Akrobatik Elit Politik Indonesia

Akrobatik Elit Politik Indonesia

19 May 2017, 19:22

PinterPolitik.com
“The condition of man… is a condition of war of everyone against everyone”
Thomas Hobbes pernah berkata demikian. Dan kata-kata ini sangat relevan di dunia politik. Bahkan, tidak berlebihan jika kontestasi pemilihan umum (pemilu) diibaratkan pertarungan pendekar-pendekar silat yang dikirim perguruannya – alias partai politik – memperebutkan mahkota raja bumi nusantara.
Meski kekuasaan tampak menggiurkan, namun tiada jalan mulus menuju mahkota. Jalan itu kerap penuh darah dan derita. Sebab untuk bisa memenangi pertarungan, para politikus melakukan beragam cara, dari beradu program unggulan, blusukan, memoles citra, bagi-bagi sembako, sampai kampanye hitam dan menurunkan harga diri dengan “menjilat ludah sendiri”.
Dinamika politik juga seperti permainan akrobatik. Yang dahulu musuh, di masa depan bisa jadi kawan. Yang di Pemilu 2009 berumah di partai A, di tahun-tahun berikutnya bisa jadi tak betah dan mendiami “rumah” baru di Pemilu 2014. Namun tak sedikit pula yang setia.
Salah satu pertarungan yang masih menjadi perbincangan hangat adalah perebutan mahkota ibukota yang dimulai sejak 2016 silam. Perhelatan ini mempertarungkan pasangan petahana gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan wakil gubernur Djarot saiful Hidayat yang dibekingi PDIP si moncong putih melawan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno yang didukung oleh Gerindra si garuda emas.
Tapi siapa sangka, Ahok yang sebelumnya sempat ngotot ingin maju lewat jalur independen lewat Teman Ahok malah resmi dijadikan cagub oleh PDIP. Begitu pula Anies. Pada pagelaran Pilpres 2014 lalu, Anies menyindir Prabowo secara terbuka di media. Tapi di September 2016, Prabowo malah memasang Anies sebagai cagub usungan koalisi Gerindra dan PKS.
Manuver “akrobatik” bukan hanya dilakukan Ahok ataupun Anies, dan tidak hanya terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017, penasaran? Mari simak daftar berikut ini.Ketika keluar dari Gerindra, Ahok mengeluarkan pernyataan yang cukup menohok. “Saya bilang dari awal, kalau saya ini tidak pernah loyal kepada partai yang tidak sesuai konstitusi. Saat Pilkada 2012 lalu, Gerindra menarik saya dari Golkar dan mengarahkan perjuangkan pilihan rakyat. Kenapa sekarang malah memiliki pandangan pilkada melalui DPRD?” ujar Ahok. Ahok pergi dari Gerindra tanpa pamit kepada Prabowo. Hal itu pun membuat elite Gerindra geram.
Tidak hanya dengan Gerindra, dengan PDIP Ahok juga sempat gontok-gontokan soal penerapan e-budgeting untuk APBD DKI Jakarta. Soal loyalitas, Ahok jelas beda dengan Djarot yang tak pernah pindah ke lain partai – PDIP. Total, Ahok sudah berganti partai sebanyak 4 kali. Apakah renggangnya loyalitas Ahok ini ada kaitannya dengan cara PDIP melantik Djarot beberapa jam setelah Ahok divonis 2 tahun penjara?Kisah Anies dan Sandi juga tidak kalah menariknya.
Nama Anies Baswedan mulai populer di mata publik saat dia meluncurkan program Indonesia Mengajar sekitar tahun 2010. Dari situ, orang-orang mengenalnya sebagai seorang pendidik. Sampai pada akhirnya Anies mencalonkan diri sebagai capres via Konvensi Partai Demokrat, lalu menjadi juru bicara tim sukses Jokowi-JK di Pilpres 2014 – yang diusung PDIP itu.
Saat di berada kubu Jokowi, Anies pernah bilang, “Saya makin yakin untuk tidak memilih orang yang sudah menghabiskan uang enggak tahu berapa jumlahnya selama bertahun-tahun, untuk beriklan, untuk sebuah posisi. Seakan-akan hidup itu hanya untuk jadi presiden. Sementara Jokowi menghabiskan waktunya 15 tahun terakhir untuk bekerja mengabdi pada masyarakat,” ujar Anies.
Namun, dua tahun kemudian Anies menjilat ludahnya sendiri. Anies dipinang Prabowo menjadi cagub bersama Sandiaga Uno – Sebelum direkrut Prabowo, Sandi sebelumnya mendaftar bursa calon gubernur PDIP. Hubungan Anies dan Prabowo berbuah manis. Anies-Sandi menang di Jakarta.
Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari
Kisah para guru-guru mereka juga tidak kalah menarik. Saat Mega menjadi presiden, SBY menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Tahun 2004, SBY diberhentikan oleh Mega. Lalu di gelaran Pilpres 2004, SBY langsung berkampanye setelah diusung menjadi capres saat itu.
Tahun demi tahun berganti, konstelasi politik di Pilpres 2009 juga berubah. SBY, JK, dan Megawati yang pernah bekerja bersama di bawah naungan Kabinet Persatuan Nasional pimpinan Gus Dur pecah. Mereka mencalonkan diri mereka masing-masing menjadi capres. SBY menggandeng Boediono. Megawati bersama Prabowo, dan JK menggandeng Wiranto.
Pada Pilpres 2014, konstelasi politik kembali berubah. Kendati Megawati dan Prabowo pernah mesra di 2009, namun di Pilpres 2014, Prabowo menggandeng Hatta Rajasa untuk maju sebagai capres-cawapres. Sementara Megawati menjagokan Jokowi.
Lebih lanjut, mari kita simak daftar berikut ini.
MEGAWATI
1993, dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
1999, PDI mengganti nama menjadi PDI-Perjuangan (PDIP). Di Pemilu 1999, PDIP berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Tapi Megawati tidak jadi presiden. Dia kalah suara dari Gus Dur yang didukung Poros Tengah bentukan Amien Rais.
1999 – 2001, jadi wakil presiden mendampingi Gus Dur.
2001 – 2004, Gus Dur diturunkan dari jabatan presiden oleh MPR pimpinan Amien Rais. Megawati naik jadi presiden.
2001 – 2004, jadi presiden, didampingi Hamzah Haz.
Mei 2004, mencalonkan diri sebagai capres di Pilpres 2004 bersama Hasyim sebagai cawapres. Mega-Hasyim kalah. SBY-JK menang.
2009, kembali mencalonkan diri sebagai capres di Pilpres 2009 bersama Prabowo sebagai cawapres. Mega-Prabowo kalah.

