PLN memang sedang terlilit utang dalam jumlah besar. Akibatnya, Menteri BUMN berencana menjual beberapa aset BUMN terbesar di Indonesia ini untuk membantu pembayaran utang tersebut.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]olemik bocornya surat Menteri Keuangan (Menkeu) kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN tentang kondisi keuangan PLN menjadi berita dengan tajuk besar selama dua minggu terakhir. Pasalnya, surat tersebut berisi pandangan Menkeu, Sri Mulyani terkait kondisi keuangan perusahaan plat merah tersebut yang terancam gagal membayar hutang. PLN juga disebut-sebut sedang dalam keadaan kesulitan keuangan.
Peringatan Menkeu atas status keuangan PLN tersebut bukan isapan jempol. Faktanya, utang PLN disebut-sebut telah mencapai Rp 420 triliun. Sebagai catatan perbandingan, belanja dalam APBN Indonesia tahun 2017 jumlahnya Rp 2.080 triliun. Artinya, utang PLN itu jumlahnya 20 persen belanja APBN – sama besar dengan anggaran pendidikan nasional!
Adapun rincian besaran utang tersebut terdiri atas utang jangka panjang sebesar Rp 299,36 triliun dan utang jangka pendek sebesar Rp 121,15 triliun. Adapun utang yang jatuh tempo pada semester pertama 2017 jumlahnya mencapai Rp 65 triliun.
PLN juga sedang mengalami penurunan performa jika dilihat dari laba perusahaan yang hanya 1,35 persen atau hanya Rp 2,3 triliun pada semester pertama 2017. Jumlah ini turun 70 persen jika dibandingkan dengan laba periode yang sama di tahun 2016. Bayangkan, perusahan dengan total aset mencapai Rp 1.302 triliun hanya meraih keuntungan sebesar itu. Tentu kekhawatiran Menkeu sangat beralasan.
Selain itu, dalam surat tersebut, Menkeu juga menyorot proyek listrik 35 ribu MW yang berpotensi jalan di tempat. Apalagi di tahun 2018 Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan bahwa tidak akan ada kenaikan tarif listrik. Akibatnya, Menkeu menyebut PLN berpotensi mengalami kebangkrutan jika tidak mencari solusi atas persoalan ini.
Atas bocornya surat tersebut, Kemenkeu memang menyesalkan hal itu. Namun, banyak yang menyebutkan bahwa surat tersebut memang sengaja dibocorkan. Lalu, untuk tujuan apa? Apakah benar PLN akan bangkrut?Mumet Listrik Nasional
PLN adalah salah satu BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak. Ini yang juga menjadikannya sebagai BUMN paling besar di Indonesia jika dihitung dari total aset. Sebagai catatan, aset raksasa perbankan seperti Bank BRI atau pun Bank Mandiri jumlahnya masih di bawah total aset PLN.
Terkait kondisi keuangannya, pemberitaan yang muncul memang terbelah. Beberapa media menyebut kondisi keuangan PLN masih aman, bahkan hingga 30 tahun ke depan. Namun, beberapa media lain menyebut kondisi keuangan ini memprihatinkan dan bahkan bisa berdampak pada ekonomi nasional. Mana yang benar?
Fakta bahwa tarif listrik nasional yang tidak akan naik pada 2018 – sesuai instruksi Presiden Jokowi – memang menyebabkan Sri Mulyani panas dingin. Ketakutan terbesar Sri Mulyani adalah ancaman kebangkrutan dan yang paling dekat tentu adalah utang-utang yang jatuh tempo dalam setahun atau dua tahun.
Sementara itu, pada saat yang sama PLN masih punya banyak proyek kelistrikan dalam beberapa tahun ke depan yang harus diselesaikan. Salah satu yang terbesar adalah proyek ‘ambisius’ 35 ribu MW. Proyek yang sempat disebut sebagai ‘proyek penuh nafsu’ oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli ini memang terancam tidak akan terpenuhi dalam waktu dekat. Bahkan, targetnya sudah diperpanjang hingga 2023 atau 2024. Adapun PLN mendapatkan jatah sebesar 10 ribu MW dalam proyek ini.
Selain itu, PLN proyek transmisi sepanjang 46 ribu km juga menjadi program lain yang harus juga diselesaikan oleh PLN. Belum lagi proyek gardu induk 108.000 MVA.
Masalah juga bertambah di tengah kondisi naiknya harga free on board (FOB) batu bara yang meningkat 37,6 persen dari US$ 39,8/ton pada semester I 2016 menjadi US$ 54,8 per ton pada semester I 2017. Sementara, PLN masih menggantungkan 30 persen sumber energi utama untuk pembangkit listrik dari batubara. Boleh jadi, tanpa kenaikan tarif listrik dan disertai kenaikan biaya produksi akibat batubara menjadi mahal membuat perusahan listrik ini kesulitan.
PLN Mau Dijual?
