Kedua tokoh ini punya peran yang tak kecil dalam perjalanan sejarah politik bangsa. Goenawan Mohammad, seorang jurnalis dan Amien Rais, politikus masyhur negeri, bersatu menggaungkan kritik terhadap Orba. Namun, semakin ke sini perbedaan ideologi dan kepentingan politik mereka semakin kentara terlihat.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]D[/dropcap]alam gambar yang tersebar di media sosial, Amien Rais, mantan ketua MPR RI yang terselengkat kasus korupsi dana Alkes ini, terlihat menunduk termenung tak berdaya di atas kursi. Sebuah kapsi atau caption yang tertempel pada gambar yang tersebar itu, tertulis “Tegaklah, Mas Amien. Anda Terima Rp. 600 juta itu belum tentu bersalah. Kita tidak boleh mencerca, bukan?”. Kata-kata tersebut ditulis Goenawan Mohammad atau yang akrab disapa Goen melalui akun Twitternya pada Minggu (1/6) lalu.
Tak perlu menunggu lama, beragam komentar berdatangan menyerbu status mantan jurnalis senior Tempo itu. Bahkan, putri Amien, Hanum Rais, tak ketinggalan menyebut Goen sebagai ahli fitnah.
Reaksi putri Amien tersebut, memancing lebih jauh lagi respon netizen terhadap status Goenawan Mohammad. Bahkan, Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN sekaligus besan Amien Rais, dan Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, menyesalkan tindakan GM dan berseloroh agar ketua Komunitas Salihara tersebut meminta maaf kepada Amien Rais dan keluarganya.
Goen sendiri memberi keterangan jika pernyataan dalam kapsi dan foto itu bukanlah bentuk nyinyiran bahkan sindiran terhadap Amien Rais, melainkan sebuah pernyataan atas praduga tak bersalah. Ia menambahkan sebuah pernyataan berbunyi, ‘Sumbu pendek itu akalnya lembek’. Selebihnya, ia terlihat tidak begitu menghiraukan respon yang masih bergulir hingga saat ini.
Bersatu di Bawah Rezim Orde Baru
Tak banyak yang mengetahui jika Goen dan Amien pernah ‘mesra’ berada dalam satu naungan ideologi dan kepentingan politik yang sama. Mereka membidani kelahiran Partai Amanat Nasional bersama dengan tokoh lain seperti Rizal Ramli, Faisal Basri, Abdillah Toha, Alvie Lie Ling Pao, Ratna Sarumpaet dan lainnya.
Amien dan Goen sama-sama menjadi tokoh penggerak dan aktif mengkritik pemerintahan Orde Baru. Amien menapak lewat jalur birokrasi pemerintah. Ia aktif menyorot korupsi dan nepotisme yang sudah kepalang mengakar di tubuh rezim tiga dekade tersebut.
(Foto: Istimewa)
Sementara Goen memilih jalur jurnalistik sebagai konsentrasi kritik dan corong intelektualnya. Di masa mudanya, ia malang melintang di dunia sastra dan ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964. Hal tersebut menyebabkan perang argumen dan ideologi dengan Lekra, sekaligus membuat tulisannya sulit diterima di mana-mana. Ia akhirnya mendirikan majalah berita Tempo, sekaligus menjadi pemimpin redaksinya. Tempo sendiri pernah dibredel oleh Soeharto karena menunjukkan sikap bertolak yang terang-terangan terhadap pemerintah.
Tak ingin disekat dalam memperjuangkan keadilan dan demokrasi di Indonesia, Amien dan Goen, berserta puluhan tokoh lainnya, mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA). Walaupun sempat dituding mencontek gaya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), buah kebijakan Orde Lama, MARA menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh progresif dari klan Muhammadiyah dan Kelompok Tebet. Di dalamnya, mereka disatukan oleh penyelewengan pemerintah Orba yang sama sekali tak memahami penderitaan rakyat.
(Foto: Istimewa)
Dari MARA-lah, cikal bakal Partai Amanat Nasional (PAN) lahir. Awalnya ia bernama Partai Amanat Bangsa (PAB) yang resmi berdiri di Bogor pada 5-6 Agustus 1998. Karena satu dan lain hal, PAB mengubah namanya menjadi Partai Amanat Nasional (PAN). PAN menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material, dan spiritual. Mereka menancapkan nilai moral pada agama, kemanusiaan dan kemajemukan. Prinsip-prinsip seperti non-sektarian dan non-diskriminatif, turut dipegangnya erat.
Figur Amien Rais dalam PAN memang diakui sangat mendominasi di PAN. Amien berdiri sebagai Ketua umum PAN sampai tahun 2005 sedangkan Goen menjadi anggotanya. Sosok Amien dapat mempengaruhi Poros Tengah PDI Perjuangan yang saat itu mendominasi pemerintahan. Atas langkah tersebut, ia diberi julukan The King Maker. Amien sendiri saat itu berhasil menduduki kursi MPR RI periode 1999 – 2004.
Walaupun Amien dan Goen berkembang secara personal dan bisa meraih kursi-kursi istimewa baik di dunia jurnalistik dan politik secara signifikan, PAN sendiri belum dapat memperoleh suara di atas 10 persen, yakni hanya 7,21 persen dalam Pemilu 1999. Sedangkan pada Pemilu Presiden 2004 dan 2009, PAN semakin mengalami penurunan perolehan suara, yakni sekitar 6,44 dan 6,01 persen. Hingga pada tahun 2014, PAN mencetak sejarahnya dengan meraup perolehan suara tertinggi, yakni dengan angka 7,57 persen.