PRABOWO
1976 – 1998, berkarir sebagai tentara. Pangkat terakhirnya Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI. Dia diberhentikan oleh Presiden Habibie terkait kerusuhan Mei 1998 dan dugaan kudeta.
“Saya dipecat pak Habibie dulu. Tapi saya menerimanya,” ujar Prabowo.
2004, jadi bakal capres melalui Konvensi Capres Golkar 2004. Dia kalah suara dari Wiranto.
6 Februari 2008, mendirikan partai Gerindra
2009, mencalonkan diri sebagai cawapres di Pilpres 2009 bersama Megawati sebagai capres. Mega-Prabowo kalah.
2014, mencalonkan diri sebagai capres di Pilpres 2014 bersama Hatta Rajasa sebagai cawapres. Prabowo-Hatta kalah.
2017, Prabowo mendukung Anies-Sandi.

SUSILO Bambang Yudhoyono
1999 – 2000, Menteri Pertambangan dan Energi Kabinet Persatuan Nasional Gusdur.
2000 – 2001, Menko Polsoskam Kabinet Persatuan Nasional Gusdur.
Juli 2001, kalah pada pemilihan cawapres dalam Sidang Istimewa MPR. Saat itu, Amien Rais menjabat Ketua MPR.
” Saya berani maju karena polling yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa dukungan rakyat untuk saya tinggi. Bahkan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tokoh yang lain,”
2001, diangkat sebagai Menko Polhukam Kabinet Gotong Royong Megawati.
17 Oktober 2002, Partai Demokrat dideklarasikan.
11 Maret 2004, mengundurkan dari Kabinet Gotong Royong.
Mei 2004, mencalonkan diri sebagai capres di Pilpres 2004 bersama JK sebagai cawapres. SBY-JK menang.
2004 – 2009, menjabat sebagai Presiden RI.
2009, kembali mencalonkan diri sebagai capres di Pilpres 2009 bersama Boediono sebagai cawapres. Di pilpres ini SBY-Boediono melawan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. SBY-Boediono menang.
2014, Partai Demokrat dalam kesimpulan rapimnasnya menyatakan, “Siap memberikan suaranya kepada parpol yang memiliki platform, visi, dan misi yang segaris dengan Demokrat.”
2017, mencalonkan putranya, Agus Harimurti, untuk jadi cagub. AHY-Silvi kalah di putaran pertama. Di putaran kedua, Demokrat mengaku netral.

