing with the Dragon? Indonesian and Malaysian Policies toward China” yang diselenggarakan FSI, Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan sebuah think tank asal Malaysia, Bait Al Amanah, di Jakarta, Kamis (16/1).
Johanes berpandangan bahwa Indonesia bukan hanya telah menjaga jarak yang sama dalam hubungannya dengan China dan kekuatan-kekuatan lainnya, termasuk dengan negara-negara Barat, tetapi juga telah memperlihatkan kemampuan dan kesiapan untuk bertindak tegas bila China atau negara manapun melakukan tindakan yang berpotensi melanggar kedaulatan Indonesia.
Tindakan tegas unsur Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia terhadap unsur Penjaga Pantai China yang menerobos masuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia pada November 2024 yang lalu adalah salah satu contoh yang jelas.
Sementara itu, penggantian drone buatan China dengan drone buatan Turki untuk menjaga wilayah Indonesia di Kepulauan Natuna dinilai sebagai sebuah langkah tepat yang memperlihatkan upaya Indonesia menjaga dan mempertahankan kedaulatannya di tengah meningkatnya sikap asertif dan agresif China di Laut China Selatan.
Johanes juga berpandangan bahwa sama seperti Indonesia, Malaysia pun memperlihatkan kesiapannya untuk melakukan tindakan tegas terhadap negara mana pun yang melanggar kedaulatannya.
Baca Juga: Telan Biaya Lebih dari Rp1.600 T, China Bangun Tembok Besar Tenaga Surya untuk Energi Ramah Lingkungan
Merujuk pada tulisan pakar Hubungan Internasional ternama asal Malaysia, Profesor Cheng-Chwee Kuik, Johanes menceritakan bagaimana pada tahun 2021 Malaysia pernah mengerahkan pesawat tempurnya untuk menghalau pesawat-pesawat Angkatan Udara China yang terbang mendekati wilayah Malaysia di Serawak.
Professor Cheng-Chwee Kuik, Profesor Hubungan Internasional dari National University of Malaysia (UKM) membicarakan tiga hal yang menggambarkan dinamika yang kompleks dalam politik luar negeri Malaysia terhadap China dan seperangkat hubungan kekuasaan asimetrik lainnya antara negara-negara ASEAN secara individual dengan sang raksasa Asia.
Ketiga hal tersebut adalah pragmatisme ekonomi, engagement, dan equidistance (upaya menjaga jarak yang sama). Menurutnya, pragmatisme ekonomi merupakan pilar utama dalam hubungan Malaysia dan China, serta telah hadir sebelum kedua negara menjalin hubungan diplomatik pada 1974.
Sejak 2009 hingga saat ini, China telah menjadi partner dagang yang sangat besar, salah satu investor terbesar, dan salah satu mitra terbesar dalam pembangunan infrastaruktur bagi Malaysia, khususnya setelah dicanangkannya inisiatif sabuk dan jalan (BRI, the Belt and Road Initiative).
“Hubungan ekonomi ini secara umum bersifat saling menguntungkan dan produktif,” tuturnya. Selain pragmatisme ekonomi, engagement juga telah menjadi pilar utama bagi hubungan Malaysia-China, khususnya sejak awal tahun 1990-an, melalui saluran diplomatik bilateral dan platform multilateral.
Ini terlihat dari terbentuknya dan berkembangnya ASEAN Plus Three (1997), Pertemuan Tinggi Asia Timur (2005), dan mekanisme lain terkait ASEAN. Dalam tahun-tahun belakangan, engagement juga dilaksanakan dalam bentuk partisipasi dalam institusi yang dipromosikan oleh China, seperti Asian Infratructure Investment Bank (AIIB) dan BRICS+.
Hal ketiga yang ditekankan oleh Kuik adalah arti penting dari kebijakan netralitas dan menjaga jarak yang sama yang telah menjadi dasar bagi politik luar negeri Malaysia sejak tahun 1970-an, yang memiliki prinsip yang sama dengan politik ‘bebas dan aktif’ Indonesia.
Namun menurutnya, kebijakan ‘menjaga jarak yang sama’ bukan berarti memiliki kejauhan atau kedekatan yang sama dengan kekuatan-kekuatan yang sedang saling berkompetisi. Namun ini berarti menjaga posisi netral sambil mengupayakan kemitraan inklusif namun selektif dengan semua kekuatan dalam berbagai domain (termasuk pertahanan, diplomatik, dan pembangunan).
Kuik menyimpulkan bahwa seiring dengan makin meningkatnya kompetisi antar negara-negara kuat, dan makin dalamnya ketidakpastian, mayoritas negara-negara menengah yang berada di tengah negara superpower yang saling bersaing berupaya untuk mempertahankan sikap non-blok mereka melalui strategi keberpihakan yang bersifat beragam (multi-alignment).
Baca Juga: Indonesia dan Malaysia Siap Kolaborasi untuk Dongkrak Industri Sawit
Dilihat dari sudut pandang tersebut, maka bila Indonesia, Malaysia, dan Thailand (atau secara potensi Vietnam) bergabung dengan BRICS, ini bukan berarti bahwa negara-negara ASEAN cenderung makin condong kepada China.
Namun, mirip dengan yang dilakukan oleh India, menjadi bagian dari BRICS/BRICS+ bukan merupakan sebuah tindakan memilih blok kekuatan alternatif, tetapi merupakan upaya menggali peluang kerja sama tambahan, mengingat masing-masing negara-negara di atas tetap memperkuat arsitektur ASEAN-Plus dan bahkan mempertahankan partisipasi dalam berbagai institusi baik yang digagas oleh negara-negara Barat maupun institusi-institusi lainnya.
Baca Juga: Potensi Investasi Rp15 Triliun, PTPN III Jalin Kerja Sama Strategis dengan Perusahaan China
Sementara itu, Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Universitas Paramadina, Jakarta, Ahmad Khoirul Umam yang juga merupakan Doktor Ilmu Politik berpandangan bahwa China bukan hanya menghadirkan banyak kesempatan, tetapi juga tantangan, termasuk tekanan dan ancaman.
Oleh karenanya, Umam menjuluki hubungan Indonesia dengan China sebagai pedang bermata dua. “China menerapkan apa yang dinamakan sebagai strategi ofensif yang mempesona (charming offensive strategy), tetapi dalam waktu yang tak terduga, China dapat mengubahnya menjadi strategi ofensif yang menghidupkan lonceng tanda bahaya (alarming offensive strategy),” tutur Umam.
Oleh sebab itu, ia mengimbau agar Indonesia menavigasi hubungannya dengan China secara hati-hati. Secara khusus, Umam mengggarisbawahi pentingnya kehati-hatian itu diterapkan dalam isu terkait ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, di mana China seringkali melakukan manuver.
Umam juga menyoroti pentingnya kehadiran ASEAN sebagai sebuah kesatuan untuk menghadapi kekuatan-kekuatan besar, khususnya dalam konteks persaingan antara China dan Amerika Serikat (AS). Sayangnya, menurut Umam, kesatuan ASEAN seringkali menghadapi ujian, khususnya karena ada negara-negara ASEAN yang secara ekonomi sangat bergantung pada China.
Sementara itu pimpinan Bait Al. Amanah, Fikry A. Rahman menyinggung bahwa dalam berhubungan dengan China, baik Indonesia dan Malaysia perlu tetap mengingat bahwa “Tak ada makan siang yang gratis.”