Perceraian GM dan Amien Rais: Pilpres dan Pilkada
Perkembangan popularitas yang terjadi dalam tubuh PAN tersebut, membawanya berkolaborasi dengan tokoh dan partai lain. Namun, di sanalah bibit-bibit perpecahan mulai terjadi. Pemilu 2014 merupakan titik balik Goenawan Mohammad berada dalam partai berlambang matahari biru tersebut.
Di bawah pimpinan Hatta Rajasa sebagai ketua umum, PAN menyatakan telah jatuh hati pada sosok Prabowo. Mantan Komandan Jendral Komando Pasukan Khusus era Soeharto itu mendapat dukungan penuh dari PAN, bahkan menyandingkan sang ketua umum dengan Prabowo, dari Partai Gerindra, dalam gelaran Pilpres 2014 lalu. Hal ini membuat Goenawan Mohammad mantap angkat kaki dari PAN.
Prabowo dan Hatta (Foto: Istimewa)
Goen berseloroh, dengan mendukung Prabowo, itu berarti mengingkari cita-cita pro-demokrasi yang selalu diusung oleh PAN. PAN dinilainya tak lagi memandang politik sebagai perjuangan namun jalan memuluskan oportunisme untuk mendapatkan jabatan empuk para elitnya. “Selama ini, meskipun dengan kekecewaan, saya tetap menjadi anggota PAN dan membayar secara teratur iuran keaggotaan. Tetapi kali ini saya tak punya harapan lagi. Saya menyatakan berhenti dari keanggotaan partai,” jelasnya pada Rabu, 14 Mei 2014.
Jurang pembeda kepentingan politik antara Goen dan Amien semakin jelas terlihat pada masa Pilkada Jakarta 2017 lalu. Pada putaran pertama Pilkada, Amien yang duduk sebagai Ketua Dewan Kehormatan PAN mendukung Agus Harimurti Yudhoyono – Sylvi, sedangkan putaran kedua mantap berada di pihak Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Sementara Goen, sejak awal telah berikrar mendukung Ahok – Djarot.
Tak hanya itu, Amien terlihat selalu berada di garda depan bersama FPI menyoraki Ahok dalam kasus penistaan agama. Ia beberapa kali terlihat berorasi di samping Rizieq Shihab dalam mengawal kasus penistaan agama dan selalu menekankan agar tak membela Ahok.
Hingga saat ini imam besar FPI buron, Amien tertangkap masih terus mendukung Habib Rizieq dalam Aksi Bela Ulama 96.
Goen di sisi lain, tak pernah absen memberi dukungan kepada Ahok. Ahok sendiri bahkan pernah mengutip perkataan Goen pada saat sidang pembelaan yang berbunyi, “Tulisan Goenawan Mohammad, ‘Stigma itu bermula dari fitnah. Ia tak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari diulang-ulang, seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus menerus diulang akan menjadi kebenaran.”
(Foto: Detik)
Ketika Ahok diganjar hukuman penjara dua tahun, Goenawan Mohammad terlihat menyambanginya ke Korps Brimob di Kelapa Dua dan ikut dalam aksi solidaritas kepada Ahok. Bahkan ia menyatakan bersedia bertukar posisi dengan Ahok, artinya ia yang dipenjara dan Ahok bebas. “Saya mau menjadi penjamin, ya. Karena Ahok tdak bersalah. Tapi kan bukan itu maksudnya. Kalau ada orang butuh suntikan darah kan kamu kasih, tapi kamu tidak luka,” tuturnya.
Antara Korupsi dan Moral yang Adiluhung
Hal ini semakin memperlihatkan jurang kontras antara ideologi dan kepentingan politik yang dianut Goen dan Amien. Amien secara jelas telah berada dalam sayap populisme dengan mendukung FPI dan imam besarnya. Tak hanya itu, ia saat ini juga tertimpa kasus korupsi senilai Rp. 600 juta. Sebuah ironisme yang menimpa seorang aktivis yang kerap berteriak soal korupsi dan nepotisme pada masa reformasi.
Sedangkan Goen, yang dihormati sebagai jurnalis senior, budayawan, sekaligus sastrawan, berada dalam posisi politik humanis yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan liberalisme. Ironisme juga menderanya tatkala ia, bersama media beritanya, berusaha melindungi Sitok Srengenge sebagai pemerkosa. Oleh seorang peneliti media dari Remotivi, Wisnu Prasetya Utomo, media Tempo telah membentuk framing berita yang menunjuk bahwa Sitok dan korban kekerasan seksualnya, melakukan hubungan seks atas dasar suka sama suka dan tak memberi ruang bagi korban untuk berbicara. Media yang berafiliasi dengan Tempo, yakni The Jakarta Post juga melakukan hal yang sama. Jakarta Post menghilangkan jejak kasus kekerasan seksual yang dilakukan Sitok terhadap korban lain.
Walaupun saat ini Amien dan Goen sangat kontras memegang jalur politik yang berlawanan, bukan berarti mereka lebih buruk atau lebih baik antara satu dengan yang lain. Kesamaan cita-cita dalam mengedepankan demokrasi di Indonesia, mungkin tak sepenuhnya kabur dalam pikiran mereka, walaupun adakalanya kepentingan tersebut bertabrakan dengan hal-hal yang sifatnya relasional. Namun di sisi lain, mereka tetap memiliki pilihan untuk membela apa yang dianggapnya benar dan dekat dengan perjuangan rakyat. (Berbagai Sumber/A27).
“In politics, we face the choice between warmongering, nation-state loving, big business agents, on one hand; and risk blind, top down epistemic arrogant, big servants of large employers on the other. But we have a choice.” – Nassim Nicholas Talleb