Abadikini.com, JAKARTA – Sudah ratusan tahun masyarakat Indonesia pergi menemui dukun untuk mengatasi berbagai masalah.
Barulah semua itu berubah ketika akses warga ke dunia kedokteran modern terbuka. Hanya saja itu semua tak membuat warga berubah arah pergi ke dokter. Mereka tetap menemui dukun.
Melansir cnbcindonesia Selasa (26/11/2024), terminologi dukun pada ratusan tahun lalu tak sesempit sekarang yang hanya dianggap orang pemberi mantra. Dahulu, mengacu pada Encyclopaedie van Nederlansch-Indie (1917), dukun adalah panggilan yang digunakan pada praktisi pengobat pribumi. Ada dukun pijat, dukun bayi, dukun asmara, dan lain sebagainya.
Fenomena seperti ini lantas membuat banyak ahli Eropa ke Indonesia berniat membongkar praktik dukun. Mereka datang tak hanya untuk mengetahui metode di balik pengobatan, tapi juga mendapat penjelasan terkait penduduk.
Sebab dukun biasanya tidak semata-mata menonjolkan soal mantra-mantra, tapi juga aspek-aspek historis dan etnografis masyarakat Jawa tempo dulu. Sejak abad ke-19, dokter-dokter dari Eropa jauh-jauh datang ke Indonesia untuk meneliti pengobatan ala dukun.
Dokter pertama yang mempelajari pengobatan lokal tersebut adalah F.A.C Waltz (1798-1882). Awalnya, Waltz heran melihat banyak orang Eropa dan pribumi pergi ke dukun, ketimbang menemui dirinya.
Maka, dia pun berupaya mencari tahu apa yang terjadi di balik metode pengobatan dukun. Singkat cerita, dia tahu pengobatan dukun bukan terkait mantra, tapi bertumpu pada keberhasilan obat herbal.
Obat herbal tersebut diperoleh dari tanaman herbal yang mudah ditemukan. Hanya saja, bagi Waltz pengobatan herbal perlu divalidasi secara ilmiah. Sebab obat-obatan yang dilakukan dukun didasarkan pada trial and error. Maksudnya, pengobatan tak didasari oleh kebiasaan dan pengalaman, bukan berdasarkan ilmiah.
Dari sini, dia bertekad menjadi orang pertama yang meneliti obat herbal secara ilmiah.
Sejarawan Hans Pols dalam “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation” (2008) menceritakan, dokter Eropa tersebut bergegas melakukan eksperimen.
Dia mencari informasi dan menguji obat kepada diri sendiri. Singkat cerita, perjalanan panjang membongkar praktik dukun dan penggunaan obat herbal tersebut membuahkan hasil positif.
Pada 1829, dia membukukan semuanya ke dalam karya berjudul Pratische Waarnemingen Over Eenige Javaansche Geneesmiddelen (Pengamatan Praktis Beberapa Obat Jawa).
Di buku tersebut dia tak hanya mencatat obat herbal Jawa, tapi juga tentang penyakit yang dibawa orang Eropa ke Jawa dan penangkalnya. Sekaligus juga mengklasifikasi obat-obatan berdasarkan ilmu medis modern.
Selain Waltz, dokter Eropa lain yang bermukim di Surabaya bernama Sybrand Schilstra juga melakukan hal demikian. Pada 1900-an, dia bahkan menyebut obat-obatan dari dukun jauh lebih ampuh dibanding obat modern dari dokter.
Berbagai penemuan dari ahli-ahli Eropa tersebut lantas menambah validasi atas khasiat obat herbal, bukan terletak pada dukun. Pasalnya, metode komat-kamit dukun lebih didasari oleh aspek psikologis. Sebab, dukungan dari dukun dapat memengaruhi kekuatan pikiran, sehingga si pasien menjadi yakin dapat sembuh.
Aspek psikologis ini dijelaskan langsung oleh antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss dalam “Dukun dan Sihirnya” (1949). Dia menyebut kunci keberhasilan dukun didasari oleh ritual kepercayaan antara dukun, pasien dan masyarakat.