Suara.com – Baru-baru ini ramai dibicarakan istilah denda damai, suatu mekanisme penyelesaian perkara hukum di luar pengadilan.
Istilah ini jadi perbincangan setelah Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan pernyataan yang akan mengampuni koruptor asal mengembalikan uang kerugian negara.
Adalah Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang menyatakan bahwa pengampunan koruptor bisa lewat mekanisme denda damai.
Dia menjelaskan kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
Baca Juga: Pukat UGM: Denda Damai di UU Kejaksaan Tak Berlaku untuk Koruptor!
“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024).
Denda damai merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh jaksa agung. Denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Harli Siregar, membenarkan adanya mekamisme denda damai tersebut. Namun, menurut dia, denda damai digunakan untuk tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara.
“Penyelesaian secara denda damai yang dimaksud dalam pasal ini adalah untuk UU sektoral yang merugikan perekonomian negara dan termasuk dalam tindak pidana ekonomi, misalnya tindak pidana kepabeanan, cukai, dan lain-lain,” ujar Harli, Kamis (26/12/2024).
Sementara itu, lanjut dia, penyelesaian tindak pidana korupsi tetap mengacu pada UU Nomor 31 Tahun 1999 atau UU Tipikor.
Baca Juga: KPK Siap Buktikan Hasto Perintahkan Harun Masiku untuk Rendam Ponsel di Air
Dikutip dari hukumonline.com, Kejaksaan memiliki kewenangan penyelesaian perkara melalui denda damai sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Pada formulasi Pasal 35 ayat (1) huruf K UU No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, mengatur mengenai denda damai, yang secara lebih jelas dapat disebutkan:
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: k. menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Adapun pada Penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf K, “denda damai” adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.
Implementasi denda damai dalam tindak pidana ekonomi merupakan salah satu bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung dalam melaksanakan penuntutan terhadap tindak pidana perpajakan, kepabeanan, cukai, maupun tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan UU.
Sebagaimana diketahui, pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI, Kamis 27 Januari 2022 lalu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan dirinya telah meminta jajarannya untuk tidak memproses hukum bagi pelaku korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta, dan meminta tersangka mengembalikan kerugian tersebut.
Hal ini dimaksudkan agar proses hukum bisa diselesaikan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan. Prinsip atau asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan demikian dikenal juga dengan istilah contante justitie.