WIRANTO
1998 – 1999, menjabat Panglima ABRI. Wiranto diduga melakukan pelanggaran HAM terkait kerushan Mei 1998 dan Timor Timor.
“Saya berani bersumpah di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahwa saya selaku Menhankam/Pangab sewaktu proses jajak pendapat di Timor Timur itu berlangsung tidak pernah terpikir merencanakan. Apalagi, memerintahkan untuk melakukan berbagai kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, penculikan dan pengusiran atau langkah-langkah lain yang dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Wiranto.
2004, jadi bakal capres melalui Konvensi Capres Golkar 2004. Wiranto menang dan maju sebagai capres bersama Salahuddin Wahid sebagai cawapres. Wiranto-Salahuddin kalah.
2006, partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) didirikan.
2009, jadi cawapres bersama JK sebagai capres. JK-Wiranto kalah.
2014, HANURA dukung Jokowi-JK, tanpa syarat.
“Simpel sekali pembicaraannya. Saya ajakin gabung, tapi ada syarat. Syaratnya, ya tanpa syarat,” ujar Jokowi terkait dukungan HANURA.
2016, diangkat menjadi Menkopolhukam di Kabinet Kerja Jokowi-JK
2017, mendukung Ahok-Djarot. Sementara

JUSUF KALLA
1999 – 2000, menjabat sebagai Menperindag Kabinet Persatuan Nasional Gusdur.
2001 – 2004, menjabat sebagai Menkokesra Kabinet Gotong Royong Megawati.
2004 – 2009, Wakil Presiden Indonesia mendampingi Presiden SBY.
2004 – 2009, jadi Ketua Umum Partai Golkar.
2009, jadi capres bersama Wiranto sebagai cawapres. JK-Wiranto kalah.
2014, dicalonkan sebagai cawapres mendampingi Jokowi sebagai capres usungan Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI). Jokowi-JK menang.
2017, JK mendukung Anies-Sandi.

JOKO WIDODO
2005 – 2012, menjabat sebagai Walikota Surakarta usungan PDIP.
2012 – 2014, menjabat Gubernur DKI Jakarta usungan PDIP.
“Jangan tiba-tiba karena [Jokowi] terkenal di Jakarta dicalonkan presiden. Bisa hancur, bisa bermasalah negeri ini. Kalau sukses di DKI, ya silakan,” kata JK
2014, dicalonkan sebagai capres bersama JK sebagai cawapres usungan Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI). Jokowi-JK menang.
2017, JK mendukung Ahok-Djarot.

 “There is nothing permanent except change”
Begitulah kata salah seorang filsuf Yunani Klasik, Heraklitus. Politikus tahu, tidak ada pertarungan abadi.
Bisa jadi, besok hari Anies akan mengunjungi Ahok. Dan di Mako Brimob itu, mereka berdua bersantai ria memakan kudapan dan berswafoto bersama. Sementara, pendukung keduanya hari ini bentrok silang sengketa. Sudah berapa banyak teman jadi lawan? Sudah berapa banyak jenazah tak bisa disalatkan hanya karena mereka tidak “bela Islam”?
Siapa sangka?
Karena mata kita terlalu tertuju ke Jakarta, kita lupa kalau Pilkada serentak 2017 kemarin Demokrat, PDIP, dan Gerindra sudah berkoalisi sebanyak 17 kali di kabupaten/kota. Sepuluh di antaranya mereka menang! Selagi pendukung ketiganya jotos-jotosan di Jakarta, mungkin saja Bu Mega, Pak Beye, dan Om Bowo di atas sana sedang duduk santai ngopi-ngopi bahas strategi.
Kalau sudah begitu, siapa yang repot? Rakyat atau MEREKA?
Berikan pendapatmu.
(H31)