Belakangan ini, pemerintah memang melihat adanya ketidakefektifan dalam tata kelola BUMN di Indonesia. Jumlah BUMN memang terlampau sangat besar dan dianggap sebagai salah satu faktor penyebab lesunya ekonomi dan anjloknya daya beli masyarakat. Dominasi BUMN dengan segala anak – bahkan cucu – perusahan memang sangat terlihat dalam proyek-proyek nasional. Oleh karena itu, Bank Dunia sempat merekomendasikan perampingan dan strukturisasi BUMN di Indonesia.Presiden Jokowi akhirnya memerintahkan untuk melakukan merger atau bahkan menjual BUMN yang jumlahnya mencapai 700-an hingga 800-an perusahaan ini. Menurut Jokowi, jumlah BUMN terlalu banyak dan bahkan mengurusi hal-hal yang tidak penting. PLN sendiri memiliki belasan anak perusahan, beberapa di antaranya bahkan juga punya anak perusahan lagi.
https://twitter.com/NasutionSyamsir/status/914860935654674435
Tentu saja masih terlalu jauh untuk melihat apakah raksasa seperti PLN akan dijual. Namun, dengan kondisi keuangan yang memburuk, Menteri BUMN, Rini Soemarno telah membuka wacana untuk menjual beberapa pembangkit listrik PLN ke swasta. Wacana ini bertujuan untuk menutup sebagian utang PLN.
Namun, jika aksi jual-jual ini terus dilakukan, boleh jadi suatu saat aset PLN akan menjadi milik swasta sepenuhnya. Dengan kondisi keuangan perusahaan yang memburuk selama beberapa tahun, bisa dipastikan PLN akan juga terus memburuk.
Apalagi, beberapa pihak menyebut proyek-proyek yang diusulkan untuk dibangun selalu dibuat untuk mencari pinjaman baru demi menutup utang. Suatu saat, aset perusahaan boleh jadi akan terjual semuanya dan industri listrik akan menjadi sepenuhnya milik swasta.
Jadi, apakah itu berarti bahwa PLN memang akan benar-benar bangkrut seperti yang ditakutkan oleh Menkeu? Jawabannya tentu saja bisa. Utang membesar, keuntungan menurun, biaya produksi meningkat seiring naiknya harga batu bara, ditambah tidak jelasnya proyek-proyek energi terbarukan (EBT), boleh jadi suatu saat BUMN terbesar ini hanya akan tinggal nama.
Bahkan, kemungkinan lebih buruknya lagi, PLN akan menjadi perusahan swasta dan artinya satu lagi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh swasta. Inilah neoliberalisme phase 2 : swastanisasi.
PLN memang memberikan jaminan bahwa keuangan perusahaan ini akan aman dalam 30 tahun ke depan. Namun, hal ini bisa juga berarti PLN baru akan bangkrut sepenuhnya 30 tahun lagi, sementara dalam perjalanan menuju titik waktu itu – tanpa perubahan mendasar – perusahaan ini akan terus mengalami krisis.
Perang di Tingkat Elit dan Bayang-bayang Neolib
‘Perang besar’ dalam kasus ini sesungguhnya terjadi di tingkat elit. Bocornya surat Menkeu boleh jadi menunjukan bahwa Sri Mulyani memang sedang menargetkan kelompok elit tertentu, khususnya yang punya kepentingan di bidang industri listrik nasional. Bukan rahasia lagi jika persoalan kelistrikan memang melibatkan kelompok-kelompok elit nasional.
Menurut sumber dari internal PLN, ada banyak tekanan kepada PLN dari pejabat tinggi negara yang sangat berpengaruh. Bahkan sumber tersebut mengatakan, grup usaha pejabat tersebut menempatkan orang-orangnya untuk memonitor proses pengarahan proyek-proyek listrik nasional di setiap tahapan untuk memastikan proyek tersebut dimenangkan kelompoknya.
Tanpa strategi yang tepat dari pemerintahan Jokowi, kinerja PLN akan sulit membaik. (Foto: istimewa)
PinterPolitik lalu mencoba mengkonfirmasi hal ini kepada salah satu anggota keluarga yang mengetahui masalah ini, dan sumber ini mengatakan bahwa, kalau bisa mengerjakan dan menyelesaikan proyek ini dengan baik, apa salahnya. Namun, hal ini tentu kontras jika melihat fakta banyaknya proyek listrik yang bermasalah. Target 35 ribu MW misalnya, terlihat sangat ambisius dan tidak sesuai dengan kemampuan PLN sendiri.
Di sisi lain, bayang-bayang neoliberalisme sedang menanti Indonesia: perusahaan-perusahan nasional terancam diswastakan. Apa yang terjadi pada PLN boleh jadi merupakan upaya untuk menasionalisasi perusahan ini. PLN memang masih menjadi perusahan listrik utama di Indonesia. Bahkan, ditambah dengan anak-anak perusahannya, PLN terkesan memonopoli pasar listrik Indonesia.
Dengan demikian, sangat mungkin terjadinya ribut-ribut tentang PLN ini merupakan jalur awal untuk memprivatisasi perusahan ini. Bukan rahasia lagi kalau lembaga seperti Bank Dunia merupakan agen-agen neoliberalisme. Namun, hal ini masih perlu dibuktikan lebih jauh, terutama dari program perampingan BUMN yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Pada akhirnya, ribut-ribut listrik ini akan berdampak langsung pada masyarakat. Kenaikan harga listrik beberapa waktu lalu memang menjadi salah satu catatan merah untuk pemerintahan Jokowi. Bagi rakyat, listrik murah adalah kebutuhan. Bagaimana mau menciptakan generasi emas yang cemerlang jika untuk listrik saja masih harus padam-hidup-padam-hidup dan padam lagi. Mungkin benar, listrik PLN bukan listrik biasa, banyak politik di dalamnya. (S13)